"Terpilihnya Yoon Suk Yeol dalam kontestasi pemilu ini menandakan satu hal, bahwa pihak yang kontra terhadap feminisme di Korea Selatan bukanlah pihak “minoritas”. Hal ini juga berarti bahwa ide feminisme di sana bukan sesuatu yang mendapat sambutan luas dari publik. Fakta ini menjadi menarik, karena akhirnya ada anggapan yang bergulir bahwa justru dengan sedikitnya orang yang menyetujui dan mendukung feminisme di Korea Selatan, maka angka diskriminasi terhadap perempuan masih terbilang tinggi."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)
Narasipost.Com-Masalah perempuan memang selalu menarik untuk dijadikan sebagai topik diskusi. Dari masa ke masa, pandangan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua di bawah laki-laki selalu ada yang menjaganya dan balik dimanfaatkan untuk kepentingannya sendiri. Efek yang dihasilkan pun besar. Masyarakat yang menelan pandangan tersebut tanpa dipikirkan secara mendalam, akhirnya tersetir oleh ide-ide yang menyuarakan isu tersebut.
Korea Selatan adalah salah satu negara yang isu terkait perempuannya cukup panas di setiap waktu. Sebut saja, dengan adanya gerakan #MeToo yang menyuarakan tentang pelecehan seksual terhadap perempuan di lingkungan kerja dan masalah comfort women yang membahas mengenai tuntutan para perempuan Korea Selatan yang mengalami perbudakan seksual di masa perang dulu. Dua isu ini boleh disebut selalu meramaikan media dengan berbagai tajuk.
Tak hanya itu, negara ini juga tak jarang disorot terkait standar kecantikan yang ada di tengah masyarakatnya, terlebih dengan banyaknya girlband yang membentuk stereotip perempuan cantik. Tak lupa juga isu depresi yang berujung pada tingginya angka bunuh diri di kalangan perempuannya. Semua itu membuat tidak sedikit kalangan di Korea Selatan merasa perlunya pengarusutamaan kesetaraan gender dan feminisme di sana. Bahkan, pemerintahannya memiliki kementerian khusus untuk menyasar isu-isu tersebut, yakni Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga.
Hanya saja, baik pemikiran feminis maupun kesetaraan gender, di mana-mana memang selalu diwarnai oleh kontroversi serta pro dan kontra, tak terkecuali di negeri “sejuta girlband” ini. Haluan politik dari pucuk kekuasaan juga akan sangat bisa memengaruhi bagaimana realisasi dari konsep-konsep tersebut dan dampaknya terhadap kaum perempuan. Dari pengalaman kekuasaan di negeri Ginseng itu, presiden yang menjabat sebelumnya hampir dapat dikatakan semuanya menyetujui pentingnya ide feminisme. Mereka merasa feminisme dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah perempuan di sana.
Tapi, melalui pemilu mutakhirnya, Korea Selatan kini dipimpin oleh sosok yang dalam kampanyenya lantang mendeklarasikan diri sebagai antifeminisme. Yoon Suk Yeol bahkan menjanjikan bahwa ia akan menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, karena dirasa sebagai kementerian yang tidak adil terhadap laki-laki dan paling tidak berguna selama ini. Ia juga berjanji akan menambah denda atas laporan kejahatan seksual yang palsu (CNN, 10/3/22). Dengan sikap Suk Yeol itu, berbagai suara mulai terkumandang, yang ternyata dominan diwarnai oleh kekhawatiran akan nasib para perempuan di bawah kekuasaannya.
Meski demikian, terpilihnya Yoon Suk Yeol dalam kontestasi pemilu ini menandakan satu hal, bahwa pihak yang kontra terhadap feminisme di Korea Selatan bukanlah pihak “minoritas”. Hal ini juga berarti bahwa ide feminisme di sana bukan sesuatu yang mendapat sambutan luas dari publik. Fakta ini menjadi menarik, karena akhirnya ada anggapan yang bergulir bahwa justru dengan sedikitnya orang yang menyetujui dan mendukung feminisme di Korea Selatan, maka angka diskriminasi terhadap perempuan masih terbilang tinggi.
Anggapan yang demikian dapat dikatakan sebagai anggapan yang sempit, karena terkesan menafikan sebab-sebab lain yang bisa memengaruhi tingginya angka diskriminasi terhadap perempuan. Misalnya, masalah ideologi yang dijalankan oleh Korea Selatan selama ini, yakni kapitalisme yang diwarnai ruh sekuler dan menyebabkan kebebasan individu di Korea Selatan sangat terasa, disebut sebagai invisible cause atau sebab yang tidak terlihat dari berbagai masalah yang menimpa perempuan.
Sekularisme yang berkolaborasi secara apik dengan liberalisme akhirnya memunculkan problematika kehidupan yang pelik bagi perempuan, tak hanya di Korea Selatan, tapi di banyak tempat di muka bumi hari ini, mulai dari diskriminasi, pelecehan seksual, hingga monetisasi dan kapitalisasi sisi keperempuanan.
Meski memiliki pandangan politik yang antimainstream dengan presiden sebelumnya, Suk Yeol masih mewarisi sekularisme yang mengakar kuat di Korea Selatan sejak lama. Ciri khas sekularisme yang menempatkan rasio manusia di atas segalanya karena menampik otoritas agama dan tuhan menjadi pelanggeng masalah-masalah perempuan. Hal ini disebabkan karena sekularisme ketika menyelesaikan suatu permasalahan, ia hanya menyasar apa yang tampak saja tanpa menyentuh akar masalahnnya, persis seperti sejarah kelahiran sekularisme di Barat dahulu.
Sebagai insan beragama, terlebih umat Islam, penting untuk memahami bahwa masalah yang terjadi atas perempuan di peradaban hari ini, bukan sekadar dipengaruhi oleh penguasanya yang mendukung feminisme atau malah antifeminisme. Yang antifeminisme tidak akan bisa memberikan solusi komprehensif terhadap perempuan, begitu pun yang menjadikan kampanye feminisme sebagai agenda utamanya, jika keduanya masih bermufakat untuk menjadikan sekularisme sebagai landasan dalam menjalani kehidupan di berbagai aspek. Mengapa? Tak lain dan tak bukan, karena sekularisme memangkas bahkan meniadakan kemahaan Allah Swt. sebagai pencipta dan pengatur kehidupan umat manusia, baik di negeri “sejuta girlband” maupun di negeri-negeri lainnya. Allahu a’lam bisshawwab.[]