Merindu Tempat Nyaman untuk Berteduh

"Rakyat jelata dibiarkan hidup berselimut kesengsaraan. Jika masih memiliki tempat tinggal, mungkin masih dianggap beruntung, meski masih mengontrak. Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa di luar sana banyak juga rakyat yang tak memiliki tempat berteduh. Mereka hidup di jalan, tidur beratap langit."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Beberapa tahun lalu, aku memiliki tetangga yang tinggal di rumah mertuanya. Tidak ada yang salah dengan tinggal di rumah mertua, namun yang kusoroti adalah kamar tidurnya yang hanya ada satu untuk mereka sekeluarga, sebab rumah mertuanya tidak terlalu besar. Walhasil, empat orang tidur dalam satu kamar, yakni ayah, ibu, anak perempuan, dan anak laki-laki. Mirisnya, anak perempuannya sudah bekerja, usia 20an, dan anak laki-lakinya pelajar sekolah menengah atas. Mereka semua sudah baligh dan sudah semestinya memiliki kamar tidur yang terpisah dari kedua orang tuanya. Namun sayang, kondisi tempat yang tak memungkinkan menjadikan mereka terpaksa bergumul dalam satu kamar saja.

Hal yang sama juga terjadi pada tetanggaku yang lainnya. Mereka mengontrak sebuah rumah petakan. Tanpa kamar, bahkan tanpa pintu antarruangannya. Hanya ada sekat semipermanen sebagai batas ruang depan dengan ruang tengah. Sementara mereka memiliki tiga orang anak yang salah satunya sudah baligh.

"Saya sudah lama tidak tidur satu ranjang dengan suami, karena sempit, Mba. Anak-anak maunya dengan mamanya semua. Bapaknya jadi tidur di ruang depan." ujar tetanggaku suatu hari.

Demikianlah fenomena yang jamak terpotret hari ini, ketidakidealan tempat berteduh bagi kaum muslimin. Yang didamba bukan semata soal kenyamanan, tetapi soal terlaksananya hukum syara di dalam rumah. Faktanya, anak-anak yang sudah baligh harus tidur satu kamar dengan kedua orang tuanya, jelas tidak ideal di mata syariat.

Karena dalam Islam ada perintah untuk memisahkan tempat tidur anak-anak sejak usia 10 tahun. Rasulullah saw bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, “Perintahlah anak-anak kalian untuk melakukan salat saat mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan salat) saat mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur di antara mereka,”

Lantas, aku jadi bertanya di dalam diri, bagaimana mungkin memisahkan tempat tidur anak jika kondisi tempat tinggal sangat terbatas luasnya? Sekali lagi, ini menjadi bukti bahwa sistem kapitalisme tak mampu mencukupi kebutuhan asasi rakyatnya, yakni tempat tinggal. Mereka harus berjuang sendiri mendapat tempat tinggal meski jauh dari kata layak ,"asalkan ada tempat berteduh", dengan mengandalkan gaji yang tak seberapa. Jangankan tabungan hari tua, untuk makan bulan depan saja masih digantung waswas.

"Boro-boro kebeli rumah, Neng, buat makan aja pas-pasan. Ini bisa ngontrak rumah 700rb sebulan aja udah alhamdulillah, walaupun buat bayar kontrakan juga kadang utang ke orang." Curhat seorang ibu padaku.

Beliau hanya satu dari sekian juta rakyat Indonesia yang mungkin bernasib serupa. Ah, sungguh hati siapa yang tak nelangsa mendengarnya. Ditambah saat teringat dengan anggota dewan yang katanya perwakilan rakyat, mereka hidup mewah bergelimang harta. Anggaran gorden rumah dinasnya saja mencapai Rp90 juta per orang. Mengapa tidak digunakan anggaran sebesar itu untuk kemaslahatan rakyat? Atau memang benar ya bahwa yang namanya perwakilan rakyat berarti kesejahteraan pun cukup diwakili oleh mereka saja?

Rakyat jelata dibiarkan hidup berselimut kesengsaraan. Jika masih memiliki tempat tinggal, mungkin masih dianggap beruntung, meski masih mengontrak. Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa di luar sana banyak juga rakyat yang tak memiliki tempat berteduh. Mereka hidup di jalan, tidur beratap langit. Mereka menggantungkan hidup dari menengadahkan tangan mengharap belas kasihan orang atau mendendangkan lagu sumbang di setiap mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menyala.

Duh, dadaku rasanya sesak menyaksikan potret penderitaan umat yang terjadi hari ini. Mungkin inilah konsekuensi atas ketiadaan sistem Islam hari ini. Penguasa yang ada tidak mampu memelihara urusan rakyatnya sesuai amanat syariat. Sebaliknya, mereka lebih berpihak kepada pemilik cuan, yakni para korporat.

Lebih miris lagi, demi tempat berteduh idaman, banyak orang yang akhirnya menceburkan diri ke dalam muamalah ribawi. "Ya mau gimana lagi, Mba. Kalau nggak minjam kredit di bank, nggak bakalan bisa punya rumah sampai kapan pun." Begitu lontar seorang ibu tatkala aku berceramah di majelis taklimnya saat itu. Kebetulan tema yang kuangkat adalah tentang haramnya riba.

Benar sekali, kalau tak kuat iman, godaan untuk bermaksiat di sistem saat ini begitu kuat, bisa jadi kita akan mudah terseret ke dalamnya. Alasannya pun biasanya didominasi oleh maslahat duniawi. "Lebih baik ngontrak seumur hidup, daripada punya rumah sendiri tapi dari riba." Begitu yang akhirnya kusampaikan pada si ibu tadi.

Aku jadi semakin rindu hadirnya sang Khalifah. Di bawah kendalinya, insyallah tak ada tunawisma, pun tak ada anggota keluarga yang hidup dalam naungan ketidakidealan. Ya, sebab khalifah adalah pelaksana syariat, beliau akan berupaya menjaga umatnya untuk tetap dalam koridor ketakwaan. Adapun salah satu cara mewujudkan ketakwaan dalam keluarga adalah dengan menjamin keberadaan tempat tinggal yang layak dan ideal. Wallahu'alam bish shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Anggaran Pemilu Bernilai Fantastis, Akankah Rakyat Kembali Meringis?
Next
Mahasiswa, Tuntutanmu Kurang "Greget"
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram