"Inilah wajah asli kapitalisme, memanfaatkan limbah yang dampaknya akan signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat hanya demi mencari keuntungan semata."
Oleh. Mariam
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-PT PLN (Persero) mendorong pemanfaatan material Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk dijadikan bahan baku keperluan berbagai sektor yang dapat membangkitkan ekonomi masyarakat. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia PLN Yusuf Didi Setiarto dalam acara webinar “Pemanfaatan FABA untuk Infrastruktur dan Pemberdayaan Masyarakat” yang digelar Ruang Energi secara daring, Kamis (7/4/2022). Optimalisasi pemanfaatan limbah tersebut dilakukan karena FABA dikategorikan menjadi Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Republika.com, 10/4/2022).
Yusuf mengungkapkan rasa syukurnya karena limbah batu bara hasil pembakaran PLTU yang dulu jadi momok menakutkan, saat ini sudah menjadi limbah non-B3. Sehingga, limbah tersebut kini bisa dimanfaatkan untuk diperdagangkan dan mendulang rupiah dalam jumlah yang tidak sedikit. Meskipun telah menjadi limbah non B3, FABA dalam pemanfaatannya perlu mendapatkan persetujuan lingkungan.
PLN memastikan tidak akan membuang limbah FABA tetapi akan lebih mengoptimalkan pemanfaatannya, PLN meyakini pemanfaatan FABA dapat mendorong ekonomi nasional karena dapat memberikan nilai ekonomi dari hasil pemanfaatan limbah tersebut untuk berbagai hal di sektor konstruksi, infrastruktur, pertanian dan lainnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Jamaludin menjelaskan bahwa secara nasional, kebijakan pemanfaatan batu bara adalah sebagai energi dengan memberikan nilai tambah. Ke depannya, hasil limbah abu batu bara atau FABA akan semakin dimanfaatkan menjadi produk-produk yang ramah lingkungan. Pemanfaatan FABA sebagai roadbase dapat menyerap 94 kalori dari total abu batu bara. FABA juga berpotensi digunakan bahan baku pembuatan refraktori cor, penimbunan dalam reklamasi tambang, substitusi kapur untuk menetralkan air asam tambang, memperbaiki kondisi fisik tanah dan media tanam untuk revegetasi lahan bekas tambang (Menlhk.go.id, 16/3/2022).
Walaupun ada beberapa dampak positif yang dihasilkan oleh FABA karena sudah termasuk limbah non B3, namun tetap memiliki dampak negatif yang signifikan. Peneliti pertambangan Ferdi Hasiman menilai bahwa langkah pemerintah yang mengeluarkan Fly Ash and Bottom Ash atau sisa pembakaran batu bara PLTU dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan wujud nyata jika pemerintah tidak memperhitungkan dampak ekonomi dan kerusakan lingkungan secara jangka panjang.
Menurut Ferdi, klaim pemerintah yang menyatakan pengelolaan sisa pembakaran batu bara PLTU bisa menghemat Rp4,3 triliun hingga 2028 tidak sebanding dengan angka negatif nilai ekonomi yang dihasilkan kerusakan lingkungan akibat produksi FABA. Ferdi mengungkapkan bahwa jika variabel lingkungan hidup diambil sebagai parameter untuk pembuatan kebijakan publik menjadi argumentasi pemerintah. Hal itu sangat kabur dan bubar dengan sendirinya, sehingga menurutnya mengeluarkan FABA dari B3 adalah argumen yang sangat fatal, dan jika pemerintah telah mengeluarkan kebijakan ini maka harus benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Jelasnya dalam program News Screen Morning IDX Channel, Jumat (19/3/2021).
Kerusakan lingkungan yang terjadi di antaranya, kerusakan akibat pertambangan, kerusakan ekosistem laut lantaran PLTU sebagian besar berada di sekitar garis pantai, serta kerugian kesehatan bagi masyarakat yang berada di sekitar PLTU. Ferdi menegaskan jika pemerintah tetap berdalih pada nilai ekonomi FABA yang lebih besar dan bisa meningkatkan perekonomian nasional. Diharapkan pemerintah dapat menjamin pelaksanaan pemanfaatan limbah sisa pembakaran batu bara PLTU dapat sesuai dan dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan yang semakin parah (Idxchanel.com, 11/4/2022).
Inilah wajah asli kapitalisme, memanfaatkan limbah yang dampaknya akan signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat hanya demi mencari keuntungan semata. Berdalih dengan pemanfaatan sisa pembakaran batu bara untuk mendulang rupiah, namun tidak pernah melihat masa depan yang ditimbulkan. Karena dalam sistem kapitalisme ini, pemerintah memberikan kewenangan pengelolaan barang tambang kepada pihak korporasi dan para pemangku kepentingan, yang hasilnya diraup sesuka hati namun limbahnya dilempar kepada masyarakat untuk didaur ulang atau dimanfaatkan kembali.
Sebagai sebuah negara penganut sistem kapitalisme, bukanlah hal yang baru jika kebijakan yang diambil selalu memberikan keuntungan sepihak kepada para pemilik modal. Adanya tekanan dan desakan dari para penguasa secara terang-terangan karena biaya besar yang harus dikeluarkan dalam pengelolaan limbah B3 ini, maka solusi yang dilakukan adalah penurunan status limbah B3 yang beracun menjadi tidak beracun. Negara dalam sistem ini memang selalu melindungi para pengusaha, parahnya setelah sumber daya alam dikuasai dan dieksploitasi, limbahnya justru dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk regulasi yang ditetapkan pemerintah. Inilah bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari negara terhadap rakyatnya sebagai bukti adanya politik transaksional atau politik balas budi.
Hal ini tidak akan terjadi jika sistem pemerintah yang dianut adalah sistem berlandaskan syariat Islam. Sejarah mencatat bagaimana sistem Islam berjalan menaungi dua per tiga dunia dengan berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang akan berjalan seiring dengan kesejahteraan rakyat yang ditopang oleh negara. Dalam Islam, menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam”, mengatakan bahwa hutan dan bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan dikelola oleh negara, hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah berupa subsidi untuk kebutuhan primer masyarakat semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Perindustrian yang bahan bakunya bersumber dari kepemilikan umum termasuk limbah yang dihasilkan harus dikelola oleh negara. Artinya negara memang harus memperhitungkan secara matang berdasarkan masukan dari tenaga ahli untuk mengetahui dampak jangka panjang limbah sisa pembakaran batu bara ini bagi masyarakat. Tidak terpikir untuk mencari keuntungan materi atau membebankan rakyat, tetapi tujuan utamanya untuk kemaslahatan dan keselamatan umat.
Dalam bukunya Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa negaralah yang melakukan pengelolaan hak milik umum (collective property) serta milik negara (state property). Jadi tidak ada kesempatan untuk para pemilik modal mengambil peran dalam pemanfaatan sumber daya alam, negaralah yang berwenang dan mengambil kebijakan dalam memanfaatkan tambang batu bara beserta limbahnya. Sebab Islam melarang tegas untuk merusak alam termasuk meminimalkan limbah yang dihasilkan.
Hal ini dikarenakan negara dalam sistem Khilafah adalah pengayom, pengurus sekaligus pelindung untuk rakyatnya. Negara Islam harus memenuhi berbagai kebutuhan mendasar dan memastikan setiap individu berjalan dengan baik serta mendapatkan kesejahteraan dan keadilan yang terpenuhi. Inilah kebijakan dalam naungan Khilafah, memberikan solusi tuntas demi kebaikan umat serta memberikan rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Qashah ayat 77:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” []