"Sungguh, inilah penipuan terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh sistem demokrasi kapitalisme. Sesungguhnya, permasalahan yang muncul di negeri ini memang tidak lepas dari dua hal, pemimpinnya dan sistem yang diterapkan. Kalau yang dipakai tetap sistem demokrasi kapitalisme dan hanya mengganti orang-orangnya saja, tetap permasalahan itu akan ada. Karena akar masalahnya adalah rusaknya sistem yang diterapkan."
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bak petir di siang bolong, isu perombakan atau reshuffle kabinet kembali mencuat. Sebelumnya, memang sejak pekan lalu isu reshuffle sudah berembus dan sejumlah elite partai politik (parpol), seperti Zulkifli Hasan dari PAN dan Muhaimin Iskandar dari PKB, sudah angkat bicara. Dengan nada yang berkelakar, Jokowi geram terhadap konsumsi produk impor oleh sejumlah kementerian, lantas menyinggung soal reshuffle.
Jokowi mengancam akan mencopot menteri yang memang tidak bisa meningkatkan penggunaan produk dalam negeri pada pembelanjaan di kementerian mereka. Tiga menteri yang mendapatkan perhatian dari Jokowi adalah Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. (tempo.co, 27/3/22)
Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, memperkirakan reshuffle membutuhkan waktu yang tepat untuk menstabilkan pemerintah. Apabila tidak dilakukan sekarang, maka pemerintahan Jokowi dikhawatirkan akan terganggu sebab pada akhir tahun 2023 mendatang, isu politik elektorat bakal berembus kencang. Sejak era Abdurrahman Wahid sampai dengan era Susilo Bambang Yudhoyono, reshuffle kabinet jarang sekali berdampak langsung pada melonjaknya kapabilitas pemerintahan. Oleh karena itu, apabila Jokowi hendak melakukan reshuffle dalam kurun waktu yang terlalu pendek dengan tahun politik, bukan hanya tenggang rasa kekuasaan yang terganggu, namun juga kapabilitas pemerintahan. Seandainya tujuannya memperbaiki kinerja pemerintahan, maka sekarang adalah waktu yang tepat atau tidak sama sekali. "Jadi kiranya Jokowi mempunyai waktu sampai bulan Juni 2022 untuk melakukan reshuffle. Jika tidak, maka Jokowi akan kehilangan momentum," tutup Arif. (kompas.com, 27/3/22)
Sarat Akan Kontestasi Pemilihan Presiden 2024
Reshuffle kabinet sebenarnya adalah sesuatu yang wajar terjadi dalam sistem politik demokrasi. Hal ini dilakukan pemerintah agar senantiasa memberikan harapan baru bagi masyarakat. Dalam isu reshuffle kabinet kali ini, rezim berupaya untuk memperpanjang napasnya agar tetap bisa mempertahankan singgasana kekuasaannya. Reshuffle dianggap pemerintah sebagai solusi, realitasnya tidak sampai kepada akar permasalahan negeri ini. Lantaran problem bangsa bukan sekadar ketidakmampuan mengelola negara, melainkan disebabkan oleh sistem yang rusak, dalam membuat dan menetapkan suatu hukum sarat akan kepentingan. Senada dengan rencana reshuffle kabinet kali ini, tentu akan memilih menteri yang tidak memiliki agenda sendiri, terutama yang berkaitan dengan kontestasi pemilihan presiden 2024.
Tentunya tidak boleh ada menteri yang mempunyai irama berbeda. Demokrasi menganggap pengundian ulang kursi menteri merupakan kekuasaan istimewa yang dimiliki oleh presiden tanpa campur tangan lembaga lainnya (hak prerogatif). Reshuffle kali ini, Jokowi akan menjadikan isu kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi kapabilitas menteri.
Sejatinya negeri ini bisa berubah dengan perubahan yang bersifat fundamental dan hadirnya pejabat pemerintahan yang memiliki kemampuan, integritas, serta kinerja yang membuktikan tanggung jawab dan kejujurannya. Jika keduanya diwujudkan, maka akan menghasilkan keselarasan yang baik berupa kesejahteraan, kemakmuran, kebaikan serta keberkahan bagi bangsa ini. Namun, nyatanya sandiwara ini menjadi blunder politik bagi rezim Jokowi. Bagaimanapun juga kapabilitas para menteri adalah tanggung jawab seorang presiden. Sehingga adegan demi adegan geramnya presiden pada stafnya itu menunjukkan ketidakmampuan presiden dalam mengurusi negara.
Lantas, akankah reshuffle kabinet mampu menjawab persoalan negeri? Atau malah berpotensi membuat gaduh? Kiranya, bagaimana dengan nasib rakyat?
Mustahil Pejabat Berpihak kepada Rakyat
Selama sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme, yaitu materi adalah dasar mereka dalam bekerja, amanah sebagai pejabat pun menjadi usaha untuk menghasilkan keuntungan. Maka, dapat dipastikan bahwa rakyat hanya sebagai pendukung suara dan objek bagi pencitraan mereka saja. Mereka menempatkan dirinya sebagai penjual yang telah memberikan jasa pada pembelinya. Pada akhirnya, wajar memilih mana yang akan diprioritaskan, kepentingan rakya atau hanya singgasana kekuasaannya?
Apalagi bila rakyat yang merugikannya, akan sedemikian rupa disingkirkan. Inilah yang menyebabkan para menteri selalu setengah hati mengurusi persoalan umat. Berbeda halnya kepada korporasi, senantiasa mengurusinya dengan segenap hati mereka. Sangat berbeda jika menyangkut hal korporasi, langsung berjalan mulus. Lihat saja, uang terus digelontorkan pada proyek infrastruktur yang sebagian besar pundi-pundinya masuk ke dalam kantong korporasi. Sehingga, reshuffle kabinet bukanlah solusi. Bahkan akan memunculkan permasalahan cabang lainnya, karena menteri yang baru harus beradaptasi kembali.
Strategi Islam dalam Perombakan Kepemerintahan
Islam adalah agama yang paripurna. Tidak hanya menyangkut ibadah ritual, tetapi Islam juga memiliki aturan yang lengkap untuk mengatur negara. Sistem pemerintahan Islam disebut sebagai khilafah. Begitulah Nabi Muhammad saw pernah mencontohkan dan mewariskan kepada umatnya. Namun, hari ini umat Islam belum banyak yang memahaminya. Banyak negara yang dipimpin oleh umat Islam dengan menggunakan sistem warisan penjajah, yaitu demokrasi kapitalisme. Di dalam kitab Negara Khilafah (Sistem Pemerintahan dan Administrasi) karya Syeikh Taqqiyuddin An-Nabhani bagian "Pengantar", dijelaskan bahwa sistem pemerintahan Islam berbeda dengan sistem pemerintahan yang ada dan dikenal di seluruh dunia, baik dari aspek dasar yang melandasinya, dari pemikiran, pemahaman, maqoyis (tolok ukur), dan hukum-hukum untuk mengatur berbagai permasalahan, dari aspek konstitusi dan undang-undang (UU) yang disahkan untuk diterapkan ataupun dari bentuknya yang mencerminkan negara Islam sekaligus apa yang membedakannya dengan bentuk pemerintahan lainnya.
Sistem Islam bukan sistem kerajaan, karena dalam sistem pemerintahan Islam tidak mengenal pewarisan tahta atau kekuasaan pada putra mahkota. Sistem Islam juga bukan sistem imperium (kekaisaran), yang memiliki ciri memberikan hak istimewa dalam pemerintahan pusat dalam segi harta, pemerintahan, maupun perekonomian. Berbeda perlakuan pada wilayah-wilayah kekaisaran. Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik yang lantas menjadikan kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat.
Dalam sistem pemerintahan Islam, seluruh persoalan yang ada di dalam negeri diselesaikan berdasarkan tuntunan sumber hukum, yakni Al-Qur'an dan hadis. Tidak bisa dipungkiri, dalam sistem pemerintahan Islam perombakan atau reshuffle kabinet dimungkinkan terjadi pada pejabat. Dalam buku Negara Khilafah (Sistem Pemerintahan dan Administrasi) mencatat sub bab tertentu dalam berbagai pembahasan, misalnya sub tema "Pengangkatan dan Pemecatan Muawin dan Qadhi Mazalim".
Dijelaskan bahwa Muawin diangkat dan diberhentikan atas dasar perintah pemimpin (khalifah). Ketika khalifah meninggal, maka jabatan muawin selesai, tugas-tugasnya tidak berlanjut kecuali ketika amir sementara saja berlanjut. Muawin dapat meneruskan tugas-tugasnya lagi tatkala diangkat oleh khalifah yang baru. Dalam kitab tersebut juga dituliskan bahwa apabila Muawin dipindahkan tugasnya maka dari tempat ke tempat lain maka tidak harus ada pengangkatan yang baru namun hanya dengan pengangkatan awal. Menariknya dalam kitab tersebut disampaikan bahwa Muawin, khususnya Muawin Tafwidh (pembantu dalam pemerintahan) sebagai yang membantu khalifah mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, mampu dan termasuk orang yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan semua tugas yang diwakilkan kepadanya.
Jika di tengah jalan terjadi hal-hal yang di luar kekuasaan, seperti yang dapat menghilangkan terpenuhinya syarat tersebut, maka khalifah sewaktu-waktu bisa memberhentikannya. Dengan demikian, dalam hal pergantian pejabat seperti Muawin pada sistem pemerintahan Islam dimungkinkan terjadi. Dasarnya adalah hak khalifah yang dapat memberhentikannya dilihat dengan kaidah syarak yaitu hilangnya syarat kelayakannya menjadi pejabat.
Dapat disimpulkan bahwa, pergantian pemimpin atau menteri yang belum mampu menjawab permasalahan negeri, sudah selayaknya mampu menyadarkan dan memahamkan umat Islam, bahwa masuk ke dalam jalan demokrasi bukanlah jalan perubahan hakiki.
Kenyataannya, setelah masuk ke dalam suatu sistem bukan suara rakyat yang didengar, melainkan malah mempertontonkan politik oportunistik. Sungguh, inilah penipuan terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh sistem demokrasi kapitalisme.
Sesungguhnya, permasalahan yang muncul di negeri ini memang tidak lepas dari dua hal, pemimpinnya dan sistem yang diterapkan. Kalau yang dipakai tetap sistem demokrasi kapitalisme dan hanya mengganti orang-orangnya saja, tetap permasalahan itu akan ada. Karena akar masalahnya adalah rusaknya sistem yang diterapkan. Oleh karenanya, perlu keberanian dalam memutuskan sesuatu yang besar untuk berpindah menerapkan sistem Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan negeri sampai menyentuh akar masalah.
Perjuangan berorientasi pada mengembalikan kehidupan Islam tidak boleh berhenti begitu saja, umat Islam harus bersatu bersama-sama rapatkan barisan memperjuangkan hingga sistem pemerintahan Islam terwujud dalam naungan negara Islam.
Wallahu A'lam Bish-Shawwab[]