"Merangkul kawan dan menyingkirkan lawan adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Salah satu tujuannya adalah untuk meraih kursi kekuasaan atau mengamankan kekuasaan yang sudah digenggam. Berbagai langkah politik pun dilakukan jika dianggap mampu merealisasikan tujuan tersebut. Berkaitan dengan hal itu, isu reshuffle dinilai oleh banyak kalangan sebagai upaya melanggengkan kekuasaan."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Pagelaran politik bertajuk pesta demokrasi kian dekat. Para politisi dan parpol pun sibuk menyusun strategi dan membuat manuver-manuver politik demi meraup suara terbanyak dalam kontestasi nanti. Di tengah hangatnya suhu perpolitikan tersebut, Presiden Jokowi melemparkan wacana reshuffle kabinet ke tengah publik.
Isu reshuffle ini pertama kali berembus dari lisan Jokowi saat memberi pengarahan di forum virtual Afirmasi Bangga Buatan Produk Indonesia di Bali pada 25 Maret 2022 lalu. Hal tersebut disampaikan dengan nada berkelakar sebagai respons atas beberapa kementrian yang masih memenuhi kebutuhannya dengan produk impor.
Terkait reshuffle tersebut, Arif Susanto selaku Analis politik Exposit Strategic, mengungkapkan bahwa Jokowi memiliki waktu setidaknya sampai Juni 2022. Karena menurutnya, tahun 2023 sudah sangat dekat dengan waktu pelaksanaan pesta demokrasi. Jika reshuffle dilakukan, maka akan mengganggu kinerja pemerintahan dan juga agenda-agenda politik jelang pemilihan umum. (Kompas.com/23-03-2022)
Aroma Politik di Balik Wacana Reshuffle Kabinet
Merangkul kawan dan menyingkirkan lawan adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Salah satu tujuannya adalah untuk meraih kursi kekuasaan atau mengamankan kekuasaan yang sudah digenggam. Berbagai langkah politik pun dilakukan jika dianggap mampu merealisasikan tujuan tersebut. Berkaitan dengan hal itu, isu reshuffle dinilai oleh banyak kalangan sebagai upaya melanggengkan kekuasaan. Sebab beriringan dengan wacana tersebut, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristianto, menyampaikan kepada media bahwa dalam jajaran kementrian Presiden Jokowi tidak boleh ada menteri yang memiliki agenda sendiri dan tidak seirama.
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa menteri Jokowi saat ini digadang-gadang akan ikut meramaikan pesta demokrasi sebagai kontestan capres atau cawapres yang diusung partai masing-masing. Di antara nama-nama yang disinyalir akan dicalonkan dalam hajatan 2024 mendatang, yakni Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan), Erick Thohir (Menteri BUMN), dan Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator Maritin dan Investasi).
Sungguh terendus kuat betapa aroma politik mengitari wacana reshuffle kabinet ini, bukan untuk membenahi kinerja pemerintahan demi kemaslahatan rakyat.
Reshuffle di Era Jokowi
Selama 7 tahun berkuasa, Jokowi telah melakukan beberapa kali reshuffle kabinet. Adapun reshuffle pertama kali dilakukan, yakni pada Agustus 2015, tepat 10 bulan setelah pelantikan Kabinet Indonesia Kerja kala itu. Ada lima menteri yang terkena reshuffle, di antaranya Tedjo Edhy Purdijatno selaku Menkopolhukam digantikan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, Sofyan Djalil selalu Menko Perekonomian digantikan oleh Darmin Nasution, dll.
Setelah itu, belum ada setahun, Jokowi kembali melakukan reshuffle, yakni pada 27 Juli 2016. Latar belakangnya, PAN dan Golkar berkoalisi ke pemerintahan Jokowi saat itu. Dalam reshuffle tersebut, dua anggota partai koalisi diberikan kursi yakni Airlangga Hartanto dari Golkar dan Asman Abdur dari PAN.
Selanjutnya, Jokowi kembali melakukan reshuffle pada tahun 2018 dengan mengganti beberapa menteri. Misalnya, jabatan Menteri Sosial yang semula dipegang oleh Khofifah Indar Parawansa, diserahkan pada Idrus Marham, politisi Golkar. Sebab Khalifah maju mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Jawa Timur. Namun, belum sampai setahun menjabat, Idrus Marham kembali dicopot karena terjerat kasus korupsi PLTU Riau-1.
Di tahun itu pula dilantik Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan menggantikan Teten Masduki. Selain itu, dilantik pula Komjen Pol. Syafruddin sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menggantikan Asman Abdur. Disinyalir hal itu disebabkan PAN tidak mendukung Jokowi di pemilihan presiden 2019.
Tahun 2020, di periode kedua jabatan presidennya, Jokowi kembali melakukan reshuffle terhadap enam menteri, di antaranya Edhy Prabowo dan Juliari Batubara yang ditangkap KPK karena melakukan tindak korupsi. Tri Rismaharini pun diangkat sebagai Menteri Sosial menggantikan Juliari Batubara dan Sakti Wahyu Trenggono menggantikan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Selain itu, dilantik pula Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama menggantikan Fachrul Razi.
Demikianlah reshuffle demi reshuffle dilakulan di masa pemerintahan Jokowi, totalnya empat kali reshuffle. Sungguh, identik dengan politik bagi-bagi kursi bagi partai pendukung. Sangat jelas, bahwa sistem kapitalisme hari ini mendidik para politisinya menjadi sosok-sosok haus kekuasaan dan materi oriented.
Pergantian Jajaran Pemerintahan dalam Sistem Islam
Reshuffle atau perombakan susunan kabinet merupakan sesuatu yang niscaya terjadi dalam sistem pemerintahan Islam. Namun, dalam sistem pemerintahan Islam, reshuffle didasari oleh spirit renovasi kinerja, bukan kepentingan politik tertentu.
Sebagaimana dijelaskan dalam Buku Struktur Negara Khilafah karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani tentang pengangkatan dan pencopotan jabatan Muawin atau wazir (pembantu) khalifah. Terlepas dari perbedaan tugas dan fungsinya dengan para menteri dalam sistem demokrasi hari ini, namun setidaknya dapat tergambar bagaimana metode pengangkatan dan pemberhentian muawin (wazir) dalam sistem Islam.
Perlu diketahui, bahwa dalam sistem pemerintahan Islam terdapat jabatan Muawin Tafwidz yakni pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan, serta membantu juga dalam urusan pribadi khalifah. Muawin Tahfidz diberikan wewenang untuk mengambil kebijakan bahkan berijtihad dalam urusan pemerintahan. Namun, ia harus selalu melaporkan kebijakan yang diambilnya kepada khalifah. Khalifah berhak melakukan pembatalan atas kebijakan Muawin jika dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum syarak.
Selain itu, ada juga Muawin Tanfidz yakni pembantu khalifah dalam hal administratif. Keduanya ditunjuk dan diangkat langsung oleh khalifah dengan mempertimbangan beberapa persyaratan, di antaranya laki-laki, muslim, baligh, merdeka, berakal, dan adil.
Adapun masa jabatan Muawin akan berakhir secara otomatis tatkala Khalifah meninggal dunia, sehingga tidak membutuhkan pemecatan. Namun, tugas-tugasnya tetap dilakukan di bawah kontrol amir sementara, sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian khalifah yang baru harus melakukan pengangkatan baru bagi Muawin tersebut.
Dengan gambaran tersebut, reshuffle dalam sistem pemerintahan Islam tidak bermuatan politis praktis sebagaimana halnya sistem hari ini. Sebab sejak awal, pengemban amanah di jajaran pemerintahan Islam berlandaskan pada ketentuan yang berporos pada syariat. Pelaksanaan tugasnya pun di bawah kontrol penuh Khalifah yang notabenenya sebagai wakil umat demi menerapkan syariat Islam secara praktis dalam kehidupan. Oleh karena itu, reshuffle para pembantu Khalifah sangat bertolakbelakang dengan reshuffle dalam sistem pemerintahan demokrasi yang sarat akan kepentingan. Hal itu wajar adanya, sebab kursi jabatan dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang dikejar, namun dalam sistem Islam jabatan adalah amanah yang berat. Maka, tidak ada yang berlomba-lomba mengejar jabatan karena khawatir akan tanggung jawabnya yang sangat besar di sisi Allah. Wallahu'alam bish shawab.[]