"Karena itu aktivitas mulia manusia seperti dakwah politik (dakwah siyasah), baik melalui lisan atau tulisan harus memiliki kekuatan ruhiyah agar menjadi pahala sebagai bekal manusia ketika saatnya pulang pada kampung akhirat."
Oleh. Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Hidup di dunia ini sekadar persinggahan. Seperti orang yang sedang menunggu, namun bukan pada ruang yang kosong. Karena itu agar tidak jenuh, harus diisi dengan aktivitas amal kebaikan. Salah satu amal manusia yang sederhana, namun sulit menjaganya adalah aktivitas lisan. Menjaga lisan atau ucapan itu penting karena akan menjadi doa. Ucapan yang kotor, bahkan menistakan agama akan berbalik kepada mulutnya sendiri. Ia akan dihinakan oleh ucapannya sendiri, bahkan semakin bertambah “gila” karena akalnya telah teracuni. Seperti cerita seorang penggiat sosial media yang menjadi korban amuk massa. Sekalipun dalam keadaan babak belur masih saja mengumbar dendam, bukannya menginsafi kesalahan diri.
Doa bagi orang yang beriman menjadi senjata dalam menghadapi kesulitan atau terzaliminya diri. Setiap doa harusnya bernilai positif bagi kehidupan. Karena setiap doa akan terkabulkan pada saatnya. Allah Swt. mengisyaratkannya dalam ungkapan, “Aku tergantung prasangka hamba-Ku.” Maknanya jelas bahwa terkabulnya doa ketika manusia meyakini akan maha baiknya Allah Swt. yang tidak mungkin membiarkan hamba-Nya berada dalam kondisi lemah dan sulit. Keyakinan inilah yang semakin membuatnya sadar, bahwa syariat Islam mampu mengatasi berbagai persoalan kehidupan.
Membutuhkan Dalil Hukum
Setiap persoalan manusia telah terukur dan ditakar berdasarkan apa yang mampu dikuasainya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al Baqarah ayat 286, “Tidaklah Allah Swt. membebani makhluk-Nya, melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya.” Beban yang dipikul manusia akan bernilai ibadah jika dihadapi dengan hukum syariat Islam. Karena setiap manusia yang telah dewasa dan berakal sehat terkena taklif, berupa keharusan menaati hukum tentang kehidupan yang telah sempurna berupa syariat Islam sebagai agama yang diridai-Nya.
Tidak ada satu pun persoalan hidup manusia tanpa aturan dari Allah Swt. secara global diatur melalui kalam-Nya, yaitu Al-Qur'an. Namun, secara rinci melalui hadis atau sunah Rasulullah saw. sebagai petunjuk praktis untuk menemukan illat atau sebab keluarnya hukum, selain dari qiyas syar'i dan ijmak sahabat. Hanya saja tidak setiap manusia memiliki kemampuan untuk menggali dalil hukumnya sendiri. Untuk itu pentingnya kehadiran orang yang fakih atau faham dalam urusan agama agar amal tersebut memiliki landasan hukum syarak. Mereka yang bersungguh-sungguh melakukan penggalian hukum dengan segala potensi akalnya yang disertai kapabilitas keilmuannya dinamakan mujtahid, sementara yang mengikuti dalilnya disebut muqallid. Seorang mujtahid memiliki kedudukan tinggi karena hukum yang digalinya akan menjadi alasan dalam melakukan amal atau perbuatan.
Bukan Ruang Kosong
Rasulullah saw. adalah manusia yang diutus Allah Swt. untuk menyampaikan risalah Islam sebagai panduan hidup untuk seluruh umat manusia. Kehadiran manusia dalam kehidupan dunia yang fana ini, bukan sebagai “perantauan” yang bebas nilai. Manusia sebagaimana jin memiliki tugas untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu kesempatan hidup di dunia tak ubahnya “ruang tunggu” yang harus diisi dengan aktivitas yang diridai-Nya. Ibadah maknanya pengabdian selaku hamba pada tuannya, makhluk pada Al-Khalik. Tidak hanya dalam perkara mahda yang ketentuannya telah ditetapkan, melainkan juga ghair mahda berupa amaliah yang tujuannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Manusia sering berselisih karena terjebak pada perkara cabang dalam bentuk ibadah ghair mahda yang seharusnya bisa dipahami sebagai bagian dari cara mendekatkan diri pada Allah Swt.. Semisal menjalani rutinitas kerja, menulis, mengikuti aksi kepedulian, merutinkan amalan zikir pagi dan petang. Semua aktivitas manusia yang tujuannya dalam rangka takarub kepada Allah tersebut, akan dicatat sebagai amal saleh asal tidak ada kemaksiatan atau pelanggaran hukum syarak di dalamnya. Misalnya, dalam aksi tidak adanya ikhtilat, menulis bukan karena kesombongan ilmu yang dimilikinya.
Mengikuti aksi ke jalanan atau menulis opini yang isinya koreksi atas kezaliman penguasa, nilai amalnya adalah ruhiyah jika diniatkan sebagai dakwah. Rasulullah saw. banyak memberikan motivasi diantaranya, “Siapa saja yang bangun di pagi hari dalam keadaan bugar, sesungguhnya ia telah mendapatkan nikmat dunia seutuhnya”. Namun, dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw. menyampaikan peringatan bahwa siapa saja pada pagi hari hasratnya adalah selain Allah, maka pada sisi Allah bukanlah apa-apa, dan barangsiapa yang pagi harinya tidak peduli dengan urusan kaum muslimin maka dia bukan bagian dari mereka. Hadis ini dikeluarkan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 10586.
Kemudian dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. menyampaikan, “Siapa saja yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari sebuah kesulitan di antara berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan salah satu kesulitan di antara berbagai kesulitannya pada hari kiamat.”
Bekal untuk Pulang
Aktivitas dakwah merupakan salah satu upaya menghilangkan segala kemudaratan di tengah umat. Karena mencegah kemudaratan lebih utama daripada mengambil manfaatnya, maka sistem demokrasi yang secara nyata banyak mudaratnya jelas harus dikritisi untuk ditinggalkan, apalagi demokrasi bersumber dari pemikiran yang batil dan kufur karena mengingkari kebenaran agama sebagai aturan kehidupan.
Konsep akidah dalam sistem sekuler demokrasi tidak lain hanya menilai manfaat dalam setiap perkara baik mengenai benda atau perbuatan. Namun, nilai manfaat yang dimaksud hanya bersifat fisik dan nilai kegunaan (utilitas) berdasarkan sudut pandang manusia saja, tanpa menyertakan dalil syarak dari Allah Swt. Sekularisme hanya mau menerima kebenaran jika disepakati bersama dan secara kegunaan, dapat dirasakan manfaatnya di dunia tanpa mengindahkan kehidupan akhirat.
Konsep materialisme seperti sosialisme dan kapitalisme, sama-sama menampik adanya akidah siyasah dan hanya mengakui akidah ruhiyah, itupun sebatas ada atau tidak adanya Allah dalam ranah spiritualitas. Kapitalisme memercayai adanya Allah, namun tidak boleh mencampuri kehidupan di dunia. Sementara sosialisme menolak mentah-mentah dan beranggapan kehidupan di dunia ini berputar secara alamiah bagaikan gerigi pada mesin. Hanya sebatas hukum sebab akibat yang tidak mampu menjangkau pada keyakinan akan adanya kehidupan di akhirat. Karena itu aktivitas mulia manusia seperti dakwah politik (dakwah siyasah), baik melalui lisan atau tulisan harus memiliki kekuatan ruhiyah agar menjadi pahala sebagai bekal manusia ketika saatnya pulang pada kampung akhirat.
Wallahu’alam bish Shawwab.[]