“Kebijakan impunitas yang didapatkan dari PBB, menjadikannya bebas berbuat semaunya dan tidak bisa dijerat oleh hukum. Inilah mengapa, berharap Israel diadili secara hukum internasional adalah harapan yang sia-sia.”
Oleh. drh. Lailatus Sa’diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jurnalis kembali menjadi korban kebiadaban Israel. Hal ini sontak memicu kemarahan Dewan Pers. Berbagai kecaman hingga permintaan penyelidikan dengan serius oleh Dewan Pers menjadi tuntutan. Kebiadaban Israel terus dipertontonkan seakan tak ada satu pun otoritas yang mampu menghentikannya.
Pembunuhan Jurnalis Ternama
Tidak cukup hanya menembak mati Wartawan veteran jurnalis Al Jazeera Abu Akleh saat meliput serangan di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat pada Rabu (11/5), polisi Israel kembali mempertontonkan arogansinya dengan menyerang secara brutal pelayat pada prosesi pemakaman jenazah Shireen Abu Akleh (51 tahun) di Yerusalem Timur (republika.co.id, 14/05/2022). Jelas kondisi ini menambah kemarahan masyarakat. PBB pun ikut mengecam tindakan ini. Kantor Hak Asasi Manusia PBB mendesak untuk dilakukannya penyelidikan yang independen dan transparan atas pembunuhan wartawan senior oleh Israel. PBB juga menyatakan bahwa hak impunitas atas Israel harus diakhiri.
Kematian wartawan senior Shireen Abu Akleh begitu menarik perhatian dunia internasional dan menarik perhatian publik. Tidak sedikit komentar para tokoh politik dunia mengutuk tindakan Israel karena Shireen Abu Akleh ditembak mati oleh Israel saat bertugas dan masih menggunakan rompi pers. Terlepas memang apa yang dilakukan Israel adalah tindakan yang tidak dibenarkan dan melanggar hukum internasional, layaknya saudara kita di Palestina yang setiap hari meregang nyawa melawan kebiadaban Israel harusnya mendapat perhatian yang sama. Namun faktanya?
Lempar Batu Sembunyi Tangan
Di satu sisi dunia telah melihat betapa biadabnya Israel dalam pembunuhan wartawan senior Shireen Abu Akleh, namun nyatanya Israel dengan percaya diri telah mengatur siasatnya sendiri. Menanggapi hal tersebut, Israel telah menyuarakan penyesalan atas kematian Abu Akleh, Israel mengatakan bahwa tembakan maut itu mungkin dilakukan oleh seorang pria bersenjata dari pejuang Palestina. Israel juga menawarkan penyelidikan bersama dengan Palestina dengan meminta mereka memberikan peluru untuk pemeriksaan. Namun hal ini ditolak oleh Palestina dan menyebut tewasnya Abu Akleh sebagai pembunuhan oleh pasukan Israel. Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Kamis (12/05) mengatakan Israellah yang harus bertanggungjawab penuh dan menyerukan penyelidikan internasional. Lalu siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab atas pembunuhan ini?
Berkaca pada sikap dunia internasional pada apa yang telah Israel lakukan kepada Palestina, pastinya akan menciutkan harapan publik atas keadilan yang akan diperoleh wartawan Abu Alkeh. Karena selama ini penegakan hukum internasional tidak pernah menunjukkan sikap serius dan tegas dalam memberikan sanksi kepada Israel atas pelanggaran yang dilakukan. Hal ini dikarenakan aksinya telah didukung penuh oleh negara adidaya yaitu Amerika. Kebijakan impunitas yang didapatkan dari PBB, menjadikannya bebas berbuat semaunya dan tidak bisa dijerat oleh hukum. Inilah mengapa, berharap Israel diadili secara hukum internasional adalah harapan yang sia-sia.
Ada pun jika benar nantinya hukum internasional mampu memberikan keadilan bagi wartawan senior terbunuh Abu Akleh, maka ini sejatinya menunjukkan betapa pilih kasih hukum internasional dalam memandang status korban dan menegakkan keadilan.
Mengenal Kota Jenin Lokasi Pembunuhan Abu Akleh
Sebagaimana yang telah diberitakan kepada publik, Abu Akleh ditembak mati saat melakukan tugasnya sebagai pers dalam liputan kondisi Palestina atas serangan Israel di Kota Jenin. Kota Jenin dan kamp pengungsi Jenin terletak di Tepi Barat bagian utara Palestina. Kota tersebut hanya berpenduduk sekitar 40.000 jiwa yang terdiri dari mayoritas Muslim. Adapun kamp pengungsi Jenin dihuni sekitar 10.000 pengungsi terletak di tepi kota Jenin.
Kamp ini dibangun pada awal tahun 1950-an untuk menampung warga Palestina yang terusir dari kota-kota Palestina di tepi Laut Tengah yang telah jatuh ke tangan Israel pada perang 1948. Para pengungsi berasal kota Haifa, Jaffa, Hadera, dan Acre. Kota Jenin dikenal sebagai “kota perlawanan” yang selama ini belum pernah ditaklukkan oleh Israel dan mendapat julukan sebagai kota neraka bagai Israel.
Menurut Guru Besar Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Hebron, Jalal Shubky, yang dirilis dalam Kompas.id (15/22), Kota Jenin memiliki keunggulan dalam catatan sejarah perlawanan melawan penjajahan. Pertama, Kota Jenin mewarisi sejarah perlawanan Palestina mulai tahun 1930-an yaitu melawan kolonial Inggris hingga era pendudukan Israel saat ini. Maka, gaung perlawanan sudah menjadi identitas penduduk kota Jenin.
Kedua, Kota Jenin merupakan tempat lahirnya Brigade Izz Ad-Din Al-Qassam, beliau adalah sayap militer faksi Hamas. Ketiga, Kota Jenin dikenal sebagai simbol persatuan gerakan perlawanan masyarakat Palestina. Di kota inilah, semua gerakan perlawanan Palestina dari Fatah, Hamas, dan pejuang-pejuang lainnya bersatu bernaung di bawah bendera Palestina tanpa menonjolkan kelompoknya masing-masing.
Keempat, sentimen nasionalisme Palestina sangat kuat di kota ini. Di kota Jenin tertanam nasionalisme Palestina yang menyatukan identitas kelompok, ideologi politik, maupun agama.
Kelima, Kota Jenin tercatat telah melahirkan generasi muda perlawanan yang tangguh dalam melawan Israel. Hal ini karena generasi muda Kota Jenin merasa memiliki kewajiban moral untuk meneruskan semangat perjuangan dan perlawanan para pendahulunya yang telah gugur dalam perjuangan melawan Israel.
Namun perlu kita ingat, sekuat apa pun Kota Jenin dalam melakukan perlawanan kepada Israel hanya mampu menghantarkannya pada upaya bertahan dari serangan bukan melakukan pembebasan Palestina karena kondisi persenjataan yang tidak seimbang. Pastinya akan ada kekuatan yang lebih besar yang siap menjegal dari arah mana saja. Memang tidak ada perlawanan yang sia-sia karena ini sejatinya menunjukkan kepada siapa kita berpihak. Namun, tanpa adanya institusi negara yang menaungi dengan kekuatan militer yang memadai, perjuangan Jenin melawan Israel bukanlah hal yang mudah.
Palestina Butuh Khilafah
Kebutuhan umat muslim atas adanya institusi Khilafah adalah suatu keniscayaan. Tanpa adanya Khilafah tidak akan ada yang memosisikan sebagai perisai melindungi jiwa-jiwa umat manusia. Bahkan, tidak ada pula yang mampu mewujudkan keadilan atas setiap jiwa manusia tanpa adanya penerapan Islam secara kaffah. Karena aturan Islam adalah satu-satunya aturan yang akan memberikan keadilan bagi siapa pun karena datangnya dari Allah sang pemilik kehidupan.
Tanpa adanya perisai umat, ikatan akidah pun dikebiri oleh sekat nasionalisme, sehingga sesama muslim tidak memiliki kekuatan politik dalam menyelamatkan saudaranya yang sedang dibombardir Israel. Ada pun jika hendak mengirimkan bantuan, mau tidak mau terpaksa harus tunduk dengan peraturan internasional yang justru melemahkan kekuatan umat muslim. Israel bisa bertahan hingga sekarang ini karena didukung oleh kekuatan besar Amerika Serikat.
Maka jika kita mau menang melawan kezaliman Israel dan para pendukungnya, tidak ada pilihan lain bahwa kita harus bersegera mewujudkan institusi yang mampu menandinginya baik dari segi kekuatan militer, persenjataan maupun kebijakan politik yang menguatkan institusi negara. Tanpa adanya Khilafah, umat Islam tidak akan pernah mampu membantu penderitaan umat muslim lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “..Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring. “Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?”, Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air..”. (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Daud)
Itulah gambaran umat muslim saat ini. Kita mampu berpikir politis akan apa yang menjadi pokok permasalahan di tengah-tengah umat yaitu karena ketiadaan Khilafah sebagai perisai umat. Pembebasan Palestina dari kafir penjajah hanya bisa dilakukan oleh kekuatan militer Daulah Islam. Militer yang dikomando langsung oleh seorang Khalifah atas semangat mencari rida Allah taala. Maka menyeru persatuan umat dalam naungan Khilafah adalah hal yang utama saat ini.
Wallahu’alam bishowab.[]