“Dengan menjadi muslim ideologis, maka literasi positif akan dihasilkan. Tidak hanya menyajikan tulisan berbobot seputar keislaman, tapi juga mampu membuka pola pikir pembaca agar lebih kritis di masa depan.”
Oleh. Dila Retta
NarasiPost.Com-Mengutip dari laman Kominfo, melalui riset bertajuk "World’s Most Literate Nations Ranked" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Sebagai bagian dari penggiat literasi, hal seperti ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri bagi kita. Meskipun pada kenyataannya, menumbuhkan minat baca tulis di kalangan masyarakat bukanlah perkara mudah.
Namun demikian, bukan berarti kita harus sembarangan dalam membuat tulisan, “Asal mereka mau baca, tulisan vulgar dan SARA pun tak masalah, yang penting kan jadi suka baca”. Justru hal seperti inilah yang akan menjadi masalah! Jika tulisan-tulisan seperti ini dibiarkan bertebaran dalam dunia literasi, akan menjadi seperti apa masyarakat kita nanti?
Tujuan utamanya bukan hanya agar masyarakat memiliki habits membaca. Karena lebih dari itu, kita berharap informasi yang disampaikan, dapat mengubah kepribadian seseorang menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.
Sayyid Qutb Ibrahim rahimahullah, seorang penulis ideologis muslim Mesir pernah mengutipkan, “Peluru hanya mampu menembus satu kepala, sedangkan tulisan mampu menembus ribuan kepala. Maka tulislah sesuatu yang baik.”
Dalam hal ini, tentu ada rambu yang harus diperhatikan, agar literasi yang disajikan tidak hanya menarik perhatian tapi juga mampu membawa perubahan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menyuguhkannya, kita harus bisa menjadi seorang muslim yang ideologis, yang mampu berpikir kritis dan memahami kaidah hukum-hukum syariat Islam serta mampu menyampaikan kebenaran dan membantah gagasan-gagasan menyimpang.
Dengan menjadi muslim ideologis, maka literasi positif akan dihasilkan. Tidak hanya menyajikan tulisan berbobot seputar keislaman, tapi juga mampu membuka pola pikir pembaca agar lebih kritis di masa depan. Seyogianya, setiap dari insan memiliki kewajiban sama untuk beramar makruf nahi mungkar.
Perjuangan seperti ini pun tidak melulu dengan berdiri di atas mimbar atau berjihad ke medan perang. Kita bisa memulainya dengan menyajikan tulisan-tulisan ideologis berlandaskan hukum Islam. Terlebih jika melihat kondisi saat ini, kemungkaran banyak terjadi dalam dunia maya. Banyak oknum-oknum yang menyebarkan paham kesesatan, memerangi pikiran generasi-generasi masa depan dengan menyuguhkan konten-konten tak bermoral. Inilah adalah tugas kita semua, termasuk seorang muslimah.
Meski sering kali status muslimah dipandang sebelah mata, hanya dianggap sebagai fitnah yang kurang akalnya. “Seseorang dengan gamis lebar dan khimar yang berkibar tak boleh turut campur dalam permasalahan sosial. Urusan kaum wanita hanya sebatas dapur, sumur, kasur, jangan melewati batas!” , begitulah kiranya statement ‘paten’ yang sudah lama tertancap dalam benak masyarakat.
Padahal lebih dari itu semua, tidakkah kita semua mengetahui sebuah ungkapan "Al-ummu madrasatul ula”. Seorang wanita adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ya, itulah tugas mulia yang harus ditunaikan. Karena sejatinya, peranan seorang muslimah adalah salah satu kunci majunya sebuah peradaban.
Seorang wanita tanpa literasi, ibarat fondasi dari kayu ringkih. Tidak akan mampu menopang sebuah bangunan. Muslimah tanpa ilmu agama, ibarat rangkaian abjad yang tak membentuk kata. Tidak bermakna.
Jika muslimah hanya berfokus pada karier dan penampilan saja, rasa-rasanya kemajuan peradaban hanya akan menjadi wacana semata. Belajarlah dari kisah para shahabiyah, kisah Ibunda para ulama yang penuh ibrah dan dapat menumbuhkan girah.
Sebenarnya tak sukar untuk memulai, kita saja yang selama ini abai. Padahal, Allah sudah berikan modal akal, tahapannya pun sudah diajarkan, entah mengapa masih saja sering beralasan.
Sebagai seorang muslimah akhir zaman, jika tidak cukup memiliki bekal keilmuan, maka akan dengan sangat mudah diri ini terombang-ambing pada kesesatan paham sekuler-liberal yang membahayakan. Tidak bisa mengajarkan kebenaran.
Ketika kita menilik sejarah masa silam, kemajuan peradaban pada zaman kenabian dan kekhalifahan tidaklah dapat dilepaskan dari peranan muslimah-muslimah tangguh di balik layar. Tidak dapat dimungkiri bahwa di balik keberhasilan dakwah Rasulullah, ada peran besar Ibunda Khadijah yang senantiasa mendampingi, ada peran besar Aisyah yang merawi sabda-sabda Nabi saw.
Kita harus bisa menjadi muslimah tangguh yang berilmu. Turut berperan dalam peradaban, meski hanya melalui ‘pena yang digoreskan’. Jangan pernah meremehkan dunia literasi. Bukankah Islam dapat maju dan berkembang karena pena-pena ulama yang mencerdaskan?
Seorang muslimah sejati adalah yang senantiasa menjaga ketaatannya pada perintah Ilahi Rabbi. Tidak hanya dalam perkara ibadah, namun juga tentang peranan dalam membantu agama-Nya.
Kembali berbicara tentang peranan dalam dunia literasi, saya pernah membaca sebuah kutipan “Jangan dikte pembaca! Anda penulis, bukan diktator”. Menurut saya, mungkin ada benarnya kita adalah penulis dan bukan diktator. Tapi jika hanya menulis saja tanpa disertai keilmuan dan niat untuk memberikan kebermanfaatan, untuk apa? Bukankah tujuan awal telah ditentukan? Jadikan dunia literasi sebagai sarana menyampaikan kebenaran dan kebermanfaatan. Benar, kita adalah penulis dan bukan diktator. Tapi sebagai seorang mukmin sejati yang berperan sebagai khalifah di muka bumi, setiap dari kita harus bisa menjadi motivator agar para pembaca mampu berbenah dan memperbaiki diri setelah membaca apa yang kita tuliskan.
Kemudian, ada lagi hal lain yang harus kita pahami. Untuk menjadi seorang yang berilmu, untuk menjadi seorang pribadi hebat dan bermanfaat, jangan pernah menjadi budak buku! Hal ini saya pelajari dari buku “Pribadi Hebat” karya Buya Hamka. Beliau menuliskan, “Jika semua yang dibaca lantas ditelan saja, hilanglah jiwa kritis yang ada pada kita. Pamor kaum muslimin menjadi padam sejak 700 tahun belakangan karena ulama-ulamanya sudah menjadi budak kitab. Tidak keluar lagi pendapat yang baru, sudah dicukupkan dan diikutinya saja dengan membuta-tuli hal-hal yang ditulis oleh ulama terdahulu.”
Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan, “Selamilah sedalam-dalamnya pikiran orang lain dalam buku orang lain agar kita dapat membandingkan dan mencari tahu siapa diri kita. ‘Telan’ buku-buku yang banyak, lalu jadikan pupuk untuk menyuburkan diri sendiri dengan pendapat orang lain.”
Antara literasi dan peradaban, sebenarnya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena bagaimanapun juga, dibalik kemajuan peradaban yang sudah dijelaskan dalam sejarah di masa silam, tidak hanya disebutkan peranan para tokoh yang bertempur dalam medan perang, namun juga disebutkan peranan para tokoh yang berjuang dalam mencerdaskan dengan bekal keilmuan yang disampaikan.
Mengambil peran dalam dunia literasi tidaklah semudah anggapan orang. Ada rambu yang harus diperhatikan, ada banyak hal yang harus siap dipertanggungjawabkan, ada tantangan untuk melawan paham-paham buruk menyesatkan yang sudah tersebar.
Menggoreskan pena itu hal mudah, siapa pun pasti bisa. Namun sebagai seorang beragama, kita harus bisa menyuguhkan tulisan yang dapat menciptakan sebuah perubahan dalam peradaban. Karena setiap kata yang kita tuliskan akan berpengaruh pada pembaca. Kita pun, harus siap mempertanggungjawabkannya.
Wallahu a'lam bish-shawwab.[]