"Semangat Udin semakin besar setelah Bu Rami merasa sembuh dan mulai beraktivitas ringan. Hal itulah yang membuat Udin bertekad ingin cepat-cepat menikah. Hingga suatu saat, tepatnya bulan Maret 2013, Udin mengkhitbah Jania melalui perwakilan keluarga."
Oleh. Cecep Saefudin
NarasiPost.Com-Angin basah bertiup perlahan di penghujung bulan November 2012. Membuat suasana kamar malam ini semakin dingin menggigit tulang. Musim hujan akan segera tiba, membuat kondisi kesehatan semakin menurun. Hal itulah yang dialami perempuan berusia setengah abad bernama Bu Rami. Sudah lima tahun, ibu beranak satu itu menderita gangguan paru-paru. Bahkan sudah mendapat diagnosis komplikasi tahap ringan.
Jika sudah muncul tanda-tanda kesehatan Bu Rami menurun, maka anak lelakinya yang bernama Udin pulang dari kota. Dia datang untuk membantu ibunya di rumah. Karena ayahnya—Pak Ron—sibuk mengais rezeki sebagai kuli panggul di pasar.
Selama ini, Bu Rami sudah mengonsumsi berbagai obat-obatan, baik antibiotik maupun herbal. Jalan satu-satunya untuk menyembuhkan penyakit Bu Rami dengan melakukan operasi di Rumah Sakit Semarang dengan biaya mencapai enam puluh juta rupiah. Biaya yang terlalu besar mengintai keluarga mereka, akan tetapi tidak cukup modal untuk itu. Baik Pak Ron maupun Udin tidak mampu mendapatkan uang sebesar itu. Mengingat Udin sendiri hanyalah seorang penjual gorengan keliling di kota.
Suatu pagi, Udin menemami ibunya berjemur di halaman rumah. Tiba-tiba Bu Rami berkata sesuatu yang tidak biasanya.
“Din, penyakit Ibu sudah parah. Kalau Ibu meninggal, kamu mau tinggal sama siapa?”
Udin seketika terkejut dan memeluk ibunya sambil menitikkan air mata.
“Jangan bilang begitu, Bu. Aku tidak mau Ibu meninggal. Katanya Ibu mau melihat aku menikah? Iya, kan?”
“Kapan kamu menikah? Calon istrimu orang mana?”
Desakan Bu Rami membuat Udin tersentak. Udin memang belum memiliki calon istri. Kalimat tadi hanyalah sebuah penghibur untuk menyenangkan ibunya.
“Calon gampang, Bu. Tapi aku nggak mau menikah sebelum Ibu sembuh!” jawab Udin meyakinkan.
“Ibu sudah pasrah, Din. Kalau malam Ibu tidak bisa bernapas,” ujar Bu Rami.“Ibu merasa umurnya tidak akan panjang."
“Jangan bicara begitu, Bu. Allah pasti memberi umur panjang kepada Ibu,” jawab Udin yakin.
Ibu hanya mendesah panjang. Tatapan tatapan matanya terlihat kosong.
Udin kembali menitikkan air mata kesedihan. Dia menyesal tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyembuhkan ibunya. Termasuk membiayai ibunya ke rumah sakit di Semarang untuk menjalani operasi pengeluaran cairan dalam paru-paru.
“Ibu tenang, ya. Aku lagi menabung untuk operasi ibu.” Udin mempertegas sambil mengusap air mata.
Bu Rami ikut menangis sambil membelai rambut Udin. “Ibu tidak setuju. Uang tabungan itu untuk biaya kamu menikah!”
“Bu…” protes Udin.
Bu Rami menggeleng. “Pokoknya, kamu harus menikah. Lihat, berapa usiamu sekarang?”
Udin hanya menunduk malu bercampur haru. Memang dia sendiri tidak memikirkan pernikahan, karena sejak lima tahun yang lalu, terlalu fokus pada biaya operasi ibunya. Padahal dia hanyalah pedagang gorengan keliling. Rasanya butuh waktu puluhan tahun untuk mengumpulkan uang sebesar itu.
Udin boleh dibilang pemuda yang memiliki raut cukup tampan. Kulit putihnya menjadi poin plus untuk menarik perhatian wanita. Namun, Udin sangat pemalu dan tertutup. Hal itulah yang menyebabkan ia tidak pernah mencoba mencari pacar atau pasangan hidup.
Sampai suatu saat, datanglah kerabat dari pihak ayah Udin yang bernama Dahri. Dia datang untuk memberi kejutan, yaitu menjodohkan Udin dengan keponakan Pak Dahri.
“Pak Ron, Bu Rami, ini kesempatan besar untuk menikahkan Udin. Saya yakin ini akan mudah dan baik bagi Udin.”
Udin yang ikut mendengarkan pembicaraan itu tidak bisa berbuat banyak. Dia bingung harus menolak atau menerima. Dalam hatinya, ia tidak nyaman kalau dijodohkan dengan cara singkat seperti itu. Seolah sudah mencoreng harga dirinya.
“Saya setuju sekali, Pak. Kalau dia menikah dengan kerabat Pak Dahri,” potong ibu dengan napas tersengal-sengal.
“Tapi, apa anaknya… siapa tadi nama perempuannya, Pak?” tukas Pak Ron kepada Pak Dahri.
“Jania. Putri Bapak Wayo,” sahut Pak Dahri.
“Ya itu. Apa anak perempuannya mau sama anak saya?” Pak Ron memastikan.
“Insyaallah mau, Pak. Saya sudah bicara sama orang tuanya,” jawab Pak Dahri yakin.
Udin kembali pasrah atas keputusan orang tuanya. Terlebih ibu yang benar-benar ingin dia menikah cepat.
Suatu malam, saat Udin terbangun dan mendapati Bu Rami sedang salat malam. Udin mendengar dengan jelas dalam doanya bahwa dia sangat senang anaknya sudah mendapatkan jodoh. Udin menjadi tersadar bahwa ibunya merasa lebih kuat setelah mendengar dia akan menikah. Berarti kesembuhan ibu tidak bisa dimungkiri lagi. Untuk itu, Udin berlapang dada menyambut perjodohan itu.
Semangat Udin semakin besar setelah Bu Rami merasa sembuh dan mulai beraktivitas ringan. Hal itulah yang membuat Udin bertekad ingin cepat-cepat menikah. Hingga suatu saat, tepatnya bulan Maret 2013, Udin mengkhitbah Jania melalui perwakilan keluarga. Udin tidak langsung pergi ke rumah Jania karena bagian dari adat desa yang berlaku.
Setelah resmi mengkhitbah, harusnya menjadi kesempatan Udin untuk mengenal lebih jauh mengenai Jania dan keluarganya. Akan tetapi, dia merasa bingung harus memulai dari mana. Selama ini, Udin tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun selain sebatas teman biasa. Di sinilah muncul masalah baru. Bu Rami memaksa Udin untuk terbiasa dekat dengan Jania supaya setelah menikah nanti sudah akrab satu sama lain.
Sebenarnya Udin sendiri sudah mencoba datang dan mengenal Jania. Ternyata perempuan itu masih muda belia. Usianya baru empat belas tahun, setengah kurang dari usia Udin. Otomatis Udin sendiri merasa kaget, dijodohkan dengan gadis remaja seperti itu. Namun, dia tidak memperlihatkan kekecewaannya di hadapan ibunya. Dia ingin menjalani pilihan orang tuanya itu dengan ikhlas.
Waktu terus berlalu. Dua tahun setelah acara khitbah itu, Udin sudah merasa kecewa dengan jodoh pilihan orang tuanya. Bayangkan, pemuda seusia Udin harus berdampingan dengan gadis ABG labil seperti Jania yang masih duduk di bangku SMP. Komunikasi mereka tidak bisa nyambung, yang mengakibatkan kandasnya perjodohan. Hal itu diawali saat Udin mendapati Jania berjalan bersama pacarnya yang sesama anak SMP.
Awalnya Udin masih tidak mempermasalahkan hal itu. Namun, saat mempertanyakan kembali status mereka, Jania malah memperlakukan Udin dengan tidak sopan.
“Dasar nggak tahu diri. Mau menikah sama anak kecil!” ketus Jania.
“Apa maksudmu? Bukankah kau menyetujui khitbah itu? Kalau tidak mau, kenapa baru sekarang terus terang!" Udin yang merasa terpukul masih berusaha mengklarifikasi.
“Aku dipaksa orang tua. Kita bubar. Tidak ada pernikahan!” kata Jania sembari melemparkan cincin kawin dihadapannya.
Udin tidak bisa berkata-kata, ia diam dalam kemarahan. Harga dirinya jatuh dan hancur berkeping. Namun, dia berusaha sabar dan tersenyum kepada ibunya. Udin tidak menyesal kegagalan pernikahannya. Yang dia sesali adalah kematian ibunya, sebulan setelah kejadian tersebut.[]