"Kebijakan impor yang dilakukan secara berulang-ulang oleh penguasa di negeri kita mengakibatkan ketergantungan yang berdampak pada lemahnya negara dalam menjalankan fungsinya sebagai negara yang berdaulat. Negara menjadi tidak independen alias bergantung pada negeri lain."
Oleh. Azimah Ummu Zaidan
NarasiPost.Com-Kebiasaan impor menjadi tren di kalangan masyarakat saat ini. Selain harga lebih murah, kualitas juga tidak jauh beda dengan produk lokal. Bahkan di kalangan pejabat di negeri kita juga tak mau kalah dalam melakukan kebiasaan membeli produk luar negeri alias impor. Tentunya menjadi hal yang luar biasa parah jika ketergantungan impor menjadi solusi dalam setiap persoalan domestik oleh penguasa di negeri kita.
Baru-baru ini penguasa di negeri kita mengungkapkan perasaan jengkelnya atas maraknya kebiasaan impor yang dilakukan para pejabat. Bahkan akan mengecam tindakan mereka yang melakukan hal tersebut.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak kuasa meluapkan kejengkelannya di depan jajaran menteri dan kepala daerah. Jokowi jengkel mengetahui masih banyak barang impor yang beredar. Berbicara dalam acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali, Jokowi mengungkap betapa besarnya barang impor yang dibeli oleh sejumlah kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Sedih beli barang-barang impor semua," kata Jokowi dalam tayangan Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (25/3/2022).
Namun, anehnya kejengkelan itu tak senada dengan kebijakan impor yang dilakukan pemerintah dalam kebutuhan bahan pangan yang pada realitasnya para petani mampu untuk memproduksi bahan pangan tersebut. Justru para penguasa di negeri kita telah melakukan kebijakan impor pada bahan pangan, seperti beras, kentang, jagung,cabe, teh, dll. Tentunya hal ini semakin menambah deretan persoalan di negeri kita.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada Juli 2021 Indonesia diketahui melakukan impor beras sebanyak 41,6 ribu ton dengan nilai mencapai US$ 18,5 juta atau setara dengan Rp266,4 miliar (kurs Rp14.400/US$). (CNBC Indonesia)
Kebijakan impor yang dilakukan secara berulang-ulang oleh penguasa di negeri kita mengakibatkan ketergantungan yang berdampak pada lemahnya negara dalam menjalankan fungsinya sebagai negara yang berdaulat. Negara menjadi tidak independen alias bergantung pada negeri lain. Lalu apa yang menjadi latar belakang kebijakan impor itu dilakukan oleh para penguasa di negeri kita?
Apabila ditelusuri bahwa alasan tidak bisa atau belum mampu memproduksi barang yang dibutuhkan, misalnya bahan pangan, maka ini termasuk hal yang tidak masuk akal karena pada kenyataanya negeri kita termasuk negeri agraris, banyak petani merasa dirugikan atas kebijakan impor. Banyak hasil panen para petani mangkrak, terlebih tenaga para petani tidak dihargai oleh pemerintah.
Kebijakan impor dilakukan memang benar pada kenyataanya negeri kita kurang inovatif dalam produksi, sehingga kalah daya saing dengan negara lain terutama dalam pemasaran. Realitasnya adalah pasokan bahan mentah banyak diekspor, akan tetapi memilih impor atas barang jadi yang sudah diproduksi negeri lain. Inilah konsep pasar bebas ala demokrasi-kapitalisme yang menjunjung tinggi asas manfaat. Urusan perdagangan dibuat sebebas-bebasnya meskipun sampai membiarkan negara lain menguasai sumber daya alam kita. Konsep pasar bebas merugikan kemaslahatan rakyat sehingga negara lain bisa menekan negeri kita atas jalinan kerja sama perekonomian yang tidak lain merupakan wujud hasil dibukanya keran impor oleh penguasa negeri kita.
Adapun Islam tentu mempunyai seperangkat aturan yang bisa mengatasi seluruh persoalan yang dihadapi umat terutama dalam pengaturan ekspor dan impor yaitu:
- Warga negara muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang menjadi warga negara dalam Islam) dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain kepada negara, perusahaan, atau warga negara kufur jika komoditas tersebut digunakan untuk memerangi Islam. Adapun barang-barang yang tidak strategis, seperti pakaian, makanan, perabotan, souvenir, dan lain-lain, maka seorang muslim atau kafir dzimmi boleh menjualnya kepada negara kafir. Namun, jika ketersediaan komoditas-komoditas tersebut di dalam negeri amat sedikit dan akan membahayakan ketahanan ekonomi negeri Islam, maka negara Islam melarang warga negaranya, baik muslim maupun kafir dzimmi, menjualnya ke negara kafir.
- Perdagangan luar negeri dengan negara-negara Kkafır harbi fi’lan, yakni negara kafir yang memiliki hubungan permusuhan dan peperangan secara langsung dengan negara Islam jelas diharamkan. Terhadap negara-negara seperti ini, negara Islam tidak akan mengizinkan warga negara maupun perusahaan-perusahaan yang berada di dalam negara Islam untuk melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafır harbi fi’lan, apa pun komoditas dagangnya. Pasalnya, melakukan perdagangan luar negeri dengan negara-negara kafir harbi fi’lan termasuk dalam kerja sama perdagangan yang dilarang.
- Negeri Islam mengizinkan kaum muslim dan kafir dzimmi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir. Terhadap kafir mu’ahad, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan negeri Islam, maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari negara Islam, maupun komoditas yang mereka ekspor ke negara Islam. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari negara Islam. Namun, orang kafir yang membuat perjanjian dengan negeri Islam (mafir mu’ahad) dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannya ke dalam negara Islam.
Selain hal tersebut, maka dalam aturan Islam untuk menumbuhkan kesejahteraan umat terutama dalam pertanian, penguasa Islam akan meningkatkan program intensifikasi misal memberi fasilitas, modal, edukasi bagi para petani serta program ekstensifikasi, misal menghidupkan tanah mati, tidak membiarkan tanah kosong dan akan memberikan sanksi jika membiarkan tanah kosong tidak produktif.
Walhasil, untuk menjadikan negeri kita sejahtera setiap kebijakan harus bersandar pada aturan Islam. Negeri kita yang agraris hendaknya dapat kita optimalkan dalam segala segi serta harus menghindari praktik- praktik yang menyebabkan ketergantungan yang kian menekan arah politik perekonomian kita.
Wallahu 'alam bis-showab[]