"Jadi, boleh berambisi asalkan punya kemampuan dan kemauan untuk berusaha. Jangan hanya duduk manis, tanpa ada ikhtiar dijalankan, terus mengharap keinginannya terwujud. Ambisi besar membutuhkan upaya yang besar pula. Semakin tinggi mimpi, semakin tinggi pula pengorbanan dan perjuangannya."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Manusia memiliki bermacam ambisi. Ada yang berambisi menjadi profesor, direktur, presiden, ilmuwan, hartawan, dan lain sebagainya. Ambisi untuk mendapatkan gelar, jabatan, pangkat, kedudukan, atau melakukan sesuatu hal. Wajar bila manusia berambisi ini dan itu.
Sering kita mendengar perkataan bahwa si A itu memiliki ambisi yang besar. Dia terlihat begitu ingin mendapatkan sesuatu. Berbagai hal dilakukan agar keinginannya itu bisa terwujud. Di lain waktu, kita mendengar bahwa si B itu tak punya ambisi pada jabatan. Dia tidak melakukan sesuatu demi mendapatkan posisi tertentu. Dia tampak tulus membantu, tidak ada pamrih atau sesuatu yang dikejar dari perbuatanya tersebut. Lain lagi si C yang dikatakan bahwa ia kurang berambisi sehingga kurang bersemangat dan giat dalam melakukan sesuatu. Ada juga yang mengatakan bahwa dirinya hanya mengalir saja, tidak ngoyo, tidak juga bersantai-santai ria.
Manusia hidup pasti mempunyai keinginan terhadap sesuatu. Ingin ini dan itu. Ada hal yang dituju oleh setiap orang sesuai dengan keinginannya masing-masing. Bisa dikatakan bahwa ambisi itu bermuara pada sesuatu tujuan tertentu yang ingin diraih. Dalam KBBI, ambisi berarti keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu. Ambisi juga menjadi sebuah cita-cita atau mimpi yang hendak diwujudkan. Ada letupan semangat di dalamnya yang membuat orang terpacu pada sesuatu.
Untuk bisa mewujudkan keinginan tentu memerlukan upaya yang nyata. Bukan sekadar mau atau ingin, tetapi tidak ada tindakan apa-apa. Tak ada perencanaan, apalagi langkah-langkah yang dilakukan untuk tujuan itu sama juga bohong namanya. Kalau cuma berangan-angan saja tentu tak akan ada hasilnya.
Ambisi dan usaha untuk meraihnya juga harus melihat dan mempertimbangkan kemampuannya. Jangan sampai ambisi besar, tapi kemampuan tidak ada. Begitu ngototnya ingin pindah rumah dan membuat rumah baru, tapi dananya tidak ada. Demi memenuhi hasrat pindah rumah di tempat yang baru, dia harus meminjam pada orang lain. Dia membeli tanah untuk rumah barunya dengan dana utangan. Padahal, di rumah yang lama utangnya juga sudah banyak. Maka, kian menumpuk sajalah utangnya.
Jadi, boleh berambisi asalkan punya kemampuan dan kemauan untuk berusaha. Jangan hanya duduk manis, tanpa ada ikhtiar dijalankan, terus mengharap keinginannya terwujud. Ambisi besar membutuhkan upaya yang besar pula. Semakin tinggi mimpi, semakin tinggi pula pengorbanan dan perjuangannya.
Kemampuan dan kemauan menjadi modal seseorang untuk mewujudkan ambisinya. Jika ingin berhasil tentu harus mau berusaha, bersusah payah, bahkan sampai menerjang bahaya demi menggenggam apa yang diidamkan. Rela bergadang, memutar otak, dan memeras keringat untuk membuat perencanaan. Melakukan langkah-langkah nyata dan terukur dari rencana tersebut agar semakin mendekati keberhasilan dan mengurangi kemungkinan gagal. Sudah bersiap dengan segala risiko yang pasti mengadang jalannya dalam perjalanannya mewujudkan keinginannya.
Tak cukup sampai di situ. Ambisi, cita-cita, impian, tujuan, dan apa pun namanya, harus dalam paradigma yang jelas dan benar. Begitu pula dengan upaya untuk meraihnya, juga haruslah tepat dan benar. Ambisi tidak boleh dibiarkan begitu saja sebab bisa menjadi liar. Ia harus ditata dan dikendalikan. Bayangkan betapa semrawutnya dunia dengan ambisi manusia yang begitu banyaknya dan berjalan tanpa ada kendali? Pasti akan terjadi pertentangan dan pertikaian demi mempertahankan ambisinya masing-masing.
Ambisi meraih jabatan dengan menghalalkan segala cara, menyuap, berbohong, korupsi, merampas hak orang lain, dan perbuatan melanggar hukum lainnya menjadi hal yang biasa. Tujuannya memang jelas untuk mendapat kekuasaan, namun apakah itu baik? Apakah cara-cara curang seperti itu dibenarkan?
Benar di sini tentu bukan berdasar pemikiran manusia. Baik atau buruk tidak ditentukan oleh masing-masing kepala. Sebagai manusia beriman, kebenaran adalah apa yang datang dari Allah Swt. saja. Kebenaran hanya ada dalam syariat-Nya. Kebaikan itu adalah segala sesuatu yang sesuai dengan perintah Sang Khalik. Sedangkan keburukan adalah semua yang bertentangan dengan aturan-Nya.
Karena itulah, manusia dengan ambisinya harus mengikuti rambu-rambu yang benar agar tak berjalan sendiri hingga kebablasan. Ambisi ditata dan dikendalikan oleh aturan yang berasal dari Allah taala. Ambisi yang benar adalah yang sesuai dengan koridor syarak. Ambisi seperti inilah yang akan mendapatkan berkah dari-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam surah Al-Baqarah ayat 53: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku, sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebaliknya, ambisi-ambisi yang lahir dari akidah sekuler tentulah jauh dari rahmat Allah. Tersebab dari dasarnya saja sudah menyimpang dari yang Allah perintahkan. Apa saja yang melanggar syariat Allah selamanya tidak akan pernah mendatangkan kebaikan. Ia akan selalu berakhir dalam kehancuran yang membinasakan.
Banyak kita lihat manusia saling berlomba mengejar dunia. Mereka bersusah payah melakukan segalanya untuk mengumpulkan harta dan meraih tahta. Tenaga dan pikiran tercurah demi materi dan mempertahankan kekuasaan. Aturan dijalankan sesuai kepentingan. Halal dan haram tak menjadi patokan. Kebebasan menjadi sesuatu yang diagungkan. Dengan berkuasa, ia bisa melakukan apa pun yang diinginkan.
Dari dulu hingga kini, kekuasaan begitu menawan bagi manusia yang tergoda oleh kesenangan duniawi. Menjadikan kekuasaan sebagai ambisi sangatlah berbahaya karena bisa membangkitkan sifat-sifat buruk yang terpendam. Jiwanya akan dikuasai oleh kebanggaan dan kenikmatan akan kekuasaan. Hal itu begitu dicintainya hingga hawa nafsu mengambil alih atas dirinya. Ia akan mengutamakan kepentingannya meskipun itu adalah sesuatu yang batil. Syariat Allah akan dengan mudahnya dilanggar. Bila sudah begitu, maka binasa siap mendatanginya. Sungguh, berambisi pada kekuasaan adalah jalan menuju kebinasaan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak. Alangkah baik permulaannya dan betapa buruknya kesudahannya.” (HR. Al-Bukhari, An-Nasa’i, dan Ahmad)
Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang meminta kekuasaan atau jabatan. Alasannya adalah bahwa kekuasaan itu bisa memberi kekuatan kepada orang yang sebelumnya lemah dan memberikan kemampuan kepada orang yang sebelumnya tidak memiliki kemampuan. Semua itu bisa diambil alih oleh jiwa yang kasar dan cenderung pada keburukan. Kemudian, kekuasaan itu dijadikan sarana untuk balas dendam kepada orang yang dianggap musuh. Kekuasaan itu juga digunakan untuk memperhatikan teman dan para pendukungnya saja. Dengan kekuasaan itu pula ia akan mewujudkan tujuan-tujuan yang rusak. Hal ini jelas akan mengakibatkan keburukan dan kecelakaan yang membawa pada kebinasaan. (Buletin Kaffah, Edisi 187)
Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah berabad-abad lampau. Kekuasaan manis di awal, namun pahit di akhir. Berada di tangan orang yang salah, kekuasaan akan membawa beragam permasalahan yang mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan.
Seperti yang kita lihat kini, ketika kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang, alih-alih berkuasa untuk menjalankan kewajibannya mengatur urusan rakyat, penguasa justru melakukan pengkhianatan. Kebutuhan rakyat banyak yang diabaikan, bahkan tak dipenuhi. Rakyat harus berjibaku sendiri mencukupi kebutuhan di tengah berlapisnya impitan. Beragam persoalan berkelindan melingkupi hidup rakyat.
Memang benar bahwa di alam yang kapitalis ini, aturan sama sekali tak berpihak pada rakyat kecil. Kekuasaan ada untuk mengabdi pada mereka yang punya modal. Kekuatan modal mendominasi kekuasaan, mengarahkannya sesuai kepentingan pemodal. Pantaslah bila kombinasi keduanya dalam sistem yang rakus ini mampu mengisap darah rakyat jelata hingga kering. Rakyat hanya menjadi objek penderitaan yang tiada akhir.
Nikmat kekuasaan begitu lezat bagi jiwa yang terpenjara dunia. Tak ingin sedetik pun ia kehilangannya. Ia melakukan segala cara guna menjaga dan mempertahankan kekuasaan yang digenggamnya. Meskipun sebenarnya tak mampu, namun ia memaksakan diri demi tetap berkuasa. Akibatnya, rakyat yang berada dalam tanggung jawabnya menjadi sengsara.
Inilah akibat dari ambisi yang tak diikat dengan tali agama. Ia berkelana sendiri tak tentu arah hingga tersesat dan menyesatkan manusianya. Betapa buruknya keadaan bila jauh dari aturan-Nya. Kesusahan bukan hanya di dunia, tetapi juga kelak di akhirat sana.
Boleh bagi manusia punya ambisi, cita-cita, impian, dan tujuan apa saja. Namun, semua itu harus selalu dalam kerangka hukum syariat sebagaimana yang Allah perintahkan. Silakan berkeinginan apa pun, namun harus diingat bahwa apa yang kita lakukan di dunia pasti ada konsekuensinya.
Manusia hidup adalah untuk beribadah kepada Allah taala. Muara perbuatan hamba adalah demi mendapatkan rida-Nya. Rida Allah hanya diraih bila kita taat pada-Nya secara total, tanpa ada tapi.
Bila kita meninggalkan aturan-Nya, maka bahagia tidak akan pernah direguk. Sebaliknya, justru dosa yang akan menyelimuti. Tanpa sadar, diri telah menghimpun dosa yang begitu banyak. Dosa-dosa yang bertumpuk itulah yang akan membawa pada kehancuran dan kebinasaan. Bila tidak di dunia, pastilah di akhirat. Itu pasti terjadi, sebagaimana peringatan yang telah dinyatakan-Nya.
Karena itulah, ikat ambisi dengan tali ketaatan pada-Nya agar senantiasa dalam keselamatan. Kejar ambisi sejauh apa pun selama Allah mengizinkannya. Bila tidak, maka jangan sekali-kali berani melepaskan diri dengan ambisi berkeliaran.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]