Gurita Korupsi dalam Pusaran Politik Dinasti

"Dalam politik dinasti, regenerasi calon pejabat atau penguasa hanya diambil berdasarkan popularitas, kekayaan calon, dan nama besar keluarga, bukan berdasarkan kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki. Jika ketenaran dan nama besar sudah menjadi acuan, maka tak heran akan muncul calon-calon instan yang tidak kapabel dalam mengurus rakyat."

Oleh. Sartinah
(Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-"Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely." (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen)

Pernyataan Lord Acton (1833-1902) di atas tampaknya seiring sejalan dengan fakta kekuasaan dalam sistem demokrasi. Bagaimana tidak, kekuasaan yang seharusnya menjadi sarana untuk mengurus rakyat, justru dijadikan jalan untuk memperkaya diri sendiri. Bahkan, demi mengamankan basis kekuasaannya, sang pejabat rela membangun politik dinasti.

Jeruji Besi sang Koruptor

Sudah menjadi rahasia umum, banyak kepala daerah yang membangun politik dinasti selama masa kepemimpinannya. Mereka mengangkat ayah, ibu, kakak, adik, istri, bahkan sepupu untuk melanggengkan kekuasaan. Tak dinyana, politik dinasti yang ramai-ramai dibangun tersebut, justru menjadi pintu masuk merajalelanya korupsi. Mirisnya, sebagian mereka berakhir di balik jeruji besi.

Sebagaimana diwartakan oleh Kompas.com (28/04/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah di wilayah Jawa Barat pada 27 April 2022. Dalam operasi tersebut, tim penindakan antirasuah menangkap Bupati Bogor, Ade Yasin, bersama tiga orang anak buahnya. Mereka diduga telah menyuap empat auditor BPK perwakilan Jawa Barat sebesar Rp1,9 miliar. Penyuapan tersebut diduga demi memperoleh predikat opini WTP dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021.

Sebagai informasi, Ade Yasin merupakan adik mantan Bupati Bogor sekaligus mantan narapidana korupsi, Rahmat Yasin. Kasus pejabat yang membangun dinasti politik dan berakhir di jeruji besi bukan kali ini saja. Ada banyak fakta, di mana kepala daerah tersandung kasus korupsi yang menyeret keluarga terdekat. Sebut saja Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten) bersama adik kandungnya Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Keduanya tersandung kasus alkes dan berakhir di penjara.

Ada pula kasus Wali Kota Cimahi, Atty Suharti, pada 2012-2017 yang turut menyeret suaminya, Itoc Tochija, dalam kasus korupsi pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap II pada 2017 lalu. Dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang menyeruak di tengah maraknya dinasti politik. Fakta-fakta tersebut memunculkan sebuah tanya, mengapa banyak pejabat yang membangun politik dinasti selama kepemimpinannya? Mengapa pula politik dinasti justru semakin melanggengkan korupsi?

Politik Dinasti dan Korupsi

Politik dinasti dapat diartikan sebagai kekuasaan yang dilakukan secara turun-temurun dalam kelompok keluarga yang masih terikat hubungan darah. Tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan (Wikipedia). Dari makna tersebut jelaslah bahwa para pejabat yang duduk di tampuk kekuasaan dan membangun politik dinastinya, bukanlah demi rakyat. Namun, demi menumpuk materi dan melanggengkan kekuasaan. Tren kekerabatan dalam kekuasaan tersebut merupakan gejala patrimonial yang sudah lama mengakar di masyarakat.

Dalam politik dinasti, regenerasi calon pejabat atau penguasa hanya diambil berdasarkan popularitas, kekayaan calon, dan nama besar keluarga, bukan berdasarkan kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki. Jika ketenaran dan nama besar sudah menjadi acuan, maka tak heran akan muncul calon-calon instan yang tidak kapabel dalam mengurus rakyat. Mereka bisa berasal dari para pengusaha, anak dan kerabat pejabat, maupun anak elite partai.

Tak dimungkiri pula, membangun dinasti politik dan mewariskannya kepada anak atau kerabat memerlukan biaya yang besar. Demi menutup kekurangan tersebut, tak jarang para pejabat menambalnya dengan cara instan yakni korupsi. Walhasil, dengan berlindung di balik politik dinasti, korupsi menggurita. Lihat saja, berapa banyak pejabat yang membangun politik dinasti dalam kepemimpinannya, walaupun akhirnya tertangkap dan masuk bui.

Terlebih tidak adanya kontrol kekuasaan karena penguasanya masih memiliki hubungan kekerabatan. Sang penerus takhta kepemimpinan akan cenderung menutupi kesalahan dan kekurangan pendahulunya. Karena itu, jangan berharap ada perbaikan setelah berganti kepemimpinan. Yang terjadi justru mereka meneruskan kebiasaan yang dilakukan pemimpin sebelumnya.

Demokrasi Menyemai Korupsi

Korupsi dan demokrasi ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling terkait dan tak bisa dipisahkan. Para koruptor butuh sistem demokrasi untuk menggarong harta rakyat, sementara demokrasi menjadi sistem yang ramah terhadap koruptor. Tak heran jika para elite politik berduyun-duyun menduduki jabatan hingga membangun politik dinasti demi melanggengkan kekuasaan.

Sistem politik demokrasi yang mahal meniscayakan maraknya praktik korupsi. Pasalnya, mahar politik yang harus dibayarkan kader partai untuk meminang satu jabatan terbilang fantastis. Jika terpilih, maka langkah instan untuk mengembalikan ongkos politiknya adalah korupsi. Meski sudah tidak terhitung lagi jumlah pejabat yang berakhir di jeruji besi, tetapi perilaku korup tak pernah mati. Tak heran, demokrasi pun akhirnya melahirkan para pemimpin yang bermental korup. Lantas, bagaimana memutus lingkaran setan korupsi hingga tuntas?

Islam Solusi Hakiki

Penyelesaian kasus korupsi dengan mengambil solusi dari sistem demokrasi, ibarat menegakkan benang basah. Karena itu, negeri ini butuh solusi hakiki untuk memutus korupsi dan menutup semua pintu yang mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan. Solusi tersebut hanya ada dalam sistem yang menjadikan akidah sebagai sandaran, yakni Islam.

Islam memiliki paradigma khas terkait kepemimpinan dan kekuasaan. Keduanya adalah amanah yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin."

Sebagai ideologi yang memiliki keagungan dan keistimewaan, Islam mampu memberikan solusi sistematis dan ideologis terhadap permasalahan korupsi. Tak hanya memberantas korupsi, Islam bahkan mampu mencegah orang yang baru berniat melakukan korupsi. Berikut langkah-langkah Islam dalam memberantas dan mencegah korupsi.

Pertama, penerapan ideologi Islam. Sebagai sebuah ideologi, Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah mahdah semata, tetapi juga mengurus kehidupan. Misalnya saja dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Penguasa (khalifah) diangkat berdasarkan pilihan dan keridaan rakyat untuk menjalankan syariat Islam. Pun demikian dengan para pejabatnya diangkat semata-mata untuk melaksanaan syariat Islam. Proses pengangkatan kepala daerah tidak memerlukan biaya mahal namun tetap berkualitas dan amanah. Meskipun demikian, sanksi hukum tetap disiapkan untuk mengatasi berbagai kecurangan para pejabat dan pegawai negara.

Kedua, takwa dan zuhud. Syarat utama seorang pejabat atau pegawai negara adalah takwa. Selain syarat profesionalitas tentunya. Sebab, ketakwaan menjadi kontrol awal dari perbuatan maksiat dan tercela. Selain ketakwaan, zuhud terhadap dunia akan menjadikan seorang pejabat atau pegawai negara benar-benar amanah. Mereka sadar betul, bahwa menduduki jabatan dan kekuasaan hanyalah sarana untuk mewujudkan kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Bukan demi memperkaya diri ataupun kelompoknya.

Ketiga, politik ri'ayah. Politik tersebut bertujuan untuk mengurusi kepentingan rakyat dengan sepenuh hati. Karena itu, tidak ada kata tunduk pada kepentingan oligarki, kapitalis, maupun para elite. Untuk menjamin totalitas dalam mengurusi umat, Khilafah memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup para pegawai negara. Baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Di samping itu, calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum dan saat menjabat. Jika ada penambahan yang meragukan, maka akan diperiksa untuk membuktikan apakah harta yang didapat syar'i atau tidak. Jika terindikasi korupsi, hartanya akan disita dan dimasukkan ke kas negara, sementara pelakunya diberi sanksi.

Keempat, sanksi tegas dan efek jera. Sanksi dalam Islam bersifat sebagai penebus dan pencegah. Karena itu, sanksi yang diberikan dipastikan memberi efek jera juga mencegah agar kasus yang sama tidak terulang kembali. Sanksi tegas tersebut bisa berupa peringatan, publikasi, stigmatisasi, penyitaan harta, cambuk, pengasingan, hingga hukuman mati.

Khatimah

Gurita korupsi akan tetap menjadi momok di negeri ini selama sistem yang diterapkan masih ramah terhadap koruptor. Umat hanya akan menyaksikan negeri ini bebas dari korupsi jika ada upaya maksimal untuk memberantasnya. Sejatinya hanya Khilafahlah yang mampu memutus lingkaran setan korupsi hingga tuntas. Karena itu, tugas mulia umat Islam adalah memperjuangkan tegaknya Khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kafah.
Wallahu 'alam bishshawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Korban Begal Jadi Tersangka
Next
Partai Mahasiswa, Keruntuhan Idealisme dalam Palung Hitam Demokrasi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram