Nikah Beda Agama: Agenda Liberalisasi, Pluralisme, dan Deislamisasi

"Pada akhirnya, banyak orang yang menyadari bahwa liberalisasi merupakan sebuah gerakan ideologis bahkan menjadi agenda besar yang mengancam sendi-sendi Islam."

Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPOst.Com-Selamat datang di dunia akhir zaman, masa di mana ide-ide barat dipertontonkan. Masyarakat heboh dengan berita viral pernikahan staf khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ayu Kartika Dewi yang menikah beda agama dengan seorang laki-laki bernama Gerald Sebastian di Gereja Katedral Jakarta, pada Jumat (18/3).

Diketahui, prosesi pernikahan dilakukan dengan dua cara, yaitu akad nikah secara Islam sesuai dengan agama Ayu dan proses pernikahan di Katedral sesuai dengan agama Gerald. Ayu menggelar prosesi akad nikah di Hotel Borobudur Jakarta, sekitar pukul 07.30 WIB. Kemudian dilanjutkan dengan misa pemberkatan dengan khidmat di Katedral Jakarta pukul 10.00 WIB. Prosesi pernikahan disiarkan langsung di channel YouTube Ayu Kartika Dewi.

Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan merespons pernikahan beda agama stafsus Jokowi. Ia menjelaskan bahwa pernikahan yang sah harus sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Ketentuan tersebut berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disebutkan dalam aturan itu terdapat satu pasal perkawinan sah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Artinya bahwa secara tegas dan jelas memang perkawinan yang dikonotasikan berbeda agama tidak dibolehkan, harus dengan seagama dan sesuai keyakinan.

Sekjen MUI menjelaskan bahwa konstitusi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah mengatur bahwa Indonesia berdasarkan sila pertama, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Ia juga menegaskan bahwa konstitusi telah memberikan kebebasan untuk menjalankan agama dan keyakinan masing-masing individu (cnnindonesia.com, 18/03/2022).

Pernikahan beda agama meningkat dengan angka yang fantastis. Fenomena menyesakkan dada ini menunjukkan bahwa tatanan hidup manusia kian rusak lantaran menjauh dari aturan Sang Pencipta. Potret manusia semakin tidak bervisi akhirat, yang dikejar hanya urusan duniawi. Kebenaran tak lagi diindahkan, hak asasi manusia (HAM) lebih diagungkan tanpa memandang batas hukum dan agama.

Proyek lama liberalisasi semakin marak berdalih atas nama hak asasi manusia (HAM). Di sisi lain, kian tampak pluralisme agama dengan pernikahan beda agama ini. Pluralisme tentu berkaitan dengan program yang telah dicanangkan, yaitu moderasi beragama. Terlebih, di tahun 2022 ini merupakan Tahun Toleransi dan Moderasi Beragama, sehingga ditengarai nikah beda agama akan kian banyak terjadi.

Hal ini akan berjalan mulus, terlebih negara memfasilitasi legalitasnya melalui penetapan pernikahan oleh Pengadilan Negeri (PN) dan publikasi kutipan akta nikah oleh Kantor Catatan Sipil sebagai pernikahan yang tercatat. Oleh karena itu, maraknya pernikahan beda agama tak bisa dilepaskan dari fasilitas sistematik yang beraroma sekularisme liberalisme.

Sementara itu, dalam perspektif HAM, nikah beda agama boleh karena merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pada dasarnya dalam hukum nasional, nikah campuran ini tidak boleh namun bisa diakui legalitasnya saat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Sedangkan dalam perspektif agama Islam, sebagaimana fatwa yang dikeluarkan MUI, secara jelas dan tegas telah mengharamkan pernikahan beda agama.

Dampak Buruk Nikah Beda Agama dalam Kehidupan Islam

Pada akhirnya, banyak orang yang menyadari bahwa liberalisasi merupakan sebuah gerakan ideologis bahkan menjadi agenda besar yang mengancam sendi-sendi Islam. Agenda liberalisasi senantiasa berupaya memengaruhi hingga masuk pada rumusan kebijakan publik.

Wacana pernikahan beda agama digaungkan serta mempunyai benang merah dengan ‘gerakan kristenisasi’, liberalisasi, pluralisme dan agenda deislamisasi. Hal ini dapat dianalisis dari dinamika politik menjelang kelahiran Undang-Undang (UU) Pernikahan yaitu UU No. 1 tahun 1974.

Umat Islam seharusnya khawatir jika gerakan kaum liberal ini semakin masif. Apalagi jika nikah beda agama dibolehkan/dilegalkan atas nama HAM, dan sebagainya. Berikut dampak buruk nikah beda agama:

Pertama, liberalisasi hukum Islam berujung pada deislamisasi hingga pemurtadan. Pelegalan ini akan membuka pintu untuk menghancurkan banyak ketentuan Islam, terutama tentang berbagai akibat pernikahan seperti perwalian, hukum waris, nafkah, hubungan pria dan wanita dalam pernikahan, dan sebagainya. Selanjutnya, selama ini meski tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan beda agama banyak dimanfaatkan untuk pemurtadan. Terlebih bila nanti dilegalkan, proyek pemurtadan justru akan kian gencar dan meluas karena telah diakui keabsahannya oleh negara.

Kedua, melegalkan perzinaan dan menjalar pada tuntutan agar berbagai pernikahan yang dilarang Islam dilegalkan. Dalam Islam, nikah beda agama haram hukumnya dan tidak sah. Konsekuensi bagi pelakunya dinilai berzina. Lalu pernikahan yang dilarang Islam, seperti pernikahan sesama jenis, pernikahan sedarah, dan perzinaan lainnya akan dilegalkan.

Ketiga, meruntuhkan muslim dan mengukuhkan keberadaan sistem sekularisme liberalisme. Muslim dan muslimah yang melakukan praktik nikah beda agama berpotensi tergerus hancur loyalitasnya pada Islam. Dengan dalih toleransi pada pasangannya, ia akan melonggarkan bahkan melepaskan keterikatan pada syariat Islam. Pelan tapi pasti nikah beda agama akan dianggap sebagai peristiwa yang lumrah. Kemaksiatan yang dilakukan continue akan dianggap sebagai sebuah haq/kebenaran. Masyarakat akan terbiasa hidup dengan praktik penyimpangan agama. Hal ini akan mengeksiskan keberadaan sistem sekularisme liberalisme.

Demikianlah dampak buruk pernikahan beda agama, khususnya dalam kehidupan Islam. Meskipun saat ini belum jelas dilegalkan pernikahan beda agama, namun telah merebak. Terbayang sudah jika dilegalkan.

Islam Mengatur Pernikahan dengan Latar Belakang Beda Agama

Pertama, setiap muslim. Wajib terikat pada hukum syarak. Bukan pada hawa nafsu semata, alih-alih cinta atau hak asasi manusia. Perlu dipahami bahwa perkawinan antara perempuan mukmin dengan laki-laki kafir hukumnya haram secara mutlak. Perkawinan pria mukmin dengan wanita musyrik, selain daripada yahudi dan nasrani juga hukumnya haram. Di sisi lain, perkawinan antara laki-laki mukmin dengan perempuan ahlul kitab hukumnya halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan perempuan ahlul kitab yang muhshanat yaitu yang senantiasa menjaga kesucian, kemuliaan dan kehormatannya (‘afifat).

Dunia didominasi oleh kebebasan berperilaku, berpendapat, perempuan mengumbar aurat, seks bebas di mana-mana, perbuatan mendekati zina bahkan zina merajalela, rasanya sangat sulit memenuhi sifat afîfât itu. Apalagi harus dipahami betul bahwa meski dibolehkan, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak permasalahan di kemudian hari.

Kedua, menyerukan hukum keharaman pernikahan beda agama disertai dengan dampak buruknya bagi kehidupan Islam. Jika pernikahan beda agama saja difasilitasi, maka hendaknya kita menjadi pengemban dakwah bagi sampainya kebenaran Islam di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, menyadari dan memahami bahwa maraknya pernikahan beda agama adalah hasil dari penerapan sistem demokrasi liberal. Selama sistem tersebut menguasai, maka pernikahan campuran dan kemaksiatan lainnya akan terus banyak disaksikan.

Dengan demikian, apabila menginginkan pernikahan beda agama tidak terjadi lagi, berikut dengan manusia dapat terlepas dari kondisi rusak dan merusak, solusi mutlaknya ialah kembali pada aturan Allah Swt., dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan dunia. Maka, jawabannya adalah berjuang menegakkan kalimat Allah Swt., di muka bumi ini.

Menjaga Diri dari Fitnah Liberalisasi, Pluralisme, dan Deislamisasi

Menurut perspektif Islam, pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral dari akar. Ketika Islam menjadi asas pernikahan, tujuan dalam pernikahan adalah sarana untuk menambah ketaatan kepada-Nya. Sebaik-baik cinta, ialah cinta karena Allah, bukan sebab cinta itu sendiri. Sebab manusia rawan berganti, rawan hati berubah. Maka yang bisa mengabadikan keraguan manusia hanya Allah Sang Pemilik Hati. Jika dalam pernikahan, Allah tidak lagi menuntun, akan dibawa ke mana sebuah pernikahan?

Nikah beda agama dengan embel-embel cinta yang menyertai, tetap saja hal ini kelak akan menimbulkan persoalan. Liberalisasi, pluralisme, dan deislamisasi sejatinya adalah serigala berbulu domba. Ia bisa saja berbaju Islam, padahal isinya ide-ide barat. Lalu apakah masih yakin berprasangka baik pada sistem liberal? Berikut ini upaya-upaya untuk menjaga diri dari fitnah tersebut:

Pertama, belajar Islam secara mendalam dan menyeluruh. Pelajari dari akarnya yaitu akidah, kenali Allah dan Rasulullah, berikut dengan orang-orang saleh sepanjang sejarah Islam. Apabila tidak dipelajari dan dipahami, dari mana kita bisa mengetahui dan memahami?

Kedua, mempelajari sejarah, khususnya Islam. Sejarah Islam kaya akan kisah-kisah kemenangan dan kegemilangan. Pola ini pula yang akan berulang di masa mendatang. Maka, pelajari fikrah dan thariqah -nya, apa saja musabab Islam pernah kalah di masa lalu, hindari. Sehingga, Allah meringankan hati ini untuk terus mengkaji Islam.

Ketiga, belajar politik Islam. Mengapa harus politik Islam? Sebab, Islam ritual saja selamanya tidak akan mengantarkan umat Islam berhasil meraih kebangkitan. Kebangkitan hakiki hanya akan terealisasi ketika Islam dijadikan asas dan kendaraan. Tidak akan cukup mencapai suatu kebangkitan manakala Islam hanya sebatas ritual. Islam harus diupayakan dalam segala aktivitas di setiap aspek kehidupan.

Teringat ungkapan dalam buku pijakan aktivis bertajuk “Capita Selecta” yang terlontar dari seorang Muhammad Natsir, yang mengatakan “Islam beribadah akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan dicabut seakar-akarnya.” Wallahu a’lam bish-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Fitria Zakiyatul Fauziyah CH Kontributor NarasiPost.Com dan Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta
Previous
Luka Menyelimuti Tragedi, Korban Perdagangan Anak Berkedok Adopsi
Next
Telaga Cinta-Mu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram