"Hal itu menunjukkan semakin banyaknya orang yang tidak lagi peduli dengan aturan agamanya. Atas nama cinta dan toleransi, mereka langgar aturan itu. Mereka hanya mengejar kebahagiaan yang semu. Padahal, pernikahan itu tak cukup hanya berlandaskan cinta, tetapi juga rida dari Sang Pencipta."
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Allah Swt. telah menciptakan manusia dalam dua jenis, laki-laki dan wanita. Allah Swt. juga telah membekali mereka dengan potensi kehidupan yang sama. Salah satunya adalah gharizah nau' (naluri melanjutkan keturunan) yang melekat pada diri mereka. Potensi ini akan terus ada sebagai fitrah penciptaan mereka.
Potensi kehidupan berupa gharizah nau' ini memunculkan ketertarikan terhadap lawan jenis, rasa cinta pada anak, orang tua, serta saudara. Dengan potensi kehidupan inilah, manusia terhindar dari kepunahan. Inilah tujuan diciptakannya gharizah nau', yaitu untuk melestarikan jenis manusia.
Agar pemenuhan terhadap gharizah nau' ini tidak menimbulkan kekacauan, Allah Swt. telah menetapkan seperangkat aturan. Maka, Allah Swt. telah menjadikan pernikahan dan kepemilikan hamba sahaya sebagai cara untuk memenuhi naluri tersebut. Melalui pernikahan ini, akan muncul hubungan-hubungan yang lain. Misalnya, hubungan anak dengan bapak, anak dengan ibu, dan sebagainya.
Pernikahan dalam Islam
Pernikahan merupakan pengaturan interaksi antara laki-laki dan wanita yang bersifat seksual. Pernikahan yang terjadi akan memunculkan hukum yang lain, yaitu hukum tentang nasab, perwalian, silaturahmi, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa pernikahan merupakan pokok dari hubungan-hubungan itu. Sebab, tanpa ada pernikahan, hubungan-hubungan yang lain itu tidak akan muncul.
Melalui pernikahan ini, kehormatan laki-laki dan wanita akan terjaga. Mereka dapat memenuhi hasrat seksual mereka dengan pasangan yang sah menurut syariat. Pada saat yang sama, mereka terhindar dari perbuatan yang keji, seperti berzina, liwath, dan sebagainya.
Karena itu, pernikahan merupakan hal yang dianjurkan oleh Islam. Melalui hadis riwayat Ibnu Mas'ud ra., Rasulullah saw. bersabda,
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
"Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa. Sebab, puasa adalah perisai baginya."
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. menganjurkan kepada siapa saja yang telah mampu menanggung beban untuk menikah. Artinya, siapa saja yang telah mampu menanggung beban pernikahan serta bertanggung jawab atas pernikahan yang dilakukan, dianjurkan untuk menikah. Maka, pernikahan tidak dibatasi oleh usia, tetapi oleh kemampuannya untuk bertanggung jawab.
Di samping itu, Islam juga melarang tabattul, yaitu tidak menikah seumur hidup karena ingin fokus beribadah. Rasulullah saw. telah menyatakan larangan ini dalam sebuah hadis riwayat Imam Ahmad, أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن التبتل (Sesungguhnya Nabi saw. melarang tabattul).
Tabattul akan menyebabkan tujuan diciptakannya gharizah nau' tidak tercapai. Hal ini akan mengancam kelestarian jenis manusia. Sebab, manusia tidak akan bertambah, bahkan mungkin semakin berkurang jumlahnya. Akibatnya, lambat laun manusia akan punah.
Hukum Pernikahan Beda Agama
Dalam memilih seorang calon suami atau istri, Rasulullah saw. senantiasa menekankan pada pentingnya agama. Maka, Beliau saw. memerintahkan kepada kita untuk memilih pasangan yang baik agamanya. Dengan landasan agama ini, tujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah war-rahmah dapat tercapai.
Hal itu karena pernikahan bukanlah sekadar pemuasan nafsu. Pernikahan juga bukan sekadar menyatukan dua orang atas dasar cinta semata. Namun, pernikahan adalah hukum syarak yang ditetapkan oleh Allah Swt. Karena itu, pernikahan dianggap sah menurut syariat jika tidak melanggar ketentuannya.
Salah satu ketentuan yang harus dipenuhi adalah menyangkut akidah yang dianut keduanya. Dalam hal ini, Islam telah menetapkan bahwa seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita muslimah atau wanita ahlulkitab. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah[5]: 5. Namun, ia tidak boleh menikah dengan wanita dari kalangan musyrikin. Allah Swt. telah menyampaikan larangan terkait hal ini dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah[2]: 221.
Sedangkan seorang wanita muslimah hanya boleh menikah dengan seorang laki-laki muslim. Dalam Al-Qur'an surah Al-Mumtahanah[60]: 10, Allah Swt. berfirman,
يأيها الذين أمنوا إذا جاءكم المؤمنت مهجرات فامتحنوهن الله أعلم بإيمانهن فان علمتموهن مؤمنت فلا ترجعوهن إلى الكفار لا هن حل لهم ولا هم حل لهن
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kalian uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka."
Ayat ini turun berkaitan dengan Zainab ra., putri Rasulullah saw. Di masa permulaan Islam, seorang wanita muslimah masih diperbolehkan menikah dengan laki-laki nonmuslim. Saat itu, Zainab ra. telah masuk Islam. Namun suaminya—Abul As bin Rabi'—masih dalam kesyirikannya. Mereka masih tinggal di Makkah.
Saat Perang Badar, Abul As bin Rabi' ditawan oleh pasukan kaum muslimin. Zainab ra. kemudian mengirimkan kalung sebagai tebusan bagi suaminya. Saat Rasulullah saw. melihat kalung itu, Beliau pun mengenalinya. Kalung itu milik Khadijah ra. yang diberikan kepada Zainab ra.. Rasulullah saw. pun membebaskan Abul As dengan syarat mengirimkan Zainab ra. ke Madinah. Sejak itu, Zainab ra. berpisah dengan suaminya. Mereka baru berkumpul kembali dua tahun kemudian setelah Abul As masuk Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki nonmuslim, baik itu laki-laki ahlulkitab maupun musyrik.
Karena itu, pernikahan seorang wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim haram hukumnya. Jika terjadi pernikahan di antara mereka, pernikahan itu dianggap tidak sah serta dianggap tidak terjadi akad sama sekali. Jika terjadi hubungan suami istri di antara mereka, hal itu dianggap sebagai zina. Anak yang lahir dari pernikahan beda agama yang diharamkan, akan dianggap sebagai anak hasil zina. Maka, hubungannya dengan bapaknya hanyalah sebagai bapak biologis. Ia tidak bisa menjadi walinya. Mereka juga tidak dapat saling mewariskan.
Demikianlah, pernikahan beda agama tidak boleh dianggap sebagai hal yang remeh. Sebab, ada hukum-hukum lain yang berkaitan dengannya. Karena itu, maraknya pernikahan beda agama yang terjadi saat ini tentu sangat meresahkan. Hal itu menunjukkan semakin banyaknya orang yang tidak lagi peduli dengan aturan agamanya. Atas nama cinta dan toleransi, mereka langgar aturan itu. Mereka hanya mengejar kebahagiaan yang semu. Padahal, pernikahan itu tak cukup hanya berlandaskan cinta, tetapi juga rida dari Sang Pencipta. Wallaahu a'lam bishshawaab.[]