"Banyak orang yang berlomba-lomba mengumpulkan harta dengan cara apa pun. Tak peduli didapat dengan jalan haram ataukah halal, yang penting berbagai kenikmatan hidup dapat dirasakan. Salah satu yang marak dilakukan demi meraih materi dengan jalan instan adalah dengan mengemis. Padahal sejatinya raga masih sehat dan kuat untuk bekerja. Namun begitulah kapitalisme, menjadikan produktivitas manusia mangkat."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Suatu ketika Rasulullah saw pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, "Sesungguhnya setiap umat memiliki ujian, dan ujian umatku adalah harta.". Tampaknya benar adanya apa yang disampaikan oleh beliau bahwa harta menjadi salah satu ujian bagi umat saat ini. Ya, ujian untuk tetap berada di koridor syariat-Nya ataukah sedikit berpaling demi mereguk keuntungan dunia yang sebetulnya tak seberapa.
Demikianlah yang banyak terjadi hari ini, banyak orang yang berlomba-lomba mengumpulkan harta dengan cara apa pun. Tak peduli didapat dengan jalan haram ataukah halal, yang penting berbagai kenikmatan hidup dapat dirasakan. Salah satu yang marak dilakukan demi meraih materi dengan jalan instan adalah dengan mengemis. Padahal sejatinya raga masih sehat dan kuat untuk bekerja. Namun begitulah kapitalisme, menjadikan produktivitas manusia mangkat.
Beberapa waktu lalu viral seorang pengemis miliarder asal Pati, Jawa Tengah. Dialah Legiman, pengemis yang terjaring razia Satpol PP jelang Ramadan kemarin di Tugu Bandeng Pati. Sebelumnya dikabarkan pada 2019 lalu, ia juga sudah pernah terjaring razia. Menurut aparat, pendapatan Legiman mencapai Rp1 juta per hari. Bahkan Legiman sendiri mengaku memiliki tabungan di bank senilai Rp900 juta dan aset berupa rumah senilai Rp525 juta. (Detik.com/02-04-2022)
Ternyata tak hanya Legiman yang miliarder berprofesi pengemis, ada banyak kasus serupa yang juga pernah di blow up media. Dan mungkin masih banyak kasus serupa pula namun tak terungkap. Sungguh mencengangkan, bukan?
Mangkatnya Produktivitas
Di sistem kapitalisme ini, manusia terjajah produktivitasnya. Bagaimana tidak, kapitalisme mengadopsi hukum rimba, yakni yang kuat yang akan bisa survive. Negara lepas tangan dalam mengurus rakyatnya. Kalaupun mengurus, ala kadarnya saja. Maka, setiap orang akhirnya berupaya survive dengan segala cara, termasuk menggadaikan idealismenya. Biarlah terlihat hina dengan mengemis, asalkan kekayaan melimpah ruah. Bukankah mengemis tinggal menengadahkan tangan dan memasang wajah memelas demi mengundang iba? Mudah. Tak perlu pakai otak, mungkin hanya perlu ketahanan mental dan sedikit kekuatan fisik.
Bekerja dalam Pandangan Islam
Setiap laki-laki yang sudah baligh, terlebih sudah berkeluarga, maka ia wajib bekerja demi menafkahi istri dan anak-anaknya. Adapun jenis pekerjaan yang boleh dilakukan adalah pekerjaan yang tidak menabrak ketentuan syariat, yakni bukan pekerjaan menipu, mencuri, mengambil hak orang lain, dan meminta-minta belas kasihan orang lain. Sejatinya Islam mencela pekerjaan sebagai peminta-minta.
Apalagi jika seseorang meminta-minta padahal dirinya mampu. Sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya yang bernada ancaman, “Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad)
Sungguh pekerjaan mengemis atau meminta-minta kepada manusia tidaklah disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka, sudah selayaknya setiap muslim menjauhi pekerjaan tersebut, meski menjanjikan kekayaan. Masih banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan, meski tidak semudah mengemis, namun jauh lebih mulia ketimbang mengemis.
Ingatlah petuah sang Nabi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, "Menjual kayu bakar lebih baik daripada mengemis."
Islam Memompa Produktivitas
Kasus pengemis miliarder sejatinya semakin menyadarkan kita bahwa sistem kapitalisme hari ini telah mencetak pribadi-pribadi malas yang ingin serba instan. "Kalau ada yang mudah, mengapa harus yang susah", mungkin begitulah kiranya yang menjadi prinsip manusia dalam asuhan kapitalisme. Walhasil, mereka cenderung melakukan jalan pintas untuk mewujudkan kebahagiaan hidup, meski menabrak nilai syariat. Sangat nyata, aroma sekularisme begitu kuat terendus di sistem ini.
Alangkah berbeda dengan Islam yang mampu memompa produktivitas setiap manusia. Sebab sejatinya Allah telah menganugerahkan akal dan fisik yang sempurna, lantas mengapa tidak digunakan dengan optimal?
Potret sistem Islam dalam melejitkan produktivitas terekam nyata tatkala Rasulullah saw menjualkan pakaian dan sebuah cangkir milik seorang pengemis kepada seorang Sahabat. Dari hasil penjualan tersebut, Rasul memerintahkan sang pengemis untuk membelanjakan makanan dan pakaian untuk kebutuhan si pengemis dan keluarganya. Sementara sisanya agar dibelikan kapak untuk mencari kayu. Nanti kayu itu bisa dijual untuk menyambung hidup. Bahkan di akhir pertemuannya dengan sang pengemis, Rasul mengingatkan bahwa bekerja jauh lebih mulia dari mengemis, karena kelak orang yang mengemis akan meninggalkan noda di wajahnya saat di akhirat kelak.
Di sisi lain, negara yang menerapkan sistem Islam akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyat. Sehingga orang-orang yang wajib bekerja akan terfasilitasi oleh negara. Tidak seperti dalam sistem kapitalisme hari ini, mencari pekerjaan sangatlah sulit. Jangankah yang tidak berpendidikan tinggi, yang mengantongi ijazah sarjana saja banyak yang kesulitan mendapat pekerjaan. Ironisnya, negara justru membuka keran Tenaga Kerja Asing (TKA) ke negeri ini. Inilah implikasi dari keterjajahan negeri ini oleh asing, sehingga tak bisa berkutik dengan dikte-dikte negara lain. Berbalut kerja sama internasional, rakyat negeri sendiri dianaktirikan, sementara warga asing difasilitasi dan dimanjakan. Miris!
Dengan demikian, sudah saatnya kita membuka pikiran kita bahwa hanya dengan kembali ke pangkuan Islam, rakyat sejahtera dan mulia. Fenomena pengemis miliarder pun tentu akan hilang di bawah asuhan sistem yang bersumber dari Sang Maha Pencipta ini. Sebab sistem Islam mampu mengintegrasikan sistem pendidikan dan sistem ekonomi dengan akidah dan kepribadian Islam. Itulah bukti kesempurnaan Islam sebagai sebuah mabda (ideologi). Yuk, perjuangkan, tunggu apa lagi?[]