"Jika dengan dalih takdir mereka membela diri, apakah mereka telah mengkaji dalil tentang takdir sendiri? Bukankah manusia diberikan akal untuk memilah dan memilih kehidupan seperti apa yang akan dilalui? Bukankah manusia diberikan akal agar dapat memahami jika setiap tindakan yang dilakukan selama hidupnya akan dipertanggungjawabkan pada akhirnya? Bukankah manusia diberikan akal untuk mempelajari kalam-Nya yang menjadi landasan hidup setiap manusia, agar tidak tersesat dalam melangkah?"
Oleh. Dila Retta
NarasiPost.Com-Setiap persoalan dalam kehidupan memang mempunyai dua sisi yang berbeda, selalu ada pro dan kontra. Tapi jika membahas tentang penyimpangan seksual yang kian marak terjadi, adalah sebuah keharusan bagi setiap orang berpemikiran cerdas, untuk menolaknya dengan tegas.
Mirisnya, masih banyak kalangan yang mendukung bahkan memproklamisasikan penyimpangan yang jelas-jelas dilarang oleh semua agama. Katanya, puncak ajaran dari seluruh agama adalah cinta. Tapi bisakah kalian mendefinisikan, cinta apa yang dimaksudkan? Apakah membiarkan seseorang terjerumus dalam kesesatan adalah wujud dari cinta dan kasih sayang yang selama ini digadang-gadang sedang kalian perjuangkan?
Perilaku menyimpang ini pertama kali terjadi di masa Kenabian Luth a.s. oleh kaumnya, kaum Sodom. Mereka sangat suka melakukan hubungan homoseksual, hingga Allah timpakan azab yang sangat pedih kepadanya. Kisah tentang kaum Luth ini telah Allah jelaskan dalam firman-Nya, QS. Al-Ankabut ayat 28-35. Dan saya yakin, kita semua telah mengetahuinya.
Dalam sebuah riwayat hadis, dari ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Uqail, ia mendengar Jabir berkata: “Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya apa yang saya khawatirkan menimpa umatku adalah perbuatan umat Nabi Luth’.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam riwayat lain disebutkan, dari Ibn ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan umat Nabi Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan umat Nabi Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan umat Nabi Luth.” (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Karena sudah jelas jika azab atas perbuatan menyimpang ini sangat mengerikan. Rasulullah sendiri telah memperingatkan agar umatnya tidak melakukan tindakan seperti demikian.
Fakta yang baru-baru ini muncul ke permukaan adalah, mulai teridentifikasinya penyakit baru yang menyerang kaum homoseksual. Penyakit langka yang dinamakan cacar monyet ini menjadi kasus serius karena menyebar dengan pesat. Tidakkah kita memikirkan, jika hal tersebut adalah sebuah peringatan? Akankah kita menunggu Allah turunkan azab yang lebih dahsyat untuk menyadarkan mereka agar segera bertaubat?
Namun, meskipun demikian, dukungan terhadap para pelaku penyimpangan seksual ini masih tidak bisa dihentikan. Mereka masih gencar menyuarakan dukungan dengan berbagai dalih pembenaran. Para aktivis atau komunitas yang memperjuangkan agar para pelaku penyimpang seksual ini mendapat kebebasan dan diterima keberadaannya dalam masyarakat, masih saja mendapat ruang. Atas dasar negara demokrasi, mereka bebas bersuara mencari pembenaran. Atas dasar hak asasi, mereka bersembunyi di balik kesalahan yang dilakukan. Padahal jika dibiarkan, hal seperti ini dapat merusak generasi muda penerus bangsa.
“Ini takdir Tuhan, Tuhan yang menjadikan mereka seperti ini. Mengapa kita tidak berusaha menghargai keberadaan mereka, sebagaimana kita mengimani takdir yang sudah Tuhan tetapkan kepada setiap hamba-Nya?”, mungkin ungkapan itulah yang sering kita dengar ketika setiap dari mereka berusaha membela diri atas perbuatannya.
Jika dengan dalih takdir mereka membela diri, apakah mereka telah mengkaji dalil tentang takdir sendiri? Bukankah manusia diberikan akal untuk memilah dan memilih kehidupan seperti apa yang akan dilalui? Bukankah manusia diberikan akal agar dapat memahami jika setiap tindakan yang dilakukan selama hidupnya akan dipertanggungjawabkan pada akhirnya? Bukankah manusia diberikan akal untuk mempelajari kalam-Nya yang menjadi landasan hidup setiap manusia, agar tidak tersesat dalam melangkah?
Lantas, mengapa kebanyakan dari kita masih enggan membuka mata? Ya, inilah akhir zaman. Saat kemaksiatan telah tersebar ke mana-mana dan tidak ada yang merasa hina dengan dosa, saat itulah perilaku maksiat dianggap hal biasa. Mata kita tidak bisa lagi melihat kebenaran karena senantiasa terbiasa melihat keburukan dalam keseharian.
Allah telah memberikan manusia modal akal, modal paling utama untuk menjalani kehidupan agar dapat memahami setiap perintah-Nya dan menundukkan hawa nafsunya. Karenanya, derajat manusia dapat lebih mulia dibanding malaikat. Namun, saat manusia enggan menggunakan akalnya untuk memahami setiap perintah-Nya dan menundukkan hawa nafsunya, maka Allah akan rendahkan derajat kita, lebih hina dibanding binatang melata.
Di saat zaman sudah semakin maju, mengapa peradaban kita justru meniru bobroknya masa lalu? Di saat Allah telah berikan kesempurnaan akal, mengapa kita justru meniru perilaku binatang? Hal inilah yang patut kita renungkan.
Sudah sepatutnya bagi kita semua untuk kembali merenungkan azab-azab yang benar adanya. Jika telah meyakini bahwa setiap dari kita akan mendapat balasan atas tindakan yang lakukan, mengapa masih enggan menghentikan kesesatan? Siapkah kita menanggung segalanya kelak?
Allah berfirman dalam QS. Yunus ayat 51-52: “Kemudian apakah setelah azab itu terjadim kamu baru mempercayainya? Apakah (baru) sekarang, padahal sebelumnya kamu selalu meminta agar disegerakan? Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim itu, “Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal. Kamu tidak diberikan balasan, melainkan (sesuai) dengan apa yang telah kamu lakukan.”
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. Semoga kita semua senantiasa Allah jagakan dalam ketaatan dan Allah berikan kekuatan untuk melawan setiap kemaksiatan. Wallahu’alam bishawab.[]
Photo : Canva