"Mahalnya proses pemilu untuk melahirkan seorang penguasa dari perwujudan pesta demokrasi, sejatinya tidak akan pernah mampu melahirkan pemimpin yang nantinya akan bekerja sepenuh hati untuk mewujudkan kondisi masyarakat lebih baik. Tuntutan balik modal dan mewujudkan kepentingan golongan menjadi semangat meraih kekuasaan. Maka tak ayal, jika kepentingan masyarakat harus dikorbankan."
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Presiden Jokowi mengumumkan perkiraan anggaran pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak pada 2024 mencapai Rp110,4 triliun. Di mana anggaran tersebut akan dialokasikan sebesar Rp76,6 triliun untuk KPU dan Rp33,8 triliun untuk Bawaslu. (bisnis.com, 10/04/2022)
Sungguh nominal yang sangat besar untuk melahirkan pemimpin di tengah kondisi rakyat yang semakin tercekik dengan naiknya berbagai macam harga kebutuhan pokok.
Fantastis
Mahalnya biaya pemilu dalam demokrasi sudah menjadi rahasia umum. Perhelatan akbar pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali ini, menjadi ajang kontestasi partai politik untuk meraih kekuasaan.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyampaikan anggaran pemilu serentak yang cukup besar ini, dikarenakan rencana pemilu presiden yang diadakan sekaligus dengan pemilihan calon anggota DPR, DPRD, serta gubernur, bupati, dan wali kota. Itulah yang menjadikan biaya logistik yang diperlukan menjadi lebih tinggi jika dibandingkan penyelenggaraan pemilu pada periode sebelumnya. (bisnis.com, 10/04/2022)
Proses pemilu yang bertele-tele dan memakan waktu yang panjang juga menjadi sebab membengkaknya biaya yang dibutuhkan. Belum lagi berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh partai dan peserta calon pemilu. Untuk menjadi pemenang dalam kontestasi pesta demokrasi menuntut mereka untuk terus menaikan elektabilitas masing-masing calon peserta pemilu. Karena inilah yang menjadi salah satu tolok ukur diterimanya para peserta pemilu sebagai calon pemimpin idaman masyarakat. Mereka pun begitu aktif mencanangkan berbagai program kampanye untuk merebut hati masyarakat.
Bahkan untuk pemilu 2024, yang baru akan terlaksana 2 tahun lagi, para calon kontestasi sudah mulai menghimpun dukungan dari masyarakat. Ada yang membagikan bahan pangan di tengah mahalnya kebutuhan pokok, ada yang memberikan bantuan modal usaha dan lain sebagainya. Demi meraih kursi kekuasaan dan dukungan, partai dan para peserta kontestasi rela mengeluarkan biaya yang begitu besar juga.
Rakyat Harus Membayar Mahal
Anggaran untuk menyelenggarakan pemilu 2024 akan dialokasikan dari APBN. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf, berpandangan bahwa peningkatan anggaran untuk pemilu serentak 2024 tidak akan memberikan dampak yang besar pada keuangan negara atau APBN (bisnis.com, 10/04/2022). Namun, faktanya di tengah karut-marut perekonomian yang cenderung merosot, harusnya pemerintah bijak untuk menggunakan alokasi uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Besarnya anggaran penyelenggaraan pemilu berpotensi terjadinya penyalahgunaan anggaran. Kembali uang rakyat akan diembat oleh para oknum tidak bertanggung jawab. Mahalnya mahar politik agar calon diusung oleh partai politik juga menjadi salah satu sebab tingginya praktik korupsi di negeri ini. Hasil korupsi inilah yang nantinya digunakan sebagai "dana gelap" pendukung kampanye.
Ini bukanlah tuduhan tanpa bukti. Seperti yang terjadi pada tahun 2018 lalu, sejumlah calon kepala daerah pada pilkada 2018 rela mengumpulkan uang hasil korupsi untuk memenuhi logistik kampanye. Salah satunya, kasus suap (mantan) Wali Kota Kendari, Adriatma D Putra, pada Februari 2018. Uang hasil korupsi tersebut digunakan untuk membiayai keperluan kampanye ayahnya, Asrun, demi memenangkan ambisinya menjadi calon Gubernur Sulawesi Tenggara pada pilkada 2018. Hal ini pun tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada kontestasi pemilu 2024.
Bak jatuh tertimpa tangga. Di satu sisi, uang rakyat harus dialokasikan untuk membiayai mahalnya pemilu. Di sisi lain, ada anggaran APBN yang juga dikorupsi untuk memenuhi syahwat meraih kekuasaan. Pesta demokrasi yang digadang-gadang sebagai pesta suka cita lahirnya pemimpin baru, justru menjadi salah satu ajang merenggut hak rakyat.
Demokrasi Melahirkan Penguasa Tidak prorakyat
Kontestasi pemilu dalam demokrasi menuntut calon peserta pemilu dan partai politik untuk menyiapkan anggaran yang besar. Sebagaimana pilpres pada tahun 2019, dana kampanye Jokowi-Ma’ruf sebesar Rp130,452 miliar yang bersumber dari : Badan Usaha Non-Pemerintah 36,9 persen, Perorangan 9 persen, Barang/Jasa 33,2 persen, Parpol pendukung 20,6 persen, dan sisanya bunga bank. Kemudian, dana kampanye Prabowo-Sandi sebesar Rp134,181 miliar bersumber dari : Prabowo 27,1 persen, Sandiaga Uno 71,1 persen, serta Partai Gerindra 1 persen, sisanya dari sumbangan perorangan, sumbangan kelompok, dan bunga bank. Berdasarkan catatan dari Seknas FITRA (05/03/19), di luar dana yang disebutkan di atas, dimungkinkan adanya dana ilegal yang sengaja tidak dicatatkan dalam laporan dana kampanye. Ini menunjukkan seberapa mahalnya pemilihan pemimpin dalam demokrasi.
Besarnya dana kampanye dari masing-masing calon serta adanya dukungan dari berbagai lembaga dan badan usaha, memungkinkan adanya kesepakatan "di bawah meja" jika nantinya calon yang diusung berhasil memenangkan pemilu. Ini adalah suatu pemikiran yang sangat realistis. Karena tidak mungkin para oligarki mendukung tanpa ada keuntungan yang akan didapatkan nantinya.
Hal ini tercermin dari kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah ala demokrasi, cenderung lebih berpihak pada oligarki dari pada kepada masyarakat secara umum. Misalkan, lahirnya UU Minerba yang justru membuka peluang adanya privatisasi, UU Cipta Kerja, adanya revisi UU KPK oleh parlemen yang justru mengebiri ketangkasan KPK dalam memberantas korupsi, UU IKN yang cenderung dipaksakan di tengah amburadulnya kondisi perekonomian bangsa. Belum lagi kebijakan pemerintah mengenai BPJS Kesehatan sebagai syarat administrasi pelayanan publik yang yang baru-baru ini disahkan, menambah deret panjang fakta bahwa kebijakan yang dilahirkan pemerintahan saat ini justru menyengsarakan rakyat.
Mahalnya proses pemilu untuk melahirkan seorang penguasa dari perwujudan pesta demokrasi, sejatinya tidak akan pernah mampu melahirkan pemimpin yang nantinya akan bekerja sepenuh hati untuk mewujudkan kondisi masyarakat lebih baik. Tuntutan balik modal dan mewujudkan kepentingan golongan menjadi semangat meraih kekuasaan. Maka tak ayal, jika kepentingan masyarakat harus dikorbankan.
Pemerintahan Islam Melahirkan Pemimpin prorakyat
Realitas kepemimpinan dalam konsep pemerintahan dalam Islam atau Khilafah adalah pemimpin bekerja untuk mengurusi urusan rakyat. Seorang calon pemimpin atau Khalifah dipilih berdasarkan syariat Islam dimana harus memenuhi syarat pengangkatan yaitu laki-laki, muslim, baligh, merdeka, berakal, adil serta mampu menjalankan amanah sebagai Khalifah. Mampu di sini juga berarti memiliki kemandirian dalam menjalankan pemerintahan sesuai syariat Islam dan bukan merupakan budak korporasi atau boneka partai politik tertentu.
Proses pemilihan Khalifah pun tidak memakan waktu yang panjang serta bertele-tele seperti saat ini. Batas pemilihannya tidak diperbolehkan melewati tiga hari tiga malam. Alhasil, dalam memilih pemimpin dalam Islam tidak dibutuhkan pencitraan untuk meningkatkan elektabilitas. Calon Khalifah akan dipilih berdasarkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam menjalankan syariat Islam. Sedangkan untuk pengangkatan Khalifah bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, dipilih secara langsung boleh umat muslim sebagaimana yang telah dicontohkan pada saat memilih Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq setelah Rasulullah meninggal.
Kedua, bisa ditunjuk langsung oleh Khalifah sebelumnya, sebagaimana pada masa pengangkatan Khalifah Umar bin Khatab yang direkomendasikan oleh Khalifah sebelumnya Abu Bakar Ash Shidiq.
Ketiga, pengangkatan melalui wakil umat atau Ahlul Halli Wal 'Aqdi, sebagaimana yang pernah dicontohkan pada masa pengangkatan Khalifah Usman bin Affan. Di mana nantinya setiap Khalifah terpilih akan dibai'at in'iqod (baiat pengangkatan) dan kemudian diikuti dangan bai'at taat oleh masyarakat secara umum.
Demikianlah gambaran pemilihan calon pemimpin berdasarkan syariat Islam. Jauh dari kesan pemborosan pendanaan serta jauh dari kepentingan golongan. Karena hanya rida Allah Ta'ala yang menjadi tujuan setiap aktivitas kepemimpinannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : "Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya". Sejatinya, pemimpin yang senatiasa menjadikan syariat Islam sebagai landasan aktivitas kepemimpinannyalah, yang nantinya akan mampu mengantarkan masyarakatnya sebagai umat terbaik.
Wallahu'alam bishowab.[]