"Bahwasanya jaminan kesehatan yang saat ini dikelola oleh BPJS Kesehatan justru menunjukkan abainya pemerintah terhadap tugas utamanya. Sebab, ada pengalihan tanggung jawab negara ke tangan rakyat dengan mekanisme penetapan premi kesehatan."
Oleh. Annisa Fauziah, S.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kisah pilu di tengah masyarakat seolah tidak pernah usai. Kali ini, video seorang pria viral beredar media sosial. Alasannya karena pria tersebut meninggal saat sedang melakukan perekaman data e-KTP untuk mengurus BPJS Kesehatan. Belakangan diketahui kejadian ini terjadi di lokasi di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Berdasarkan pemaparan dari Humas pemerintah Kabupaten Bulukumba, dijelaskan bahwa pria tersebut datang dalam kondisi sempoyongan. Sebelumnya pria tersebut sempat dirawat di RSUD Sulthan Dg Radja Bulukumba karena ada cairan di usus. Lalu, beberapa saat setelah perekaman terjatuh dan mengembuskan napas terakhirnya (Tribunnews.com, 17/03/22).
Hal ini tentu menjadi sebuah ironi. Bagaimana tidak, saat kondisi darurat terjadi, masyarakat masih harus menahan rasa sakit demi memenuhi syarat administratif yang berbelit. Tentu pemandangan ini akan berbeda dengan masyarakat berduit. Saat sakit bisa memilih kamar VVIP tanpa harus mengantre.
Kejadian seperti ini sejatinya adalah fenomena gunung es. Sebab, yang kita tahu adalah berita yang diinformasikan di media sosial dan menjadi viral. Adapun realitasnya, setiap hari pasti banyak kejadian sejenis yang menunjukkan sulitnya masyarakat menengah ke bawah untuk bisa mengakses sarana kesehatan dengan cepat.
Seolah sudah menjadi rahasia umum bahwasanya ketika menggunakan BPJS Kesehatan maka kesabaran harus ditingkatkan. Minimal, masyarakat harus bersabar mengikuti alur administrasi berjenjang untuk mengurus surat rujukan. Antrean di meja pendaftaran mungkin menjadi perjuangan awal bagi banyak masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan.
Apa yang menyebabkan akses terhadap fasilitas kesehatan menjadi sesuatu hal yang sulit di negeri ini? Lalu, benarkah pelayanan kesehatan melalui BPJS adalah bentuk kepedulian pemerintah terhadap rakyatnya?
Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kapitalisme
Jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah melalui BPJS Kesehatan seolah menjadi penyelamat agar masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Nah, apakah secara faktual demikian adanya?
Salah satu sudut pandang yang harus kita luruskan, yaitu bahwasanya jaminan kesehatan yang saat ini dikelola oleh BPJS Kesehatan justru menunjukkan abainya pemerintah terhadap tugas utamanya. Sebab, ada pengalihan tanggung jawab negara ke tangan rakyat dengan mekanisme penetapan premi kesehatan.
Alhasil, negara seperti setengah hati untuk mengurusi rakyatnya. Memang, di dalam sistem kapitalisme, tidak ada yang gratis. Bahkan, rakyat tetap harus membayar premi walaupun tidak sedang menggunakan layanan kesehatan.
Adanya BPJS yang dijadikan sarana untuk pelayanan kesehatan masyarakat nyatanya berorientasi profit. Maka, wajar jika harapan rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis hanya menjadi angan-angan. Sebab, sistem kesehatan saat ini memosisikan masyarakat bukan sebagai pihak yang harus diurusi dan dipenuhi kebutuhan dasarnya. Akan tetapi, pihak yang dipaksa untuk membayar iuran.
Dengan demikian, jikalau banyak testimoni yang mengatakan bahwa BPJS telah mempermudah rakyat mendapatkan layanan kesehatan. Namun, sejatinya semua itu tak dilakukan dengan sukarela. Bukankah rakyat hanya akan mendapatkan layanan kesehatan setelah membayar iuran BPJS? Adapun bagi rakyat yang tidak mampu membayar, pada akhirnya saat berobat tetap harus merogoh kocek sendiri.
Selain alasan administratif yang rumit, banyak masyarakat yang sudah membayar BPJS Kesehatan tidak menggunakannya untuk berobat karena tidak semua penyakit juga bisa di- cover oleh pihak BPJS Kesehatan. Tarif untuk obat-obatan, jenis tindakan, dan bahan habis pakai untuk suatu penyakit telah ditetapkan dengan sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBG’s).
Oleh karena itu, wajar jika ada pasien yang harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menebus obat yang dibutuhkan karena tidak tercakup dalam paket yang ditetapkan dalam INA-CBGs. Hal ini dilakukan agar biaya pelayanan yang diberikan tidak melebihi batas yang dapat diklaim ke BPJS. Jika yang diklaim lebih rendah maka keuntungan penyedia layanan kesehatan semakin besar.
Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan dalam sistem kapitalisme adalah sesuatu yang dikomersialisasi. Sektor kesehatan di dalam ideologi kapitalisme termasuk ke dalam jasa ekonomi (economic service). Artinya, kesehatan dan keselamatan nyawa manusia bukan lagi menjadi prioritas utama. Namun, keuntungan materi menjadi sesuatu hal yang dicari.
Melalui kebijakan BPJS ini, sebenarnya bukan hanya rakyat yang dirugikan, tetapi instansi rumah sakit hingga tenaga medis pun mengalami hal yang sama. Pasti seorang dokter akan iba melihat pasien yang tak bisa segera ditangani karena urusan administratif yang tidak lengkap. Namun, apa yang bisa diperbuat, jika kebijakan yang ada memaksanya untuk mengabaikan nurani?
Hari ini, pelayanan kesehatan yang baik hanya bisa diakses oleh kalangan berduit. Sebab, mereka bisa menggunakan akses VVIP dengan pelayanan tenaga medis, fasilitas rumah sakit, hingga obat-obatan terbaik. Namun, bagi kalangan masyarakat bawah, mereka harus menerima pelayanan ala kadarnya. Apalagi jika mereka termasuk pasien kelas tiga. Lalu, apakah masyarakat harus pasrah dengan keadaan ini?
Sistem Kesehatan dalam Naungan Sistem Islam
Potret buruknya pengurusan sistem kapitalisme terhadap masyarakat sangat kontras dengan pengurusan yang dilakukan oleh negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Di dalam Islam, keselamatan nyawa manusia tentu lebih berharga daripada keuntungan materi.
Rasulullah saw. menyatakan dalam hadisnya bahwasanya, “Imam (kepala negara) itu adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin.” (HR. Bukhari). Dengan demikian, syariat Islam menetapkan bahwa salah satu tanggung jawab negara adalah memenuhi kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat. Kebutuhan dasar tersebut adalah pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Negara tidak boleh lepas tangan apalagi mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak swasta. Syariat Islam yang bersumber dari Allah Swt. telah memberikan panduan yang sistematis terkait pengaturan kesehatan di tengah masyarakat.
Perhatian negara tidak hanya berfokus kepada aspek kuratif terhadap suatu penyakit saja. Akan tetapi, tindakan preventif pun sudah diterapkan melalui kebijakan yang ditetapkannya. Salah satunya, yaitu dengan menyiapkan fasilitas kesehatan yang memadai serta tenaga kesehatan yang mumpuni.
Tak lupa riset dikembangkan dengan baik untuk menopang optimalisasi pengurusan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat bisa mendapatkan pengobatan dan perawatan yang komprehensif tanpa harus pusing memikirkan syarat administratif dan biaya perawatan.
Pelayanan kesehatan yang prima tentu sangat bergantung kepada anggaran negara. Di dalam sistem Islam, pembiayaan sektor kesehatan bersifat mutlak. Artinya, negara harus memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat bukan dibatasi oleh persentase tertentu.
Pengaturan tersebut dilakukan oleh Baitul Mal. Negara akan mengelola seluruh sumber daya alam dan harta milik umum, seperti barang tambang, hasil laut, hutan, dan sebagainya. Hal ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, negara jelas akan melarang privatisasi harta milik umum.
Syariat Islam menetapkan bahwasanya sektor kesehatan tidak boleh dikapitalisasi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, di dalam praktiknya, sistem kesehatan harus dikelola dengan prinsip pelayanan dengan pembiayaan langsung dari negara. Rakyat pun bisa mengakses layanan kesehatan secara gratis tanpa persyaratan administrasi yang rumit.
Khatimah
Kejadian ini menunjukkan bahwa di dalam sistem kapitalisme sekuler, pelayanan kesehatan yang prima hanya bagi segelintir orang saja. Sebab, kesehatan pun dikomersialisasi. Oleh karena itu, pemenuhan kesehatan masyarakat secara utuh hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Bukankah kita rindu dengan hadirnya negara yang mengurusi rakyatnya dengan sepenuh hati? Maka, sudah saatnya kita kembali kepada syariat-Nya agar Allah Swt. menurunkan berkah dari langit dan bumi.
Wallahu ‘alam bi-shawab[]