Di Balik Tarik Ulur RUU Minol

Perkara makanan dan minuman tidak ada illat hukum (alasan) kenapa suatu makanan atau minuman dilarang. Dalam hal ini manusia cukup menerima dengan keimanan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah, karena hanya Allah satu-satunya yang mengetahui hikmah di baliknya.


Oleh : Ita Harmi (Pengamat Sosial dan Politik)

NarasiPost.Com – Panasnya pengesahan Undang-undang Omnibus Law beberapa waktu lalu, masih menyisakan luka merah mendalam di hati rakyat. Dan kali ini, rakyat Indonesia kembali dihebohkan dengan RUU Minuman Beralkohol (Minol) yang akan di-review oleh pejabat Senayan. Usulan ini diutarakan oleh 21 Anggota DPR dari Fraksi PPP, PKS, dan Partai Gerindra. Setelah sebelumnya RUU ini sempat mandeg dalam pembahasan di era SBY. Namun usulan ini juga ditentang oleh beberapa partai lain seperti Golkar dan PDIP.

Alasan keberagaman, bahkan ritual keagamaan yang menggunakan minol, menjadi pertimbangan menolak RUU tersebut dibahas. Pasalnya, bila RUU ini sampai diketuk palu, maka berlakulah larangan minol untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Sanksi akan disiapkan bagi penjual dan konsumen, jika nekat tetap keukeuh memperjualbelikannya.

Alasan penolakan lainnya tentu dari kalangan pengusaha minol. Mereka berkilah jika akan mengurangi sektor pariwisata Indonesia. Adakah korelasi antara pelarangan minol dengan pariwisata? Apakah minol menjadi daya tarik wisatawan mancanegara? Entah.

Di negara demokrasi seperti Indonesia, permasalahan minol menjadi problematika yang rumit untuk diselesaikan. Pasalnya, masih banyak terjadi kontroversi di kalangan masyarakat antara bermanfaat atau tidaknya minol tersebut. Sehingga saat pengambilan keputusan, terjadi perdebatan dan diskusi yang panjang. Ini semua disebabkan karena yang menjadi dasar pembuatan hukum dalam demokrasi adalah akal manusia itu sendiri. Manusia adalah pelaku dalam pembuatan hukum. Sehingga, hukum yang dibuat oleh manusia akan dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Hukum produk manusia akan cenderung sesuai dengan manfaat. Apabila ada manfaat, maka disitulah hukum berlaku, meski bertentangan dengan norma-norma yang ada.

Inilah yang menjadi akar masalah sebenarnya, yaitu terletak pada hukum yang dipakai oleh manusia dalam kehidupannya. Terletak pada bermanfaat atau tidak bermanfaatnya minol tersebut. Tidak bisa lagi dipungkiri bahwa demokrasi adalah sistem kehidupan yang rusak dan merusak. Rusak karena menjadikan manusia sebagai pembuat hukum, dan merusak karena produk hukum yang dihasilkan selalu bertentangan dengan norma agama, sosial, dan sebagainya.

Lebih daripada itu, demokrasi juga melegalkan pengingkaran terhadap syariat yang telah digariskan oleh Allah Ta'ala. Hilangnya agama dalam kehidupan duniawi dan minusnya relasi antara manusia dengan Allah sebagai Penciptanya, menjadikan manusia berani berkompromi dan mengubah hukum syariat berdasarkan kepentingan mereka. Dengan dalih keberagaman, ritual adat, pariwisata, mereka para pembuat hukum dengan berani mengubah yang haram menjadi halal. Tak hanya minol, demikian juga keadaannya dengan riba, zina, homoseksual, dan sejenisnya.

Suara mayoritas juga tidak selalu menjadi patokan dalam membuat hukum. Faktanya mayoritas Indonesia adalah muslim, seharusnya tidak ada lagi pembahasan soal boleh atau tidaknya minol. Akan tetapi setiap pintu-pintu perizinan produksi, penyebaran, dan jual beli minol seharusnya sudah ditutup. Tapi hal ini tidak dilakukan, karena melalui bisnis minol ternyata negara meraup keuntungan yang cukup besar. Dikonfirmasi dari Kementerian Keuangan menunjukkan cukai minuman keras berkontribusi sekitar Rp7,3 triliun tahun lalu. Ini bukti bahwa manfaat kepentingan ekonomi sebenarnya lebih urgen daripada suara mayoritas. Sehingga, para pembuat hukum tersebut mengabaikan suara mayoritas umat Islam yang menginginkan adanya larangan total atas minol.

Kebebasan beragama yang dijamin oleh demokrasi, nyatanya juga tidak bisa dipakai oleh kaum muslim untuk menjalankan ajaran agamanya. Bahkan, dengan motif yang sama alasan ini dibenturkan dengan ajaran agama lain yang membutuhkan minol pada saat ritualnya.

Disini makin tampak jelas, bahwa dalam demokrasi muslim tidak sebebas agama lain dalam menjalankan ajaran agamanya. Karena, ajaran Islam tentang minol bersinggungan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu, baik kepentingan ekonomi ataupun kepentingan lainnya. Dari sini semakin nyata bahwasanya demokrasi bukanlah 'rumah' bagi muslim yang layak untuk dihuni.

Padahal, Islam telah dengan jelas dan tegas menangani perkara minol ini. Sesuai dengan firman Allah Ta'ala:


"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)." [QS. Al-Maidah : 90-91]

Kemudian beberapa hadits nabi shalallahu 'alaihi wasallam tentang khamr (minuman keras), "Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram." (HR. Muslim)


"Tak akan bisa masuk surga orang yang suka meminum khamar." (HR. Ibnu Majah)

"Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Minuman yang dalam jumlah banyak memabukkan, maka sedikitpun juga haram ." [HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Daruquthni, dan dia menshahihkannya]

Jadi, sangat jelas dan tegas, Islam sangat keras melarang kaumnya untuk mengonsumsi minuman keras. Kerasnya pelarangan minol dalam syariat tidak disertai dengan alasan kenapa minol dilarang. Tidak dipandang dari segi keuntungan dan bermanfaat atau tidaknya.

Hal ini karena dalam perkara makanan dan minuman tidak ada illat hukum (alasan) kenapa suatu makanan atau minuman dilarang. Dalam hal ini manusia cukup menerima dengan keimanan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Karena hanya Allah satu-satunya yang mengetahui hikmah di baliknya. Allah Maha Tahu apa-apa yang terbaik untuk setiap makhluknya. Sedangkan, manusia hanya mengetahui sebatas yang mampu diinderanya saja. Inilah yang menjadi konsekuensi keimanan seorang muslim.

Uniknya Islam, tak sekedar menetapkan minol sebagai minuman terlarang, akan tetapi juga ada sanksi bagi pelaku pelanggaran. Dengan adanya sanksi inilah, cara bagi Islam untuk menjaga kemurnian akidah kaum muslim. Hilangnya sanksi menyebabkan hukum haramnya minol menjadi samar, karena menjadikan setiap orang tidak takut untuk melanggarnya. Sebagaimana yang merebak di tengah masyarakat saat ini.

Bagaimana Bentuk Sanksi terhadap Pelanggar Minol dalam Islam?

Adapun sanksi bagi para pelanggar ketentuan Allah ini adalah pelakunya dikenai cambukan sebagaimana sabda Rasulullah, "Orang yang minum khamar maka cambuklah." (HR. Muttafaqun 'alaih)

Untuk jumlah cambukannya, para ulama memiliki beberapa perbedaan. Menurut jumhur fuqoha (kebanyakan ahli fikih), mereka sepakat jumlah cambukannya sebanyak 80 kali. Ini berdasarkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra, "Rasulullah SAW mencambuk peminum khamr sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai." (HR. Muslim)

Menurut Imam Syafi'i, cukup dicambuk sebanyak 40 kali saja. Ini didasarkan pada riwayat, "Dari Anas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mencambuk kasus minum khamar dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizy, Abu Daud).

Bila syariat ini dipakai dalam kerangka negara, lalu bagaimana dengan nasib non muslim yang masih menggunakan minol dalam ritual agamanya?

Adapun bagi non muslim, mereka tetap diperbolehkan mengonsumsi minol sesuai dengan keyakinannya. Akan tetapi, peredarannya hanya terbatas di kalangan mereka saja, bukan untuk disebarluaskan atau dijualbelikan secara umum dan terbuka seperti saat ini.

Hal ini terbukti ketika pada masa Rasulullah, di Yaman banyak orang Nasrani, mereka meminum khamr, dan terbukti boleh meminumnya. Juga pada saat para shahabat menaklukkan berbagai negeri, mereka tidak melarang non muslim untuk minum khamr. (Mafahim Islamiyah, Hafidz Abdurrahman, hal. 174)

Lihatlah adilnya Islam dalam memperlakukan setiap manusia. Tidak hanya adil untuk muslim saja, tetapi juga adil dan ramah terhadap non muslim. Tidak seperti bayangan para pembenci Islam selama ini yang selalu me-monsterisasi ajaran Islam kepada dunia.

Demikianlah Islam mengatur mengenai masalah minol. Hukumnya sangat jelas, tegas dan lugas, haram! Dan sanksi sangat berat bagi siapa saja yang melanggarnya. Sanksi yang berat juga dimaksudkan agar tidak ada lagi pelanggar-pelanggar lain yang mencoba untuk kembali melakukan perbuatan keji tersebut. Sehingga, jangankan untuk meminumnya, membuat dan menjual minol pun menjadi perbuatan yang sangat ditakuti oleh masyrakat. Mengingat sanksi berat, apalagi untuk orang yang membuat dan menjualnya.

Akan tetapi, hukum yang tegas dan berefek jera seperti sistem Islam hanya akan berlaku dan berfungsi sebagaimana mestinya, jika yang melaksanakan hukum tersebut adalah negara. Negaralah yang berhak melaksanakan semua hukum yang telah digariskan oleh Allah Ta'ala. Sehingga, jaminan ketentraman hidup dirasakan oleh semua pihak masyarakat. Dengan demikian kehadiran negara menjadi suatu keniscayaan agar syariat tetap terjaga dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a'lam bishowab. []

Pictures by google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
RCEP Resep Perbaikan Ekonomi?
Next
Tarian Senja
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram