"Sungguh miris! Keberadaan negara yang seharusnya bertanggung jawab meri'ayah rakyat dengan baik atau sebagai perisai, sehingga berujung kesejahteraan pada rakyat hanya ilusi saja. Sebaliknya, negara yang menerapkan sistem kapitalis-demokrasi malah memalak rakyat lewat pajak dan pungutan liar lainnya. Mereka hanya mendekati rakyat ketika pemilihan umum (pemilu) untuk mendapatkan suara dari rakyat setelah itu aspirasi rakyat dan nasibnya tidak dipedulikan."
Oleh. Sri Retno Ningrum
(Penulis Ideologis)
NarasiPost.Com-Baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani akan memberlakukan kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen, dari semula 10 persen pada 1 April 2022. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ( UU HPP) kemudian naik lagi menjadi 22 persen paling lambat 1 januari 2025.(Jawa Pos.com, 22/3/2022)
Kebijakan Menteri Keuangan tersebut pun mendapat penolakan dari Faisal Basri (Ekonom Senior). Beliau mengatakan tidak ada keadilan yang selama ini disampaikan pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan jajarannya. Pasalnya, PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Akan tetapi, di saat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Selain itu, pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara seperti Amerika Serikat (AS) atau negara maju lainnya di G20. Bahkan, dengan Malaysia saja masih tertinggal. (CNBC, 25/3/2022)
Apabila kita amati nasib rakyat sekarang ini, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kenaikan PPN yang semula 10% menjadi 11% akan menambah panjang deretan penderitaan rakyat meski tidak semua barang dan jasa terkena kenaikan PPN. Adapun barang terdampak kenaikan PPN, seperti: sabun mandi, alat tulis, seragam sekolah dan mi instan. Di sisi yang lain, beban hidup rakyat sudah berat karena pada awal tahun pemerintah sudah menaikkan tarif dasar listrik, LPG, kedelai dan memberlakukan kewajiban memiliki BPJS ketika mengurus sertifikat tanah dan STNK. Belum lagi, banyak kepala rumah tangga yang menjadi pengangguran akibat pandemi Covid-19.
Sungguh miris! Keberadaan negara yang seharusnya bertanggung jawab meri'ayah rakyat dengan baik atau sebagai perisai, sehingga berujung kesejahteraan pada rakyat hanya ilusi saja. Sebaliknya, negara yang menerapkan sistem kapitalis-demokrasi malah memalak rakyat lewat pajak dan pungutan liar lainnya. Mereka hanya mendekati rakyat ketika pemilihan umum (pemilu) untuk mendapatkan suara dari rakyat setelah itu aspirasi rakyat dan nasibnya tidak dipedulikan. Slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya jargon palsu belaka.
Lebih dari itu, sistem kapitalis-demokrasi lebih berpihak pada para korporat. Kebijakan yang diambil pun menguntungkan mereka melalui dilegalkannya UU agar kekayaan alam negeri ini bisa leluasa dikuasai asing dan aseng. Sedangkan rakyat hanya bisa sebagai penonton saja.
Hal ini tentu berbeda dengan Islam melalui sistem sahihnya, yakni khilafah. Sistem Islam atau khilafah berfungsi sebagai peri'ayah dan pelindung bagi rakyat. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Sesungguhnya imam atau khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakang dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Peri'ayahan khilafah terlihat dari cara mendapatkan pendapatan negara yang diatur dalam Baitul Mal dan memiliki beberapa pos sebagai berikut:
Pos kepemilikan negara meliputi harta fa’i (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta pejabat dan pegawai negeri, khumus dan rikaz, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan harta orang murtad. Pos kepemilikan umum yang berasal dari hasil SDA yang dikelola negara, seperti: minyak bumi, gas, batubara, dan sebagainya.
Pos zakat. Zakat kaum muslim berupa zakat fitrah, mal, infak dan wakaf.
Adapun pajak dalam sistem Islam atau khilafah disebut dharibah. Dharibah dipungut ketika kas Baitul Mal tidak mampu memenuhi kebutuhan mendesak negara, seperti: bencana alam dan jihad. Dharibah pun dipungut bagi kaum muslim yang kaya setelah mereka terpenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya. Dharibah bersifat isendental dan diberlakukan bagi kaum Muslim saja. Begitulah cara khilafah mendapatkan pendapatan negara dan memungut dharibah dengan cara yang makruf.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita mengakhiri kapitalis-demokrasi kemudian berjuang terus-menerus untuk menerapkan sistem Islam atau khilafah di bumi ini. Dengan khilafah, niscaya rakyat akan memiliki sebuah institusi yang mengantarkannya kepada kesejahteraan hidup. Wallahu’alam Bisshowab.[]