Wajibkah Menaati Pemimpin yang Zalim?

Dari sejarah kita belajar, bagaimana kita harus bersikap kepada penguasa yang zalim. Firaun adalah raja yang zalim kepada rakyatnya, maka Allah mengutus Nabi Musa untuk memberi peringatan kepada Firaun. Ini menjadi dalil bagi kita bahwa kita tidak boleh diam dan taat kepada penguasa yang zalim. Seandainya, wajib menaati penguasa yang zalim tentu Allah akan menyuruh Nabi Musa untuk bersabar dan taat bukan memberi peringatan.

Oleh. Rosmita
(Aktivis Dakwah dan Anggota AMK)

NarasiPost.Com-“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Nabi saw. bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat kepada mereka.” (HR. Muslim)

Hadis di atas menjadi dalil bagi Habib Husein Baagil untuk menaati pemerintah. Beliau menegaskan bahwa dirinya adalah orang yang propemerintah. Bahkan bila pemerintah menetapkan kebijakan yang benar atau salah, ia akan tetap membelanya. Hal ini disampaikan saat menjadi bintang tamu pada acara podcast Deddy Corbuzier pada Selasa (1/3/2022)

Pertanyaannya, benarkah kita wajib menaati pemimpin meskipun ia zalim?

Perintah taat kepada pemimpin, terdapat dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 59:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِيۡـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيۡـعُوا الرَّسُوۡلَ وَاُولِى الۡاَمۡرِ مِنۡكُمۡ‌ۚ فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِىۡ شَىۡءٍ فَرُدُّوۡهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوۡلِ اِنۡ كُنۡـتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَـوۡمِ الۡاٰخِرِ‌ ؕ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ وَّاَحۡسَنُ تَاۡوِيۡلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Bila kita perhatikan pada ayat di atas, kata Allah dan Rasul didahului oleh kata athii'uu (taatilah) yang maknanya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak. Apa pun yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka wajib bagi kita menaatinya. Sedangkan kata ulil amri tidak didahului oleh kata athii'uu (taatilah) artinya ketaatan kepada seorang pemimpin tidak mutlak. Kalau pemimpin tersebut taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita wajib menaatinya. Namun, bila pemimpin tersebut tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita tidak wajib menaatinya. Kemudian pada kalimat berikutnya dalam ayat di atas berisi perintah, apabila kita berbeda pendapat, maka kita harus kembali kepada Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur'an dan sunah). Sudah jelas bahwa ketika seorang pemimpin menyalahi aturan Allah dan Rasul-Nya, kita harus kembali kepada Al-Qur'an dan sunah bukan tetap taat kepada pemimpin yang zalim tersebut.

Lalu bagaimana kedudukan hadis di atas?
Sebuah hadis boleh dijadikan hujah atau diambil hukumnya apabila hadis tersebut adalah hadis mutawatir, hadis sahih, hadis hasan sahih dan hadis hasan.

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak hingga tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Karena terdapat banyak perawi dalam tiap tingkatan sanadnya.

Sedangkan syarat hadis sahih adalah sanadnya harus bersambung, perawinya adil dan cermat, hadisnya tidak syadz, dan tidak terkena illat.

Apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka hadis tersebut tidak bisa dikatakan sahih dan tidak boleh diamalkan.

Dari segi sanad hadis di atas sanadnya terputus karena perawinya dari kalangan tabi'in yaitu Abu Sallam, beliau tidak pernah mendengar langsung hadis tersebut dari Hudzaifah bin Al Yaman, maka kedudukan hadis tersebut adalah mursal. Hadis mursal menurut kebanyakan ulama adalah merupakan bagian dari hadis dhaif. Imam Muslim berkata di dalam Muqaddimah Ash Shahih, "Riwayat yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadis tidak dapat menjadi hujah".

Kemudian dari segi matan (isi hadis), hadis tersebut syadz karena bertentangan dengan Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 59 dan ayat lain tentang kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar. Kemudian berlawanan juga dengan hadis lain yang kedudukannya lebih kuat daripadanya. Contoh hadis tentang perintah mencegah kemungkaran.

"Siapa saja di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia cegah dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, hendaklah mencegah dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim)

Bahkan dikatakan dalam hadis lain bahwa: "Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR.Abu Daud)

Artinya kita tidak boleh diam apalagi taat saat penguasa melakukan kezaliman. Kita wajib mengingatkan, tetapi bila sudah diingatkan tetap tidak mau menerima, maka kita boleh mendoakan kesukaran kepada penguasa yang zalim. Sebagaimana Rasulullah saw. mendoakan kesusahan bagi penguasa yang menindas umat beliau. "Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah dia."

Sejatinya, pemimpin dalam Islam adalah perisai yang akan melindungi darah, harta dan kehormatan kaum muslimin. Namun, bila ada pemimpin yang berbuat zalim, menumpahkan darah dan merampas harta kaum muslimin. Apalagi sampai menyuruh berbuat maksiat, maka hilanglah kewajiban untuk taat. Malah wajib bagi para ulama dan orang-orang berilmu untuk menasihati dan mengkritik penguasa agar tetap amanah dan tidak salah arah.

Dari sejarah kita belajar, bagaimana kita harus bersikap kepada penguasa yang zalim. Firaun adalah raja yang zalim kepada rakyatnya, maka Allah mengutus Nabi Musa untuk memberi peringatan kepada Firaun. Namun, karena kesombongannya dia tidak mau menerima kebenaran bahkan ingin membunuh utusan Allah, akhirnya Allah azab dia dengan menenggelamkannya di Laut Merah. Kisah ini tercantum dalam Al-Quran surah An-Naziat ayat 15-26.

Masih banyak ayat lain yang membahas secara rinci kisah Firaun. Ini menjadi dalil bagi kita bahwa kita tidak boleh diam dan taat kepada penguasa yang zalim. Seandainya, wajib menaati penguasa yang zalim tentu Allah akan menyuruh Nabi Musa untuk bersabar dan taat bukan memberi peringatan.

Kita tidak boleh salah kaprah dalam memahami suatu nas yang berujung kepada cacat logika. Kalau hadis tersebut benar tentu tidak akan bertentangan dengan Al-Quran dan hadis lain.
Wallahu'alam bissawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Rosmita Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Elegi Kematian
Next
Aku yang Biasa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram