""Apabila kalian melihat hilal (bulan Ramadan), maka puasalah dan apabila kalian melihat hilal (bulan Syawal), maka berbukalah (lebaran), dan apabila tertutup awan (mendung) maka berpuasalah 30 hari." (HR.Muslim)"
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redpel NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Beberapa hari lalu, aku berbelanja ke supermarket yang tak jauh dari rumahku, karena tukang sayur langgananku sedang pulang kampung. Jadilah aku membeli beberapa kilogram ikan dan sayur-sayuran di supermarket. Harganya tentu saja jauh lebih mahal daripada harga yang biasa kudapatkan ketika membelinya di warung sayuran langgananku.
Di saat mengantre di kasir, dua orang ibu di belakangku berbincang soal awal mula puasa Ramadan.
"Puasa kapan ya?" tanya seorang ibu kepada temannya.
"Nggak tau nih, kan belum ada pengumuman. Tapi kalau saya sih ikut pemerintah aja biar rame!" ujar teman si ibu.
"Iya sama, saya juga yang pasti-pasti aja. Ikut pemerintah." timpal si ibu enteng.
Saat itu suasana supermarket sedang ramai karena hanya dua hari jelang bulan suci. Andai sepi, mungkin aku akan membalikkan badan dan ikut nimbrung dengan obrolan si ibu. Gatal rasanya lidahku ingin menyampaikan soal metode syari penentuan awal dan akhir Ramadan. Namun, terpaksa kutahan saja di dalam hati, sebab suasana tidak memungkinkan.
Dini hari berikutnya, aku mendapatkan kabar bahwa hilal Ramadan telah terlihat di beberapa negara, termasuk Saudi Arabia, yang menjadi kiblat bagi umat Islam. Maka, tanggal 1 Ramadan jatuh di hari Sabtu tanggal 2 April 2022, sehari lebih awal dari tanggal yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia. Aku pun bersegera menyebarkan info tersebut kepada keluargaku, termasuk ibu dan adikku. Mereka pun langsung bersiap sahur untuk menjalankan ibadah puasa meski infonya mendadak.
Di sisi lain, di grup RT tempatku tinggal, aku pun menyebarkan info tersebut, namun rata-rata tidak menanggapi dan lebih memilih ikut saja dengan keputusan pemerintah. Bahkan dengan bijak, Bu RT mengatakan agar kita menghargai perbedaan.
Ya, begitulah yang terjadi di tengah masyarakat tanpa keberadaan khalifah kaum muslimin hari ini. Mereka dihadapkan pada kebimbangan, bahkan untuk menjalankan hukum syariat pun terombang-ambing dalam ketidakpastian. Padahal penentuan awal dan akhir Ramadan telah jelas dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya, "Apabila kalian melihat hilal (bulan Ramadan), maka puasalah dan apabila kalian melihat hilal (bulan Syawal), maka berbukalah (lebaran), dan apabila tertutup awan (mendung) maka berpuasalah 30 hari." (HR.Muslim)
Jadi, patokannya adalah melihat hilal, di mana pun hilal itu terlihat. Tidak hanya di negerinya sendiri. Lantas bagaimana dengan perbedaan waktu antarnegara? Itulah yang kerap kali dilontarkan sebagai dalil untuk tidak mengakui hilal jika terlihatnya bukan di negeri sendiri. Padahal bulan itu hanya ada satu di dunia ini dan perbedaan waktu antarnegara pun tidak ada yang sampai 24 jam bukan? Misalnya saja hilal sudah terlihat di Arab Saudi, perbedaan waktu Arab dengan Indonesia hanya 4 jam, berarti masih jatuh di hari yang sama. Jadi, tidak ada alasan untuk menunda sampai esok hari.
Demikianlah potret umat Islam tanpa keberadaan seorang imam yang dapat melegislasi sebuah kebijakan berdasarkan hukum syariat Islam, bukan hawa nafsu dan kepentingannya belaka. Kita bisa menyaksikan sendiri dengan mata telanjang bahwa umat hari ini seolah terkotak-kotakan, antara yang pro pemerintah dengan yang tidak. Mereka ada yang sekadar ikut-ikutan pemerintah demi cari aman, seperti halnya ibu-ibu yang kutemui di supermarket. Ada juga yang militan menjadikan pemerintah hari ini sebagai ulil amri yang wajib ditaati, tanpa peduli apakah ulil amri yang dimaksud taat kepada Allah dan Rasul-Nya ataukah tidak. Firman Allah surat An-Nisa ayat 59 kerap dijadikan dalil untuk mengajak orang taat kepada segala kebijakan pemerintah hari ini secara mutlak.
Aku tak habis pikir dengan tipe masyarakat yang berpikiran demikian, padahal di ayat tersebut terdapat lanjutannya, "Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Nah, jelas ya, bahwa jika kita diwajibkan mengembalikan segala sesuatu kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Artinya, yang menjadi rujukan utama kita adalah dalil syariat. Aku jadi terbayang betapa indahnya saat Khilafah islamiah tegak di atas muka bumi dan umat Islam dipimpin oleh seorang Khalifah, betapa kesatuan dan keselarasan akan terwujud di bawah panji rida-Nya. Ahh, betapa rindunya aku dengan masa itu. Semoga Allah masih memberiku usia untuk menatap wajah Khalifah[]