Anak Dikorbankan atas Nama Pemberdayaan Perempuan

"Nilai lebih yang diberikan oleh pemikiran di sistem ini membuat para perempuan terlena hingga mereka lupa kepada tugas utamanya. Apalagi iming-iming materi dunia yang menjanjikan membuat urusan keluarga diletakkan di nomor ke sekian. Tidak ada waktu untuk mengurus anak dan suami. Waktu dan tenaganya hanya dihabiskan untuk mengejar apa yang mereka sebut sebagai kebahagiaan.

Oleh: Atien

NarasiPost.Com-"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, atau Nasrani atau Majusi. (HR .Bukhari)

Anak merupakan amanah dari Allah Swt yang wajib dibesarkan, dididik, dan dijaga dengan baik. Anak juga tidak sekedar dicukupi dengan limpahan materi saja. Lebih dari itu, anak ternyata membutuhkan kasih sayang, perhatian dan pendidikan yang maksimal dari orang tua terutama ibunya.

Hanya saja hal itu sulit terwujud di zaman sekarang. Bukannya pesimis, namun fakta yang ada memang memberi gambaran yang jelas ketika peran ibu terpinggirkan oleh desakan kebutuhan ekonomi keluarga yang mau tidak mau
membuat para ibu terpaksa keluar rumah untuk bekerja.

Dengan keluarnya para ibu untuk bekerja, membuat anak-anak kurang pengasuhan dan pengawasan dari orang tua. Oleh karena itu, adanya Taman Penitipan Anak menjadi sebuah kebutuhan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Purbalingga memang tumbuh pesat dengan industri bulu mata dan rambut palsu yang didominasi oleh kaum perempuan. Rata-rata mereka adalah ibu-ibu muda yang meninggalkan anaknya di rumah.

Keberadaan Taman Penitipan Anak ini diharapkan bisa menjadi solusi agar anak ada yang mengurusi ketika ibunya sedang bekerja. Hal itu disampaikan oleh Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi, saat peresmiaan Gedung PAUD Unit Taman Penitipan Anak di Dusun Lengkong, Desa Limbangan Kecamatan Kutasari. Gedung tersebut didirikan oleh Yayasan Islam Al-Hikmah dan didukung oleh para donatur. (Radarbanyumas.co.id)

Fenomena para istri yang ikut mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Apalagi sejak wabah pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini. PHK besar-besaran membuat para suami menganggur. Tak ayal, para istri harus bisa memutar otak agar perekonomian keluarga tetap berjalan dan dapur terus bisa mengepul.

Maka, jalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah membuat istri juga bekerja. Apalagi lapangan kerja yang tersedia ternyata lebih banyak diperuntukkan untuk kaum perempuan.

Saat perempuan bekerja di luar rumah, kebutuhan keluarga memang bisa terpenuhi. Namun di sisi lain, peran utama perempuan dalam mengurusi rumah tangga dan mendidik anak menjadi terabaikan. Hal tersebut menimbulkan permasalahan baru karena para perempuan yang bekerja ternyata juga punya anak yang membutuhkan pengasuhan dari ibunya. Namun, mereka terbentur oleh pekerjaan sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk bisa mendampingi tumbuh kembang sang anak.

Lantas, benarkah dengan dibangunnya Taman Penitipan Anak bisa menjadi solusi? Bisakah peran ibu digantikan oleh orang lain? Apalagi anak dititipkan dari pagi hingga sore hari dengan harapan anak ada yang mengurusi, memberi perhatian dan juga kasih sayang.

Pertanyaan-pertanyaan di atas tentunya menjadi sebuah renungan agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Jangan sampai keputusan untuk menitipkan anak menjadi bumerang untuk para orang tua saat anak ternyata lebih nyaman bersama orang asing daripada orang tuanya sendiri.

Selain itu, ada sebuah hal penting yang juga harus mendapat perhatian dari orang tua. Hal tersebut adalah rasa aman dan perlindungan yang menjadi hak setiap anak. Rasa aman dari hal-hal yang tidak sepantasnya menimpa anak, seperti kasus kekerasan ataupun pelecehan seksual yang menimpa mereka.

Data dari BPS Provinsi Jawa Tengah mencatat angka kekerasan yang menimpa anak-anak mencapai 1.197 kasus di tahun 2020 dan di tahun 2021 meningkat menjadi 1.229 kasus.
(https://jateng.bps.co.id)

Jumlah tersebut tentu harus mendapat perhatian dari pemerintah. Jangan sampai anak-anak kehilangan masa depannya karena kurang pengawasan dari orang tua. Anak adalah amanah yang kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي بَيْتِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Namun, kesadaran dan pemahaman tentang peran seorang ibu dalam keluarga dikalahkan oleh narasi-narasi menyesatkan. Narasi-narasi tersebut mengajak dan mendorong perempuan untuk keluar dari peran utamanya sebagai ummu wa robbatul bait (ibu pengurus rumah tangga) dan madrasatul 'ula (pendidik utama) bagi anak-anaknya.

Narasi yang dibangun atas nama pemberdayaan perempuan untuk menggenjot perekonomian keluarga menjadi racun yang mematikan bagi peran ibu yang begitu mulia. Begitu juga dengan anggapan bahwa wanita bekerja adalah sebuah prestasi yang patut diapresiasi dengan dalih emansipasi.

Narasi-narasi tersebut memang wajar terjadi karena sistem rusak buatan manusia masih saja dipakai di negeri ini. Siapa pun pasti tahu manusia adalah makhluk yang lemah lagi terbatas. Tentu saja sistem ini pun juga terbatas dan takkan mampu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup.

Sistem rusak ini membuat umat Islam tidak nyaman dengan aturan agamanya sendiri. Bagi mereka, agama hanya boleh hadir di ranah ibadah. Saat diatur dalam ranah kehidupan umum mereka merasa gerah dan seakan terjajah. Bagi mereka, agama adalah belenggu dan candu yang harus dilepaskan dari kehidupan.

Begitu juga dengan peran perempuan yang dimanfaatkan atas nama peningkatan perekonomian dan pemberdayaan perempuan. Perempuan yang bekerja dielu-elukan sebagai sosok yang menginspirasi. Kemandirian mereka menjadi sorotan yang harus diidolakan dan diteladani.

Nilai lebih yang diberikan oleh pemikiran di sistem ini membuat para perempuan terlena hingga mereka lupa kepada tugas utamanya. Apalagi iming-iming materi dunia yang menjanjikan membuat urusan keluarga diletakkan di nomor ke sekian. Tidak ada waktu untuk mengurus anak dan suami. Waktu dan tenaganya hanya dihabiskan untuk mengejar apa yang mereka sebut sebagai kebahagiaan.

Itulah gambaran perempuan dalam sistem rusak kapitalisme liberal. Perannya dikebiri sehingga tidak mulia lagi. Anak kehilangan sosok teladan yang seharusnya mereka dapatkan. Sistem rusak ini benar-benar berhasil menghancurkan peran mulia perempuan. Kondisi rusak tersebut tidak akan terjadi bila Islam yang diterapkan. Sebab Islam begitu menjaga dan melindungi perempuan.

Dalam Islam, kewajiban mencari nafkah ada di pundak laki-laki atau suami.
Allah telah berfirman yang artinya: "…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya…" (TQS. Al-Baqarah: 233)

Rasul saw juga bersabda:
ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف

"Hak mereka (istri) atas kalian (suami) adalah agar kalian memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik." (HR. Muslim)

Dengan demikian perempuan tidak lagi terbebani untuk bekerja. Mereka hanya fokus mengurusi anak dan keluarga. Hal itu membuat peran perempuan dalam keluarga akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Lalu bagaimana jika para laki-laki sulit mendapatkan pekerjaan sedangkan dia harus menafkahi keluarganya?
Di sinilah peran negara diperlukan. Negara yang menerapkan Islam akan menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai untuk para laki-laki. Negara juga akan memberikan penbinaan dan pelatihan agar mereka memiliki ketrampilan yang dibutuhkan dalam mencari pekerjaan.
Begitu juga ketika para suami kekurangan modal untuk memulai sebuah usaha, negara akan memberikan modal untuk membangun usaha.

Hal-hal di atas menjadi kewajiban negara yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, seorang kepala negara atau imam memikul tanggung jawab yang besar dalam kepengurusan rakyatnya.

Rasulullah saw bersabda, "Imam (kepala negara) itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya."
(HR. Bukhari)

Kepedulian pemimpin negara dalam Islam yang memperhatikan rakyatnya hanya bisa terwujud apabila seluruh aturan Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh). Dalam Islam kaffah, peran perempuan kembali mulia dan masa depan anak-anak terjaga di tangan ibunya. Tidak akan ada lagi anak-anak yang dikorbankan oleh ibunya atas nama pemberdayaan perempuan.

Wallaahu a'lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Atien Kontributor NarasiPost.Com
Previous
KLB Hepatitis Misterius, Perlukah Penanganan Serius?
Next
Hepatitis Misterius, Jangan Sampai Jadi Pandemi Baru!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram