"Tirai emas tak lagi membuatnya berselera menapaki hidup. Sejak ia menikmati beragam fasilitas mewah, ia terlupa dengan mekanisme kehidupan yang pernah dijalaninya dulu. Air mata tiba-tiba datang tanpa bisa dibendung. Rasa menyesal memenuhi seluruh aliran darahnya."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Sinar kekuningan mentari pagi menyapa ruang berukuran lima delapan enam meter itu. Warna hijau lebih cerah dalam terpaan kilau cahaya. Sementara daun pintu lemari berukiran Demak terbuka keduanya. Sepasang tangan dengan cekatan mengeluarkan seluruh isi barang yang tersimpan di dalamnya. Banyak sekali tumpukan pakaian, selimut, seprai, taplak, dan tirai aneka model.
Napas berat terembus ke udara. Kekesalannya membuncah tatkala ia meminta tirai baru pada suami tercinta, tapi tak jua hadir di depan mata. Kesibukan selalu membelenggu belahan jiwanya. Sampai-sampai urusan tirai tak digubrisnya. Elok, wanita paruh baya yang dikuasai kesal itu bukan tak mampu membeli tirai baru. Namun, dia tak mau anggaran belanja rumah tangganya berkurang karena harus membeli tirai.
Tumpukan baju, seprai, selimut, dan tirai itu teronggok tak berdaya. Tak ada satu pun dari tumpukan itu yang kusut atau warnanya pudar, semua masih bagus dan sangat layak untuk dipakai. Namun, keinginan memiliki tirai bersurai emas tak dapat ditahan. Kekesalan demi kekesalan menggunung di hatinya. Sudah tiga bulan ia mengajukan pada suaminya, namun tak membuahkan hasil.
ART Elok masuk kamar setelah mendengar panggilan majikannya yang tak perlu pengeras suara. Tiga keranjang besar ikut masuk ke dalam kamar ber-AC itu. Dengan cekatan, sang ART membantu majikannya memasukkan barang yang masih mau dipakai ke lemari. Sementara sisanya, ia masukkan dalam keranjang besar itu. Tiga jenis tirai yang masih bagus warnanya terdiam di sudut kaki ranjang ukuran king size. Dengan hati-hati, Kana bertanya, "Tirai itu mau buat ganti, Juragan? Mau diganti yang mana?"
Secepat kilat Elok menoleh pada ART-nya yang dianggap lancang. Kilatan netranya menusuk Kana tanpa belas kasihan. Kana hanya bisa istigfar dalam hati.
"Itu tirai sudah lama, tak layak dipakai di rumah ini," sahut Elok ketus.
Maka, Kana tak berkata-kata lagi. Dia langsung memasukkannya ke dalam keranjang besar. Majikannya ini memang diketahuinya sangat gemar berbelanja pakaian sejak jadi ibu pejabat. Dia hanya mengelus dada saat pakaian-pakaian itu dibeli tapi hanya sekali dipakai. Selebihnya dijual lagi sebagai barang preloved. Wanita bergamis tosca itu segera keluar untuk membungkus pakaian dan barang di tiga keranjang besar itu.
Elok masih panas hatinya. Gawai di meja hiasnya berdering. Segera ia melihatnya, ternyata dari teman sosialitanya. Dia mengajak liburan ke negeri Sakura.
[Iya, Jeng. Saya akan ikut berlibur. Bapak sudah meminta cuti dan mengurus visa]
Elok lalu scroll up aplikasi bergambar telepon yang berlatar hijau. Di grup sosialitanya, ia menatap beberapa sahabatnya telah berganti tirai. "Indah sekali," batinnya meronta. Tak ayal, tangannya pun langsung menghubungi ibu-ibu rekan sejawatnya. Dia memprovokasi mereka agar meminta ganti tirai emas pada para suami.
[Siapa yang ingin ganti tirai? Yuk, kita minta pada suami masing-masing untuk mengajukan ke kantor. Anggarannya pasti banyak tuh. Ada model tirai baru, lho. Tirai emas]
Begitu pesan Whatsapp yang dia kirim di grup. Dalam hitungan detik, beragam balasan muncul. Para istri pejabat teras itu sepakat. Bahkan, mereka ada yang sampai kirim foto aneka model tirai emas lengkap dengan harganya. Senyum puas berhias di bibir Elok. Dia menuruni tangga dengan sumringah. Sebentar lagi, tirai di rumahnya akan berhiaskan emas.
Setelah kepulangannya dari Jepang, tersiar kabar bahwa pengajuan tirai emas senilai puluhan miliar telah beredar. Bunga-bunga langsung bermekaran di relung hatinya. Bayangan tirai emas terpasang di tiap jendela rumahnya menari-nari di pelupuk mata. Modelnya pun pas dengan yang diharapkan. Teman sejawatnya memang pandai dalam memilih model dan motif. Dia tentu tak akan malu saat arisan sosialita di rumahnya.
"Kana, sebentar lagi tirai emas itu akan datang," Elok memberitahu ART-nya.
Kana hanya diam, tak mampu menjawab. Dia hanya miris, saat rakyat menjerit dengan harga minyak goreng yang melangit, kok bisa majikannya sibuk memikirkan tirai emas. Saat impitan ekonomi menyergap penjuru negeri, majikannya hanya memikirkan diri sendiri. Mentang-mentang juragan lanang sudah jadi pejabat. "Astagfirullah," Kana hanya merapalkan istigfar.
"Gimana menurutmu, Kana?"
Pertanyaan majikannya itu mengentak batin Kana yang enggan berkomentar. Dia kerja sama majikannya sudah belasan tahun, sejak suami majikannya menjadi seorang pengusaha besi tua. Majikannya itu telah mengalami perubahan sejak juragan lanang jadi pejabat.
"Kok, malah melamun. Gimana menurutmu?" tanya majikannya sekali lagi.
"Tirai-tirai yang dulu dirapikan dan ditaruh di gudang masih sangat bagus, Juragan. Sangat layak dipasang di rumah megah ini."
Tanpa bisa direm, Kana mengeluarkan segala isi kepalanya. Dia menyatakan apa yang dianggarkan oleh majikannya adalah hal yang berlebihan dan cenderung mendorong pada kemaksiatan. Dia mengingatkan bahwa hidup di dunia hanya sementara dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban sebelum memasuki gerbang surga atau neraka di keabadian. Dengan hati-hati, Kana terus menasihati Elok agar berhati-hati dalam pemanfaatan anggaran yang belum tentu menjadi hak para pejabat.
Kana pun mengingatkan bahwa kelak semua harta akan dimintai pertanggungjawaban juga, dari mana harta diperoleh, bagaimana cara memperolehnya, dan untuk apa harta itu dipergunakan. Seorang muslim wajib mencari harta halal dengan cara yang halal. Barang pun harus dimanfaatkan sebagaimana mestinya, bukan hanya dikoleksi tanpa ada manfaat. Kelak semua itu akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau seorang muslim tidak memikirkan hari penghisaban, maka gampang saja bermewah-mewahan dengan cara apa pun.
Tak cukup di situ, Kana bahkan menggambarkan kondisi rakyat yang dibelit permasalahan super komplet. Apalagi masih banyak rakyat yang berkubang kemiskinan sementara pejabat dan keluarganya menikmati fasilitas mewah tanpa sedikit pun memikirkan nasib rakyat. Panas telinga Elok mendengarnya. Alih-alih tersinggung dan marah besar, justru jutaan pertanyaan dalam benak menyergapnya. Elok menaiki tangga dengan langkah gontai. Kata-kata Kana berputar dalam altar pikiran. Akalnya mulai meraba nurani yang telah lama mati.
Tirai emas tak lagi membuatnya berselera menapaki hidup. Sejak ia menikmati beragam fasilitas mewah, ia terlupa dengan mekanisme kehidupan yang pernah dijalaninya dulu. Air mata tiba-tiba datang tanpa bisa dibendung. Rasa menyesal memenuhi seluruh aliran darahnya. Dia terlupa pada apa yang pernah didapatkan dalam kajian rutin yang pernah diikutinya. Angannya tertambat pada kehidupan sederhana yang sangat menenangkan. Dulu, ia yang mengajak Kana ke pengajian yang rutin diikuti. Namun, akal dan jiwanya tenggelam dalam gelimang harta.
Dia menangis sejadi-jadinya. Bahkan, salat pun telah lama dia tinggalkan sejak suaminya menjabat. Sudah hampir dua periode, Elok terlupa pada jalan kebenaran. Penyesalan sangat menyiksanya, lebih menyiksa dari ambisi terhadap tirai emas yang pernah dipelihara. Dengan sisa-sisa harapan, dia mengirim pesan pada teman sejawatnya.
[Apalah arti tirai emas yang berhias di rumah kita jika tirai itu nanti menyeret kita menuju neraka?]
Wanita paruh baya itu berazam akan bertobat. Dia pun mulai menghubungi para ustazah yang dulu pernah mengisi kajian di rumahnya. Dengan mengharap ampunan Allah, dia mulai pamit dari grup sosialita yang digelutinya. Elok hendak menapaki jalan baru yang dulu pernah dilaluinya. Jalan di mana ia mengkaji Islam sebagai sebuah tatanan kehidupan.[]