"Rencana kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin pada KTT G20 menuai beragam tanggapan dari negara anggota. Sebab, buntut Invasi Rusia atas Ukraina dinilai tak sejalan dengan upaya percepatan pembangunan perekonomian global."
Oleh. drh. Lailatus Sa’diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Invasi Rusia atas Ukraina yang tak kunjung usai, memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia sebagai Presidensi G20. Pasalnya, negara-negara sesama anggota G20 memiliki pendapat yang beragam atas masalah ini. Lalu sebagai Presidensi G20, bagaimana Indonesia menyikapi masalah ini?
Polemik
Sejumlah pertemuan menteri keuangan G20 diagendakan pada akhir bulan ini. Selain itu, akan ada beberapa pertemuan tingkat menteri sebelum KTT para pemimpin G20 pada bulan November di Indonesia (katadata.co.id, 07/04/2022). Namun rencana kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin pada KTT G20 menuai beragam tanggapan dari negara anggota.
Amerika Serikat menyatakan menolak tegas adanya rencana kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin di Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Indonesia. Senada dengan Biden, Politisi Hillary Clinton menyerukan agar memboikot pertemuan G20 bila Putin hadir pada agenda tersebut. Begitu juga respons dari Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau menyampaikan keberatannya saat bertemu dengan Presiden Jokowi selaku Presidensi agenda G20. Justin mengatakan dirinya tidak ingin melihat Presiden Vladimir Putin hadir di Bali pada November mendatang (katadata.co.id, 07/04/2022).
Sedangkan Indonesia sendiri selama ini menyatakan netralitasnya dan akan mengundang semua anggota G20 seperti pertemuan presidensi sebelumnya. Sebagaimana dikutip dari Antara (24/03), Staf Khusus Menteri Luar Negeri, Dian Triansyah Diani mengatakan Presidensi G20 Indonesia bersifat imparsial dan netral. Sedangkan Cina memilih untuk mendukung kehadiran Presiden Vladimir Putin. Cina justru menjadi salah satu negara yang merekomendasikan isu Rusia-Ukraina ditambahkan dalam pembahasan agenda G20. Selain Cina, India pun mendukung kedatangan Presiden Vladimir Putin pada acara KTT G20.
Kendati demikian, adanya perbedaan pendapat terkait kehadiran Rusia pada agenda tersebut, memerlukan adanya kesepakatan di antara anggota lain untuk menentukan posisi Rusia ke depannya.
Menghambat Agenda Global
Buntut Invasi Rusia atas Ukraina dinilai tak sejalan dengan upaya percepatan pembangunan perekonomian global. Perdana Menteri Kanada, Trudeau mengatakan pertemuan G20 membicarakan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. Pertemuan ini adalah forum ekonomi terbesar. Sedangkan apa yang dilakukan Rusia yaitu menginvasi Ukraina bisa menjungkirbalikkan pertumbuhan dan menimbulkan krisis perekonomian global (katadata.co.id, 07/04/2022).
Faktanya, pasca invasi Rusia atas Ukraina, berdampak naiknya harga kebutuhan pangan dan energi global. Terutama pasokan asal pangan atau energi dari Ukraina dan Rusia. Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan, secara global perang di Ukraina merupakan 'bencana' bagi dunia yang akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi global (bbc.com, 04/03/2022).
Rusia dan Ukraina adalah produsen pangan besar di dunia. Menurut S&P Global Platts, Ukraina merupakan produsen terbesar komoditas minyak bunga matahari, sementara Rusia produsen kedua setelah Ukraina. Dua negara ini memproduksi 60% produksi global. Rusia dan Ukraina juga menyumbang 28.9% ekspor gandum dunia. Pasca invasi tersebut, harga gandum di pasar modal Chicago tercatat pada angka tertinggi dalam 14 tahun.
Kenaikan harga pangan pun juga terjadi di Indonesia. Pasalnya Ukraina adalah pemasok gandum terbesar bagi Indonesia. Naiknya harga gandum akan berdampak pada harga mi instan serta pangan berbahan asal tepung terigu.
Di sisi lain, dampak invasi Rusia ke Ukraina berdampak juga terhadap harga BBM di Indonesia. Per 3 Maret 2022, PT Pertamina telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi yakni Pertamaks Turbo dan Dexlite dengan kisaran kenaikan Rp500-Rp1.100 per liter. Kemudian per tanggal 1 April, PT. Pertamina juga telah menaikkan harga BBM jenis pertamaks menjadi Rp12.500 per liter. Selain BBM, akhir Februari lalu Gas LPG nonsubsidi juga mengalami kenaikan harga.
Kemudian baru-baru ini, Rusia telah melarang ekspor amonium nitrat (AN) yang merupakan bahan dasar pembuatan pupuk. Tak ayal, hal ini akan memicu kenaikan harga pupuk. Faktanya, sebanyak 15,75% pupuk impor Indonesia didatangkan dari Rusia. Hal ini pasti akan berpengaruh pada produksi pangan di dalam negeri.
Pendapatan masyarakat akibat pandemi Covid-19, belum sepenuhnya pulih, kini harus dihantam kembali dengan berbagai kenaikan harga komoditas akibat perang di Ukraina, hal ini pastinya akan semakin menekan daya beli masyarakat.
Dilematis
Sejak hari pertama pemberitaan invasi Rusia atas Ukraina, Indonesia tidak secara tegas menunjukkan sikap kepada siapa akan berpihak. Setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa Indonesia tidak berani bersikap tegas kepada Rusia. Pertama, hubungan dagang bilateral antara Rusia dan Indonesia pada tahun 2021 menyentuh angka US$2,7 miliar, sedangkan hubungan dagang bilateral antara Ukraina dan Indonesia hanya mencapai US$1,45 miliar.
Kedua, jika Indonesia ikut mengecam aksi Invasi Rusia, dikhawatirkan Indonesia bisa kehilangan pasar dari ekspor, termasuk di dalamnya komoditas minyak kelapa sawit.
Ketiga, ada harapan yang besar bagi Indonesia atas kedatangan Presiden Vladimir Putin pada acara KTT G20 November mendatang. Karena Vladimir Putin belum pernah ke Indonesia. Sekalipun Indonesia mengetahui, kedatangan Putin akan ditolak banyak negara anggota G20 lainnya.
Di sisi lain, berbagai tekanan dan ancaman boikot dari AS dan sekutunya jika Indonesia tetap bersikukuh mengundang Rusia pada acara KTT G20. Sebagai Presidensi, Indonesia dituntut agar forum KTT G20 bisa berjalan sebagaimana semestinya. Hal ini menuntut Indonesia mengupayakan diplomasi kepada negara yang menolak kedatangan Putin, serta mengupayakan perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Pastinya ini bukanlah hal mudah. Karena sedikit saja Indonesia salah menentukan langkah, akan mengancam berlangsungnya agenda KTT G20.
Namun, jika Indonesia berhasil meredam ketegangan antara Rusia dan AS, serta memiliki sikap dalam upaya diplomasi mewujudkan perdamaian Rusia dan Ukraina, pastinya akan mengangkat kekuatan politik Indonesia di mata internasional. Pasalnya, hingga saat ini, Indonesia belum melakukan upaya diplomasi apa pun kecuali menyatakan dirinya dalam posisi netral dalam menyikapi masalah Rusia dan Ukraina. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan posisinya sebagai Presidensi Forum G20. Namun terlihat hanya sekadar layaknya event organizer dalam perhelatan acara tersebut.
Harapan Semu
Sebagai Presidensi G20, Indonesia berharap ada kemajuan yang signifikan berkaitan dengan perbaikan ekonomi, pembangunan sosial dan politik. Di bidang politik, harapannya sebagai Presidensi G20, mampu memosisikan Indonesia sebagai negara yang berpengaruh dalam mewujudkan perekonomian global.
Di bidang ekonomi dan pembangunan sosial, adanya peningkatan konsumsi domestik hingga Rp1,7 triliun, peningkatan PDB nasional mencapai Rp7,4 triliun, dan pelibatan UMKM. Kemudian manfaat penyerapan tenaga kerja mencapai sekitar 33 ribu di berbagai sektor. Karena ada 157 pertemuan yang pastinya akan membutuhkan tenaga kerja yang besar.
Jika ekonomi tumbuh, maka ada efek domino, yaitu akan memberikan peningkatan pemasukan kepada Indonesia, seperti penerimaan negara, penerimaan pajak, bea cukai hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Hal ini dikarenakan jika ekonomi dunia membaik, maka komoditas juga akan naik dan aktivitas ekspor akan meningkat.
Namun jika kita telisik lebih dalam lagi, bahwasanya acara G20 adalah acara yang memiliki batas waktu. Adapun jika dinilai ada perbaikan perekonomian, sejatinya hanya bersifat sementara. Para tenaga kerja yang terserap akan habis masa kerjanya setelah acara G20 selesai. Kemudian, setelah acara usai konsumsi domestik akan kembali menurun. Maka sebenarnya berharap berbaikan perekonomian secara mendasar dari agenda G20 merupakan pikiran yang sangat berlebihan karena berbaikan perekonomian hanya bersifat temporer.
Negara Berdaulat
Gagunya Indonesia dalam menyikapi kondisi karut-marut dunia internasional, dikarenakan Indonesia terikat dan memiliki ketergantungan terhadap hubungan bilateral negara terkait. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam mewujudkan kepentingan masyarakat Indonesia. Akibatnya, Indonesia harus tunduk kepada pemegang skenario dalam sistem kapitalisme yaitu negara-negara besar seperti AS, Cina, dan Rusia. Selama Indonesia masih berkiblat pada sistem kapitalis-demokrasi, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara yang berdaulat dalam menentukan arah kebijakan ke depannya.
Sangat disayangkan, di negeri yang notabene mayoritas masyarakatnya beragama Islam, justru memilih ideologi kapitalisme sebagai acuan kehidupan bernegara. Padahal, Islam sebagai agama yang paripurna memiliki aturan yang mencangkup berbagai aspek kehidupan manusia. Baik itu aturan pada tataran individu, kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
Penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah, akan mewujudkan kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan dan menyejahterakan rakyatnya. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya kerja sama dengan negara lain, namun bukan dengan negara yang terang-terangan memusuhi Islam. Bentuk perjanjian pun dilandaskan pada syariat Islam, di mana tidak diperbolehkan terikat perjanjian yang justru mengebiri kemandirian Khilafah dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara.
Khalifah paham betul atas tugasnya sebagai perisai dan periayah urusan umat. Maka, tidak akan pernah terwujud perjanjian internasional yang justru menjauhkan untuk merealisasikan tugas tersebut.
Kedaulatan Khilafah ada di tangan syarak, sedangkan kekuasaan ada di tangan khalifah. Dalam menjalankan amanahnya sebagai seorang khalifah, maka akan dikembalikan aktivitas tersebut sesuai halal dan haram berdasarkan hukum syarak. Bukan semata karena kepentingan manusia.
Penerapan syariat Islam secara kaffah akan mewujudkan Khilafah sebagai pemimpin dunia. Sejarah mencatat, penerapan Islam pernah mencapai dua pertiga dunia dan berjaya selama 13 abad. Maka, masihkah kita ragu akan diterapkannya Islam secara kaffah? Realitasnya hanya Allah sajalah sebagai pencipta dunia dan seisinya yang tahu apa-apa yang terbaik bagi makhluknya. Seperti yang Allah sampaikan dalam surah Al-Baqarah ayat 216 : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Wallahu’alam bishowab.[]