Gara-Gara Jemuran Tetangga

"Gara-gara jemuran tetangga, aku bisa merasakan nikmatnya keseleo. Sakit berguna agar kita bisa mensyukuri sehat sehingga akan menjaganya sebaik mungkin. Bukankah dengan adanya sakit, kita bisa merasakan nikmatnya kesehatan?"

Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kisah ini terjadi sekitar 7 tahun yang lalu saat aku masih menjadi kontraktor di Malang. Ya, kontraktor rumah, alias pengontrak atau penyewa rumah orang lain. Hehe…

Saat itu, aku baru pulang dari rumah seorang teman yang tak jauh dari tempatku. Awan kelabu yang sedari pagi menggelayuti langit mulai menitikkan airnya. Aku segera bergegas.

Sampai di depan pagar, kulihat ada beberapa helai baju di tempat jemuran. Pasti punya Bu Sri, tetangga sebelah rumahku. Sedetik kemudian, gerimis tiba-tiba menderas. Setengah berlari, aku menuruni tangga masuk ke halaman rumah. Posisi rumahku memang lebih rendah daripada jalanan di gang sehingga bila keluar masuk halaman harus melewati tangga yang lumayan tinggi.

Bruaaakkk… "Astagfirullah… aduuuhh!" Aku jatuh tersungkur dan menimpa pot di sebelah tangga yang kuturuni tadi. Kakiku terasa nyeri sekali. Sepertinya terkilir. Kucoba berdiri tapi gagal karena terlalu sakit.

“Bi, tolong!” kupanggil suami yang menemani si bungsu. Terdengar langkah tergopoh dari dalam rumah.

"Lho, kenapa, Mik?” tanyanya saat melihatku tergeletak di tanah di antara pot-pot bunga.

“Jatuh, nih…” jawabku sambil menahan perih.

“Lain kali coba lebih hati-hati lagi, Mik. Sudah berapa kali Mik jatuh gara-gara ceroboh?! katanya sambil mengusap-usap kakiku. Aku hanya bisa meringis.

“Ya, tadi maksudnya kan mau bantuin angkat jemurannya Bu Sri karena takut basah kehujanan. Tak tahunya malah aku sendiri yang jatuh nyungsep karena buru-buru,” jawabku apa adanya.


Setelah mengoleskan krim pereda nyeri, suamiku lalu beranjak pergi. Jadwalnya untuk berangkat kerja.

“Aku berangkat dulu, ya!” pamitnya lagi.

Dia berjanji akan segera pulang karena tahu aku pasti kerepotan mengurus rumah dan anak-anak di saat sakit begini. Dia hanya akan menyelesaikan pekerjaannya sebentar lalu pulang lebih awal. Dia juga akan menghubungi tukang pijat langganan untuk memijatku nanti.

Azan zuhur sudah terdengar. Sebentar lagi si sulung pulang. Aku mencoba berdiri. Ah, sakitnya. Kulihat kakiku yang terkilir tampak membengkak. Tak bisa jalan nih kalau sudah begini. Akhirnya aku merangkak ke belakang untuk berwudu. Mirip bayi besar ini sih kalau dilihat-lihat!

Usai salat aku kembali menemani si bungsu bermain. Selang dua puluh menit kemudian terdengar suara motor berhenti di depan pagar rumah.

“Nah, itu Kakak sudah pulang!” kataku pada si bungsu. Bergegas aku menuju ke arah pintu.

“Umi, kenapa!??” sulungku berteriak dengan mata membelalak.

“Itu siapa? Siapa di situ???!” jeritnya lagi. Wajahnya tampak ketakutan sekali. Dia langsung mundur seketika begitu melihatku seolah aku ini hantu. Jangan-jangan dia mengira aku bukan uminya, tapi makhluk astral yang suka eksis di film-film horor itu?! Wah, gawat nih!

“Hai, ini Umi! Kaki Umi terkilir tadi habis jatuh,” kataku segera sebelum ia tambah ketakutan.

"Sakit kalau dipakai berjalan. Makanya, umi merangkak begini. Percayalah! Ini umi sungguhan! Umi kan sudah menjawab salam tadi. Enggak mungkin dong setan mau jawab kalau ada yang memberi salam?! Ya, kan?!” kucoba meyakinkannya kalau yang dia lihat itu bukan suster ngesot. Wajahnya yang tadi sangat panik, kini mulai agak lega.

Jadi, begitulah ceritanya kawan-kawan. Happy ending, meskipun selama dua hari setelah jatuh itu aku tak bisa berjalan dan harus merangkak atau ngesot, yang karena itu aku sempat dikira hantu oleh anakku. Hihihi… Ya, disyukuri sajalah. Semua ada hikmahnya. Lalu, apa pelajaran yang bisa diambil dari insiden kecil itu?

Kalau kita mau berpikir dan bermuhasabah, pasti akan ditemukan hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa. Pertama, kita harus selalu berhati-hati. Kita tak tahu kapan musibah dan kecelakaan akan menimpa kita. Hendaknya kita selalu waspada dengan setiap langkah yang akan diambil. Salah mengambil langkah bisa menyebabkan diri kita celaka atau merugikan orang lain, bahkan memberi penyesalan seumur hidup.

Yang kedua, orang bisa terjatuh karena kesalahan kecil. Hal yang kecil atau tampaknya remeh ternyata dapat membawa dampak besar. Lihatlah debu kecil yang seolah tak terlihat, bagaimana ia bisa membuat mata manusia perih karenanya.

Orang sering kali melupakan detail kecil yang dianggap tak penting. Padahal, bisa jadi hal itu justru sangat menentukan hasil akhir. Laksana puzzle yang kehilangan potongan kecilnya, tak akan menjadi utuh.

Yang ketiga, niat baik tak selalu terlaksana dengan baik. Mungkin kita sudah berniat baik ingin membantu orang lain, namun justru menjerumuskan kita pada bahaya. Masalah malah menimpa kita. Bahkan, bisa jadi hidup kita terancam karenanya.

Selain itu, niat baik tak selalu akan diterima dengan baik pula. Bisa jadi apa yang kita lakukan justru menambah rumit permasalahan yang ada. Mungkin sekali bantuan kita malah merepotkan orang lain. Jadi, bagaimana? Apa tak usah melakukannya saja? Ya, enggak begitu juga, sih!

Ingatkah tentang hadis bahwa perbuatan itu tergantung niatnya? Niat itu penting sekali karena menjadi tolok ukur diterimanya suatu amalan manusia. Niat sesungguhnya hanyalah diri sendiri dan Allah yang mengetahui.

Kalau niat yang baik, insyaallah akan diterima oleh Allah. Pahala sudah kita dapatkan dari berniat baik. Allah akan tambahkan lagi pahala bila niat baik itu sungguh-sungguh dilaksanakan. Bila tak terlaksana karena suatu hal di luar kuasa kita, maka niat baik itu telah dihitung dan kita tetap mendapatkan pahala. Untung sekali, bukan?! Sungguh Allah Mahabaik, sebagaimana sabda Rasulullah bahwa: "Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barang siapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak jadi melakukannya, Allah tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barang siapa berniat berbuat buruk namun tidak melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Siapa saja yang berniat untuk berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Lalu, yang penting juga adalah ketika niat baik sudah ditanamkan, maka tentukan bagaimana itu akan dilaksanakan. Pertimbangkan dari segala sisi. Niat baik hendaklah dilakukan dengan cara yang baik dan tepat pula. Meskipun hal itu juga tak menjamin hasilnya sesuai yang diharapkan, namun kita telah mengupayakannya dengan baik menurut syariat.

Selalu tetapkan niat kita karena Allah semata. Insyaallah, bila kita telah meyakini bahwa segala sesuatu terjadi sesuai ketetapan-Nya, maka tak ada yang namanya sedih dan kecewa. Tak ada pula perasaan galau berkepanjangan. Harus bisa move on untuk bersegera melakukan kebaikan lainnya.

Kalau seperti kisah di atas bagaimana? Kalau berpikir dulu akan kelamaan, keburu hujan membasahi jemuran yang hampir kering, dong? Ya, berarti harus ingat pelajaran pertama, yakni selalu berhati-hati. Karena itulah dalam setiap melakukan sesuatu haruslah diawali dengan doa. Itu menandakan hati selalu mengingat-Nya di segala suasana. Insyaallah kita akan terjaga dari segala keburukan.

Jangan lupa membaca bismillah dahulu sebelum beraktivitas agar selalu dilindungi Allah. Eh, jadi ingat nasyidnya Raihan yang populer tempo dulu: "Dimulakan dengan bismillah. Disudahi dengan alhamdulillah. Begitulah sehari dalam hidup kita. Mudah-mudahan dirahmati Allah.”

Tiada yang kita harapkan selain mendapat rida dan rahmat-Nya. Kebahagiaan yang tak terhingga bila bisa meraihnya. Ikhtiar, doa, serta tawakal jadikan bagian hidup kita selalu.

Begitulah kisah ini diakhiri. Semoga ada kebaikan di dalamnya, meskipun kecil. Tak mengapa, karena kecil pun bernilai juga. Gara-gara jemuran tetangga, aku bisa merasakan nikmatnya keseleo. Sakit berguna agar kita bisa mensyukuri sehat sehingga akan menjaganya sebaik mungkin. Bukankah dengan adanya sakit, kita bisa merasakan nikmatnya kesehatan? Maka, sakit pun juga nikmat Allah, bukan?

Wallahu a’lam bish-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Deena Noor Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Pemikiran Politik Islam
Next
Palestina Kembali Membara, Khilafah Solusinya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram