Budaya Lip Service dan Pencitraan dalam Sistem Demokrasi

"Dengan diberlakukannya UU Omnibus Law, maka sudah barang tentu akan memengaruhi pula arus perdagangan dalam negeri. Sebab hal tersebut memungkinkan para importir membeli barang dari luar negara, bahkan di saat geliat perdagangan dalam negeri sedang mengalami pertumbuhan. Sementara selama ini yang paling tahan banting dari berbagai arus perekonomian adalah para pedagang kecil."

Oleh. Rahmiani. Tiflen, Skep
(Voice of Muslimah Malang)

NarasiPost.Com-Rupanya cita-cita mewujudkan kemandirian ekonomi negara tercinta mesti ditangguhkan. Karena masih jauh panggang dari api. Pasalnya, Indonesia sendiri dinyatakan sebagai surganya barang-barang impor. Hal yang kemudian menjadi pemicu kemarahan Presiden Jokowi kepada jajarannya.
Seperti dikutip dari laman berita Kompas.com, (26/03/22) bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) murka terhadap sikap para pemerintah pusat dan daerah, pun BUMN yang tetap melakukan impor terkait pengadaan barang dan jasa. Padahal, alokasi dana yang diberikan cukup besar. Hal tersebut disampaikannya saat memberi pengarahan pada menteri, lembaga, serta kepala daerah tentang aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali. Katanya beliau sedih, sebab yang dibeli itu semuanya barang-barang impor. Padahal, negara masih memiliki modal untuk pengadaan barang dan jasa sekitar 526 triliun rupiah. Sementara untuk wilayah pemerintahan daerah, di antaranya provinsi, kabupaten, dan kota madya mendapatkan alokasi dana sebesar Rp535 triliun. Itu lebih besar daripada pusat, begitu penjelasan Jokowi. Sementara itu, BUMN pun tak ketinggalan mendapatkan dana sebesar Rp420 triliun. ”Ini duit gede banget, besar sekali,” begitu kata Jokowi.

Presiden Joko Widodo kemudian menyampaikan bahwa perubahan ekonomi yang dilakukan Indonesia pasti tidak akan menyenangkan bagi pihak-pihak yang suka menggunakan barang impor. Sebab, transisi ekonomi ini akan memacu produksi barang dalam negeri. (Kompas.com, 26/3/2022)

Benarkah Pemerintah Tidak Tahu Adanya Impor?

Menarik memang, mencermati pernyataan dari seorang kepala negara. Apa benar seorang presiden tidak mengetahui adanya kegiatan impor secara besar-besaran di dalam wilayah kekuasaannya? Tentu saja kemarahan Jokowi terkait tindakan mengimpor dari sejumlah petinggi negara itu, menimbulkan pertanyaan besar dari masyarakat. Sebab sudah pasti, kegiatan memasukkan barang dari luar negeri ke dalam negara itu ada kebijakannya yang juga turut disahkan oleh presiden selaku kepala pemerintahan. Tapi kok bisa, sekarang malah balik memarahi bawahnya, seolah-olah hal tersebut tidak diketahui?

Sementara dalam catatan yang dihimpun oleh CNBC tahun lalu, memaparkan bahwa jumlah impor Indonesia pada bulan Maret 2021 mengalami peningkatan. Adapun jumlah komposisi impor non-migas mencapai 89%, terbanyak dari impor bahan baku dan juga bahan penolong dengan komposisi 72%. Adapun contoh bahan baku dan bahan penolong itu seperti kedelai yang digunakan untuk memproduksi tempe dan tahu.
Kemudian ada pula barang konsumsi yang diimpor sebesar 10%, yang terdiri dari bahan makanan pokok seperti beras, bawang putih, garam, dan lain-lain. Padahal negeri ini pernah menjadi negara pengekspor beras serta berhasil menciptakan swasembada pangan. Namun kini, julukan itu hanya tinggal kenangan. Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto, pun ikut menegaskan hal tersebut, dikatakannya bahwa impor bahan baku penolong tercatat naik sebesar 31,10% menjadi USD 12,97 miliar pada tahun 2021.

Adapun negara yang menduduki peringkat pertama bagi Indonesia dalam melakukan kegiatan impor barang adalah Cina, yaitu sebesar 30%. Sementara AS berada di urutan keempat sebagai negara tempat Indonesia mengimpor berbagai bahan baku, di antaranya sereal, gandum, dan juga kedelai.

Jika sebuah aktivitas perdagangan dilakukan antarnegara, maka sudah pasti hal tersebut terjadi berdasarkan regulasi yang ditetapkan oleh negara yang bersangkutan. Terlebih dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), yang disahkan pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan 2 November 2020, yang kini digunakan sebagai dasar dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing ke dalam negeri dengan mengurangi persyaratan aturan untuk izin usaha serta pembebasan tanah. Maka, dapat dipastikan, presiden selaku pimpinan tertinggi negara, pasti mengetahui dengan jelas alur perdagangan dalam negeri termasuk ekspor dan impor.

Gambaran Nyata Pemerintahan Lip Service

Pepatah bijak menyatakan ”Buruk rupa, cermin dibelah” sepertinya cocok menggambarkan pemerintahan saat ini. Sebab mereka sendiri yang menetapkan aturan yang memungkinkan adanya aktivitas impor, namun dalam waktu bersamaan melakukan lip service seolah-olah prihatin dan tak tahu apa yang terjadi di lapangan.

Jangan hanya memarahi sejumlah petinggi negara, mestinya presiden juga mencabut saja UU Omnibus Law. Dalam kurun waktu setahun terakhir saja, telah banyak kebijakan yang bertentangan dengan aturan yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah. Paling nyata dan berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak adalah dengan diterbitkannya UU Omnibus Law. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat menyebutnya sebagai The king of lip service.

Diakui bahwa hingga saat ini media massa pun merupakan salah satu alat komunikasi politik yang andal. Terlebih ketika dihubungkan dengan publikasi, yang mana hal tersebut memiliki pengaruh besar terhadap proses pencitraan. Dalam sistem hari ini, pencitraan bukanlah sesuatu yang haram apalagi tabu untuk dilakukan. Menilik pada kamus besar bahasa Indonesia, pencitraan dapat diartikan sebagai upaya pembentukan citra mental pribadi atau penggambaran sesuatu. Pada era sebelum reformasi, istilah pencitraan lebih identik dengan dunia kehumasan atau public relation. Sehingga pencitraan diperlukan untuk membangun citra positif dari sebuah perusahaan di mata publik.

Akan tetapi, sejak diberlakukan pemilihan langsung dalam Pemilu 2004, maka istilah tersebut semakin lekat dengan dunia perpolitikan khususnya di Indonesia. Maka, wajar saja ketika hari ini masyarakat menyaksikan dengan terang-terangan, partai dan tokoh politik secara berbondong-bondong mendongkrak popularitasnya agar dapat memenangkan kompetisi dalam dunia politik lewat iming-iming dan juga janji. Hal yang dikatakan lumrah dalam alam demokrasi. Sebab menurut Fritz Plasser dalam sebuah penelitiannya bahwa adanya image atau citra politik adalah merupakan faktor pertama yang menjadi penentu kemenangan seorang kandidat. Diperkuat pula dengan pendapat dari pakar komunikasi, Dan Nimmo, yang menyatakan setidaknya ada empat cara yang dapat dilakukan sebagai membentuk citra seorang politikus, yaitu:
Pertama, pure publicity; atau sebuah usaha dalam rangka meningkatkan ketenaran (popularitas) secara natural dan apa adanya.
Kedua, free ride publicity; atau bisa diartikan sebagai cara meningkatkan popularitas dengan memanfaatkan akses yang dimiliki orang lain.
Ketiga, tie-in publicity; atau disebut juga usaha untuk meningkatkan popularitas berdasarkan kejadian luar biasa, yaitu dengan memanfaatkan event-event tertentu. Keempat, paid publicity; atau bisa disebut juga suatu upaya yang dilakukan guna mendongkrak ketenaran lewat pemanfaatan rubrik atau program di media massa.

Dengan demikian maka, wajar saja jika hari ini kita dihibur oleh berbagai macam janji manis yang terlontar dari para pemimpin negeri ini.

Penyebab Negara Kapitalis Sulit Mandiri

Dengan diberlakukannya UU Omnibus Law, maka sudah barang tentu akan memengaruhi pula arus perdagangan dalam negeri. Sebab hal tersebut memungkinkan para importir membeli barang dari luar negara, bahkan di saat geliat perdagangan dalam negeri sedang mengalami pertumbuhan. Sementara selama ini yang paling tahan banting dari berbagai arus perekonomian adalah para pedagang kecil. Dengan demikian, maka siapa pun yang ingin melakukan impor barang, itu sah-sah saja karena ada regulasinya. Apalagi diperkuat dengan harga impor yang relatif murah.

Lebih jauh lagi, dari pemberlakuan UU Omnibus Law maka akan ditemukan sejumlah fakta bahwa ternyata hal tersebut merupakan strategi negara-negara besar untuk menguasai pasar di negara berkembang yang notabene mayoritas penduduknya beragama Islam. Strategi tersebut dilancarkan dengan cara menguasai pasar, kemudian menekan dengan pengadaan bahan baku, serta mengikat dengan TKA (tenaga kerja asing) yang murah.

Dengan demikian sudah pasti perekonomian suatu negara dapat dikuasai oleh negara lain. Hubungan ini pun dijadikan sebagai alat untuk menjajah negara kecil sehingga tidak bisa bergerak secara bebas dan mandiri. Demikianlah gambaran penerapan sistem perekonomian dalam sistem kapitalisme. Karena itu, masihkah mau bertahan dalam sistem yang rusak ini?

Idealisme Kemandirian dalam Negara Khilafah Islamiah

Dalam negara Islam (Khilafah Islamiah), dasar negaranya dibangun atas akidah Islam. Oleh sebab itu, untuk mengatur hubungan antar masyarakat termasuk di dalamnya hubungan perdagangan,nmaka akidah Islam yang digunakan sebagai landasan, pun yang menjadi faktor pendorong dalam melakukan aktivitas perdagangan termasuk ekspor dan impor. Bagi Khilafah Islamiah, wajib adanya kejelasan regulasi yang sahih agar dapat menghasilkan kemajuan dalam perekonomian.
Hal tersebut seperti dijelaskan dalam kitab As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, karya Syaikh Abdurrahman al-Maliki. Yang mana dalam Bab "Perdagangan antarnegara", disebutkan bahwa perdagangan yang dilakukan oleh negara Islam adalah untuk mencapai motif strategis, yaitu dalam rangka membangun negara menjadi besar, serta sebagai upaya untuk menyebarkan risalah Islam. Hal yang berbeda sekali dengan sistem perdagangan saat ini dan diterapkan oleh negara-negara kapitalis sekuler, yang dijadikan pula sebagai senjata guna melumpuhkan perekonomian negara lain yang dijajah.

Bertolak dari strategi di atas, maka negara Islam memiliki tiga panduan dalam mengatur hubungan antarnegara, termasuk ekspor dan impor, yaitu:

Pertama, hubungan antarnegara, termasuk ekspor dan impor, dilakukan dengan motif untuk memperoleh hard currency atau hard money yang juga dibutuhkan dalam revolusi industri.

Kedua, negara Islam (Khilafah Islamiah) memiliki tujuan pembangunan, yaitu dalam rangka mewujudkan negara yang kuat. Sehingga untuk menyiapkannya diperlukan alat-alat berat, termasuk mempersiapkan peralatan perang yang bisa saja komoditasnya berada di negara lain. Sehingga untuk pengadaannya diperlukan hard money.

Ketiga, menetapkan status kewarganegaraan dari pedagang atau para importirnya hingga jelas. Kemudian Khilafah akan menyeleksi dengan sangat baik, pada negara mana saja Daulah dapat melakukan hubungan dagang. Acuannya yaitu sikap negara tersebut terhadap kaum muslim. Jika negara tersebut menampakkan permusuhan pada Islam dan kaum muslim, maka tidak akan dijalin hubungan dagang apa pun.
Dengan demikian para pemimpin mesti sadar dengan sepenuhnya bahwa sesuatu yang telah dilarang oleh Allah Swt itu tidak mungkin dapat mengantarkan pada kemaslahatan umat. Karena tidak ada kebaikan apa pun yang bisa diperoleh darinya.

Penutup

Untuk itu sudah selayaknya para pemimpin negeri sadar, bahwa satu-satunya cara terbaik yang dapat menjadikan negara kuat, maju, independen dalam hal perekonomian, serta menciptakan keberkahan bagi seluruh masyarakatnya adalah dengan membuang sistem kapitalisme serta menukarnya dengan sistem Islam yang bersumber dari Sang Maha Pengatur manusia.

Sistem Islamlah yang dapat mewadahi seluruh manusia, tanpa membeda-bedakan latar belakang agama, suku, bangsa, ras, atau entitas mana pun. Khilafah Islamiah pun mampu mengakomodasi keberagaman (pluralitas) suatu masyarakat, seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan juga para Khulafaur Rasyidin, hingga mengantarkan kehidupan pada rahmatan lil’alamin, serta meraih kemuliaan di sisi-Nya. Allah Swt berfirman;

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

"Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Q.S Al-Anbiya’ [21] : 107).Wallahu alam bis showab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Rahmiani. Tiflen, Skep Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Bedah Naskah Opini (Part 2 )
Next
Harga-Harga Naik di Bulan Ramadan, Inikah Parsel Tahunan?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram