"Pada dasarnya harga pangan yang melonjak hingga sulit dijangkau rakyat, berpangkal dari lemahnya fungsi negara dalam mengatur sektor pertanian pangan, akibat dari paradigma kapitalisme neoliberal."
Oleh. Aya Ummu Najwa
NarasiPost.Com-Ramadan baru berjalan beberapa hari, namun harga kebutuhan pokok sudah naik mendahului. Ramadan datang harga pangan pun naik menjulang. Ungkapan ini tak berlebihan, sebagai satire atas fenomena tahunan tanpa solusi yang terjadi di negeri ini, jika parsel lebaran senantiasa ditunggu, sebaliknya kenaikan harga pangan menjelang lebaran tak pernah ditunggu, namun selalu datang mengganggu.
Di awal April ini, di kala masyarakat sedang bersukacita menyambut bulan puasa, pemerintah malah begitu gencar menaikkan harga kebutuhan rakyat. Seperti dilansir dari laman liputan6.com, disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi saat ditemui ketika meninjau Proyek LRT di Depo LRT Jabodebek Bekasi bahwa, "Secara keseluruhan Pertamax, Pertalite, Premium, LPG 3 kilo itu bertahap. Jadi pemerintah melakukan penaikan harga 1 April, lalu Juli, kemudian September, naiknya itu bertahap", Jumat (1/4/2022).
Masih dilansir dari liputan6.com, harga LPG hingga PPN akan ikut naik. PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) kembali akan menyesuaikan harga bagi LPG nonsubsidi. Sehingga, saat ini dipatok dengan harga Rp15.500,00/kg. Kemudian kedelai, dengan alasan terbesar, bahwa gejolak inflasi yang terjadi di negeri importir terbesar yaitu Amerika Serikat, yang mencapai angka inflasi menyentuh 7 persen pada 2021. Selain itu, daging sapi pun mengalami lonjakan harga hingga Rp165 ribu/kg. Minyak goreng dengan harga rata-rata Rp24.000,00 untuk minyak kemasan. Pertamax pun tak ketinggalan, melakukan penyesuaian harga BBM RON 92 menjadi Rp12.500,00 per liter dari harga Rp9.000,00 per liter. Token listrik hingga baju lebaran pun mengalami kenaikan. Karena pemerintah telah secara resmi menaikkan PPN menjadi 11 % per 1 April 2022. Hal ini pun mau tidak mau, mengakibatkan kenaikan bagi sejumlah harga barang, dari token listrik, pulsa, hingga baju lebaran.
Selain hal-hal di atas, bahan pokok pangan pun mengalami kenaikan hampir tiga minggu terakhir. Dari gula pasir, telur, daging ayam, hingga tepung terigu. Misalnya di Pasar Besar Kota Malang, harga gula pasir mengalami kenaikan dari Rp13.000,00/kg menjadi Rp 13.500,00/kg, telur pun ikut naik dari Rp20.000,00 menjadi Rp23.000,00 tepung terigu dari Rp9.000,00 menjadi Rp9.500,00/kg. Tak hanya di Malang, Jawa Timur, di Denpasar pun, bawang merah naik dari yang semula Rp40.000,00 menjadi Rp55.370,00/kg. Lonjakan harga ayam potong terhitung sejak menjelang Ramadan juga mengalami kenaikan. Misalnya harga ayam potong di Pasar Baru Cikarang, kabupaten Bekasi, Jawa Barat, mengalami kenaikan hingga lebih dari 50%, jika sebelumnya ayam potong dijual dengan harga Rp25.000,00 kini sudah mencapai Rp45.000,00 per ekor.
Sebelumnya dalam diskusi virtual, kepala pusat ketersediaan pangan dan kerawanan pangan Badan Ketahanan Pangan Andriko Notosusanto mengatakan, untuk mengantisipasi kenaikan harga yang melonjak drastis pihaknya terus memonitor agar sampai Idulfitri harga-harga tidak semakin melonjak. Dia menjelaskan pada dasarnya, tiap tahun tren harga barang pokok hampir sama, yang membedakan hanyalah delta harganya. Kenaikan harga ini tentu sangat memprihatinkan. Ini dikarenakan kondisi ekonomi rakyat masih sulit, apalagi peningkatan harga ini dibarengi dengan naiknya harga bahan pokok lainnya. Yang tak menutup kemungkinan lonjakan harga pangan ini akan menyebabkan semakin rendahnya daya beli masyarakat.
Kenaikan harga pangan menjelang Ramadan selalu menjadi momok tersendiri bagi masyarakat. Seakan telah dipaksa menjadi tradisi, masyarakat dibuat biasa dengan keadaan ini, sementara negara hanya melakukan upaya praktis dan pragmatis dalam mengantisipasi kenaikan harga pangan seperti operasi pasar. Upaya ini nyatanya tidak mampu mengurai problem karena jauh dari akar masalah. Pada dasarnya harga pangan yang melonjak hingga sulit dijangkau rakyat, berpangkal dari lemahnya fungsi negara dalam mengatur sektor pertanian pangan, akibat dari paradigma kapitalisme neoliberal.
Sistem ini telah memandulkan peran pemerintah, yang tidak lebih dari sekadar regulator dan fasilitator bukan sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan rakyat justru diserahkan kepada korporasi, yang hanya mengejar keuntungan semata. Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah, malah memfasilitasi masuknya para pemodal dalam bisnis kebutuhan asasi ini. Cengkeraman korporatokrasi yang masih begitu kuat di sektor ini, menyebabkan stabilitas harga hanyalah mimpi, bahkan ketahanan dan kedaulatan pangan makin jauh dari kenyataan. Penguasaan korporasi pada aspek produksi, menyebabkan mayoritas stok pangan berada di tangan swasta dan bukan dalam kendali negara. Inilah salah satu kerusakan sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negeri ini.
Kondisi sebaliknya terjadi pada masa kegemilangan peradaban Islam. Dalam sebuah artikel menggambarkan bagaimana sukacitanya masyarakat Khilafah Utsmaniyah menyambut bulan suci Ramadan. Para sultan atau khalifah menetapkan kebijakan khusus dalam rangka memuliakan bulan ini dan menjamin kebutuhan rakyatnya termasuk pangan. Menjelang Ramadan, sultan akan memerintahkan pembentukan lembaga khusus untuk memantau makanan yang beredar di pasar dan mengatur harganya. Bahkan, khalifah turun tangan langsung memilih kualitas gandum untuk pembuatan roti yang akan dijual serta menentukan berat dan jumlah garam yang ditambahkan ke dalam roti tersebut. Apabila roti yang dihasilkan telah dipastikan baik oleh khalifah dan para ahli yang berpengalaman dalam hal tersebut, barulah sultan memerintahkan untuk membuat dan menjualnya kepada masyarakat.
Ini hanya salah satu fakta, yang menunjukkan tanggung jawab Khilafah dalam menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau, khususnya saat menyambut dan selama bulan Ramadan. Sedangkan di luar Ramadan, stabilitas harga pangan tetap menjadi perhatian penting Khilafah. Untuk peran ini, Khilafah memiliki struktur yang dinamakan muhtasib atau qadhi hisbah, yang berfungsi mengawasi aktivitas di pasar, termasuk pengawasan harga dan peredaran bahan makanan yang haram dan membahayakan bagi rakyat. Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau sendiri yang melakukan pengawasan di pasar-pasar dan mencegah terjadinya kecurangan dan praktik-praktik kotor lainnya. Beliau pun pernah mengangkat Saad bin Said Al-Ash sebagai muhtasib atau pengawas pasar di Makkah.
Hal ini terus berlangsung hingga masa Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya. Pada masa pemerintahan Khilafah Umayyah, fungsi ini bahkan sudah melembaga dalam suatu badan yang disebut amil as-suu' atau petugas pasar. Salah satu wewenangnya adalah menyelesaikan pelanggaran yang terjadi di pasar dengan segera. Pada masa Khilafah Abbasiyah seperti pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, qadhi hisbah kala itu berfungsi sebagai pengatur dan pemelihara pasar dari masuknya bahan makanan yang merusak masyarakat, melarang penipuan dalam bidang perdagangan timbangan dan takaran, serta menertibkan aktivitas ihtikar atau penimbunan. Secara berkala, para kadi melakukan inspeksi pada timbangan yang digunakan pedagang, dengan membawa timbangan yang sudah sah dari pemerintah. Pembentukan badan muhtasib ini merupakan wujud tanggung jawab negara, dalam upaya bisa segera mencegah dan mengatasi berbagai distorsi pasar. Sehingga, stabilitas harga akan terwujud dan pasar bersih dari praktik para mafia, kartel, penimbunan, penipuan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, sungguh kedaulatan pangan tak akan terwujud dalam sistem yang hanya mementingkan nafsu segelintir orang, yaitu sistem kapitalisme, dan malah hanya akan menjadi parsel pahit setiap lebaran bagi umat. Hanya negara yang menerapkan Islam secara keseluruhan yakni Khilafah Islamiahlah yang dapat mewujudkan kesejahteraan pangan bagi seluruh warga negaranya.
Wallahu a'lam[]