"Sangat jelas bahwa pernikahan beda agama adalah tidak sah dalam Islam. Akad nikah di dalamnya adalah batil. Bahkan, itu bukanlah pernikahan, melainkan perzinaan. Aktivitas yang dilakukan dalam ikatan tersebut seperti dua orang yang melakukan zina."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pernikahan ibarat sebuah bahtera yang tengah berlayar. Ia bergerak menuju satu titik tujuan tertentu. Untuk bisa mencapai tujuan tersebut diperlukan sebuah panduan agar tak kehilangan arah. Ada seorang nakhoda yang memastikan bahtera berlayar sesuai arah yang tepat. Bila dalam satu bahtera terdapat dua nakhoda, maka siapa yang harus memimpin? Bisakah ia mencapai tujuannya?
Akan terjadi kebingungan bila ada dua nakhoda dalam satu bahtera. Masing-masing nakhoda tersebut memiliki cara dan rencana sendiri dalam mencapai tujuannya. Keduanya akan saling mempertahankan dan menginginkan dirinyalah yang harus diikuti. Anak buah kapal tentu akan bingung harus mematuhi siapa. Akibatnya, percekcokan terus menghiasi perjalanan bahtera itu. Alih-alih bisa sampai di tujuan, yang ada malah bahtera terkatung-katung tak tentu arah. Bahkan, lama-lama bahtera itu bisa hancur dan karam hingga membinasakan penumpangnya.
Pernikahan beda agama ibarat bahtera dengan dua nakhoda. Keduanya bersama, namun tak sejalan sebab panduan mereka saling berbeda. Apa jadinya bila dalam sebuah rumah tangga terdapat dua panduan yang saling bertentangan? Pasti akan terjadi perselisihan dan kekacauan di dalamnya. Jika seperti itu, bagaimana bahagia yang hakiki bisa tercipta? Anak-anak pun menjadi korbannya.
Pernikahan beda agama sejatinya tak akan bisa mencapai tujuan pernikahan yang hakiki. Kedua insan dengan keyakinan berbeda dan mencoba menjalin tali pernikahan sesungguhnya berjalan di jalan yang berbeda. Mereka tengah menceburkan diri dalam ragam permasalahan yang sebetulnya sudah bisa diprediksi. Di awal mungkin perbedaan itu masih bisa diterima, namun lama kelamaan harus ada satu yang mengalah dan mengikuti yang lainnya.
Pada satu titik, bahtera rumah tangga pasangan beda agama membutuhkan satu pemimpin yang jelas. Tak bisa semuanya menjadi nakhoda. Bila pada akhirnya sendiri-sendiri, lalu untuk apa menikah? Bukankah menikah itu agar bisa terus bersama hingga akhir? Lalu, bagaimana bahtera rumah tangga akan berlayar dengan baik jika terdapat perbedaan keyakinan dalam mengarunginya?
Dalam Islam, suamilah yang memimpin bahtera rumah tangga menuju kebahagiaan sejati. Suami laksana pemimpin yang melindungi, mengatur dan melayani mereka yang berada dalam pengayomannnya. Ia menjadi pemimpin bagi keluarganya bukan untuk berkuasa dan bertindak sewenang-wenang, melainkan menjalankan tanggung jawab yang besar, seperti yang difirmankan dalam surah An-Nisa’ ayat 34: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Tujuan pernikahan adalah untuk menggapai rida Allah ta’ala. Setiap pernikahan pasti menginginkan teraihnya sakinah mawadah warahmah. Ketenteraman, kebahagiaan, dan kedamaian yang diliputi berkah adalah dambaan setiap pasangan yang menikah. Tak ada orang yang menikah supaya hidupnya sengsara. Justru sebaliknya, orang menikah supaya bahagia lahir dan batin di dunia dan akhirat.
Menikah berarti menyelaraskan setiap langkah kedua insan agar bisa beriringan hingga ke tujuan yang telah ditetapkan. Menikah tentunya dengan harapan pernikahan langgeng selamanya hingga ke surga.
Untuk meraih itu semua, maka diperlukan satu panduan yang benar. Bila dari awal membangun rumah tangga sudah didasari prinsip yang salah, sangat besar kemungkinan akan semakin bertumpuk kesalahan. Satu prinsip yang benar-benar dipegang bersama sangat penting dalam pernikahan. Prinsip itulah yang menyatukan dua insan berbeda dalam mahligai pernikahan agar mampu berjalan bersama selamanya.
Apakah mungkin dua orang yang berbeda keyakinan akan mampu menggapai sakinah yang sejati? Sedangkan di antara keduanya terdapat pertentangan yang begitu nyata, bagai langit dan bumi.
Menikah beda agama sama sekali tak akan pernah berjalan pada rida-Nya. Bagaimana mungkin bisa tercapai rida itu, bila dari awal pernikahan sudah mengingkari perintah-Nya? Panduan yang dipegang oleh pria dan wanita dalam pernikahan tersebut juga sangat bertolak belakang. Islam melarang apa yang kaum kafir halalkan. Demikian pula sebaliknya. Bayangkan bagaimana kacaunya rumah tangga dengan dua keyakinan yang bertentangan.
Pernikahan beda agama tak hanya menjauhkan pasangan dari tujuan sejati pernikahan, namun juga mengingkari syariat-Nya. Inilah yang paling berbahaya sebab pasangan berani melanggar perkataan Allah. Cinta yang dirajut dengan menyalahi aturan-Nya tak akan pernah membawa bahagia yang sebenarnya. Cinta yang disemaikan di antara keduanya hanyalah semu. Cinta tersebut merupakan cinta terlarang karena melanggar apa yang Allah tetapkan dalam firman-Nya di surah Al-Baqarah ayat 221: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin adalah lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Janganlah kau menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman, dan budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka (orang-orang musyrik) itu mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya, dan Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Sangat jelas bahwa pernikahan beda agama adalah tidak sah dalam Islam. Akad nikah di dalamnya adalah batil. Bahkan, itu bukanlah pernikahan, melainkan perzinaan. Aktivitas yang dilakukan dalam ikatan tersebut seperti dua orang yang melakukan zina.
Selamanya tidak halal bagi seorang muslimah untuk menikah dengan pria kafir. Meskipun sang wanita mendapatkan persetujuan dan restu dari ayahnya, seluruh keluarganya, bahkan seluruh dunia mengelukannya sebagai pengusung toleransi sejati, namun itu semua tak ada artinya. Ia tetaplah pelaku zina yang hina di hadapan Allah. Naudzubillah…
Menikah adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga setiap prosesnya harus sesuai dengan yang diperintahkan-Nya. Menikah merupakan ibadah yang berlangsung sepanjang hayat. Dibutuhkan bekal yang mantap dalam menjalaninya. Keyakinan pada Allah Swt. dalam segala kondisi menjadi penopang kuatnya biduk cinta rumah tangga.
Menikah bukan hanya perkara cinta dan kecocokan, tetapi yang utama adalah bagaimana pernikahan itu menjadikan pasangan semakin bertakwa kepada Allah taala. Penting sekali dalam membangun keluarga berlandaskan pada keimanan yang satu dan pasti. Ini agar rumah tangga tak terombang-ambing oleh badai yang menerpa atau angin sejuk yang menghanyutkan. Bahtera akan selalu kokoh hingga ke akhir tujuan dengan selalu berpegangan pada cinta yang satu karena-Nya. Bahagianya pernikahan akan tercipta bila dua insan menyandarkan cinta mereka hanya kepada Allah Swt..
Itu tidak akan pernah terwujud dalam pernikahan beda agama sebab secara mendasar telah salah. Hanya dengan tuntunan syariat Allah, pasangan akan mengecap indahnya pernikahan secara hakiki. Pernikahan tersebut akan senantiasa dilimpahi berkah dari Allah, Sang Pemberi cinta. Karena itulah, jadikan syariat sebagai panduan dalam mengarungi bahtera sejak dari memilih pasangan hidup yang semoga bisa sampai ke Jannah-Nya.[]