Logo Halal Antimainstream, demi Syariah atau Rupiah?

"Bila kita cermati lebih dalam, direduksinya kewenangan MUI merupakan konsekuensi dari amanat UU Omnibus Law. Bahwasanya, pengetatan regulasi halal dilonggarkan dengan perubahan pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH. Di satu sisi, tampak keberpihakan pada pelaku usaha mikro. Namun di sisi lain, ada potensi yang dilirik pemerintah sebagai peluang investasi. Pasalnya, saat ini produk halal telah bertransformasi sebagai lahan bisnis yang menguntungkan."

Oleh. Witta Saptarini, S.E

NarasiPost.Com-Sudah lebih dari 30 tahun lamanya logo halal MUI melekat di benak masyarakat Indonesia. Namun, belum lama ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag), telah menyosialisasikan logo halal terbaru yang berlaku secara nasional. Label dengan desain yang terkesan antimainstream ini memiliki filosofi yang mencerminkan kearifan dan budaya lokal.

Bila dilihat dari khat halalnya tampak samar, alias tidak merepresentasikan kemurnian nilai Islam. Justru, semakin menunjukkan kemunduran peradaban. Karena, khat atau kaligrafi merupakan produk dari peradaban Islam. (kompas.com, 14/3/2022)

Bagaimana tidak dikatakan antimainstream, perbedaan yang amat mencolok terpampang nyata dibandingkan dengan logo sertifikasi halal negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang notabene bukan negara dengan jumlah populasi muslim terbanyak di dunia. Meski yang terpenting adalah esensi tata nilai Islamnya, namun dari segi pendekatan kreatif pembuatan logo, mereka tetap mengedepankan seni menulis indah dalam Islam yang benar. Sebut saja negara Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, serta Myanmar. (viva.co.id, 13/3/2022)

Alasan Pemerintah di Balik Pergantian Logo Halal

Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 dan PP Nomor 39 tahun 2021, mendelegasikan kepada BPJPH untuk membuat label halal yang berlaku secara nasional. Maka, Undang-Undang jaminan produk halal yang diresmikan tahun 2014 silam ini telah sah menyatakan bahwasanya otoritas sertifikasi halal yang sebelumnya menjadi wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini beralih di bawah Kementerian Agama. Maka, terhitung 17 Oktober 2019 MUI tidak lagi berwenang mengeluarkan label halal pada produk makanan dan minuman. Pemerintah pun memberikan waktu hingga tahun 2026 untuk masa penyesuaian dan sosialisasi. Kemudian, penetapan lebel halal yang tertuang pada keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 tahun 2022 berlaku efektif mulai 1 Maret 2022.

Seperti yang dijelaskan Menteri Agama, Yakut Cholil Qoumas, bahwa label halal yang diterbitkan MUI tidak akan berlaku lagi secara bertahap. Namun, dengan adanya pelimpahan wewenang ini, BPJPH Kementerian Agama tetap melibatkan MUI dan LPH dalam proses sertifikasi halal. Di mana kewenangan MUI yakni menetapkan fatwa kehalalan sebuah produk. Sedangkan kewenangan LPH adalah mengaudit dan menguji kehalalan produk secara scientific.

Sertifikasi Halal Versi Pemerintah

Memang sudah semestinya otoritas halal menjadi wewenang negara. Jelas, hal ini telah membantah apa yang pernah dinyatakan sang penguasa, bahwa agama dan negara harus dipisah. Tentu saja, untuk menegakkan aturan agama perlu kebijakan politik. Namun, sinyal kuat cengkeraman sistem saat ini belum juga padam, malah semakin menguatkan upaya sekularisasi terhadap Islam.

Ketika isu ini digulirkan kepada rakyat, tak sedikit kritik datang dari berbagai kalangan, agar pergantian label baru tidak mengaburkan substansi halal produk. Pun ada banyak sekali kecurigaan, bahwa pergantian logo ini memiliki kesan kuat akan proyek moderasi beragama yang diusung sistem kapitalisme. Sebagaimana masifnya kebijakan terkait pengeras suara masjid.

Seperti yang kita pahami, sistem kapitalisme adalah sistem yang meluhurkan nilai materi. Sudah bisa dipastikan jika semua ini dilakukan atas nama kepentingan dan uang alias bukan demi syariat, melainkan demi rupiah, dengan tujuan untuk melanggengkan entitas sistemnya.

Perlu kita ketahui, sederet polemik pun muncul terkait sertifikasi halal selama dalam wewenang MUI. Di antaranya, ketatnya alur sertifikasi yang tidak dikehendaki para pelaku bisnis, kemudian dinilai sebagai ladang bisnis dalam bentuk monopoli label halal, keluhan para pelaku usaha mikro akan mahalnya biaya sertifikasi, serta terkait transparansi pengelolaan dana sertifikasi halal turut mewarnai polemik. Bila kita cermati lebih dalam, direduksinya kewenangan MUI merupakan konsekuensi dari amanat UU Omnibus Law. Bahwasanya, pengetatan regulasi halal dilonggarkan dengan perubahan pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH. Di satu sisi, tampak keberpihakan pada pelaku usaha mikro. Namun di sisi lain, ada potensi yang dilirik pemerintah sebagai peluang investasi. Pasalnya, saat ini produk halal telah bertransformasi sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Ditambah budaya konsumerisme yang terus menjamur di negeri ini. Terang saja, regulasi ini sejalan dengan proyek pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH) yang sedang digarap pemerintah, serta upaya pemerintah membangun basis produksi halal dunia. Sekaligus menunjukkan pada dunia bahwa negeri ini ramah investasi.

Logo teranyar yang diklaim sebagai bentuk autentik dari sertifikasi halal pemerintah ini, apakah secara substansi sesuai dengan syarak? Faktanya, hal ini menuai banyak kritik karena kuatnya esensi politis. Sebab, bagi kaum muslim standar perbuatan tak cukup legal dan ilegal, namun halal dan haram. Bila dikaitkan, menghilangkan segala hal yang menghambat investasi menjadi asas utama terciptanya Omnibus Law. Maka, jika peluang investasi menjadi pertimbangan dalam labelisasi halal pangan, bukan tidak mungkin standar halal haram menjadi bias. Inilah karakter sistem demokrasi kapitalis, menjadikan segala sesuatu sebagai peluang bisnis untuk mengeruk keuntungan besar. Menempatkan korporasi sebagai pihak yang selalu diuntungkan, namun memosisikan rakyat sebagai korban.

Halal dan haram adalah kebutuhan dasar bagi umat muslim. Label halal ini ditujukan untuk produk-produk yang disertifikasi oleh BPJPH. Di mana terdapat nomor sertifikasi, registrasi, dan logo. Sehingga, konsumen diharapkan merasa terlindungi, aman, serta produk yang dikonsumsi sudah dipastikan kehalalannya. Benarkah demikian? Faktanya, sampai hari ini bercampurnya produk halal dan haram seperti di cafe, restaurant, bakery masih kerap dijumpai. Seperti halnya penggunaan sake, angciu, marinasi wine, mirin, dan rum. Alhasil, menjadikan status produk dan tempatnya terkesan abu-abu. Celakanya, grey area ini menjadi tempat yang lumrah dikunjungi.

Tak heran, sebab negeri ini pun masih memberi ruang bagi peredaran minuman beralkohol, meski dibatasi dan dipayungi regulasi, artinya tetap saja difasilitasi. Betapa miris negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini, kekhawatiran akan zat haram masih pekat mewarnai. Karena, lemahnya penerapan sistem yang bersumber dari otoritas manusia, berimplikasi pada peri’ayahannya yang bersifat parsial serta mengeliminasi peran agama. Walhasil, masih saja menormalisasi zat haram yang peruntukkannya jelas dilarang dalam Islam. Maka, sudah bisa dipastikan, bagaimana perjalanan terkait sertifikasi halal jika dalam kendali pemerintah dengan sistem kapitalismenya. Tak lain, segala sesuatunya dilakukan atas nama materi. Di mana agama dipisahkan dari negara, politik, dan kehidupan. Sehingga, tidak menginterpretasikan aturan Islam dengan benar alias bertentangan dengan syarak.

Islam dalam Institusi Menyikapi Kehalalan Pangan yang Beredar di Masyarakat

Sistem demokrasi telah mempertaruhkan standar halal sesuai syariat atas nama profit. Peran ulama hanya sekadar badan legislasi sertifikasi halal. Namun, tidak sebagai pengawal dan penunjuk arah kebijakan negara agar tetap berada di jalur syariat. Fatwa ulama digunakan jika dianggap menguntungkan rezim, bukan dijadikan acuan solusi masalah negeri. Padahal ulama adalah lentera-lentera yang menerangi, memberi petunjuk, dan hujjah Allah di atas bumi.

Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda dalam suatu hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, “Bani Israil diurus oleh para Nabi, di mana para Nabi ini mengurus semua urusan mereka yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, menentukan apa pun bagi mereka, ketika satu Nabi wafat maka digantikan oleh Nabi yang lain.” Di mana makna hadis ini yakni kepengurusan yang tidak bersifat kosong.
Ketika isu ini bergulir, mengapa terjadi polemik ? Apakah rakyat sudah tidak memercayai penguasa? Perbedaan pandangan akan kehalalan suatu produk dapat membingungkan dan menumbuhkan rasa kekhawatiran publik. Apalagi, wewenang MUI yang telah dipangkas. Bisa memicu munculnya beragam versi halal alias multitafsir. Maka, ketiadaan peran negara sebagai penghilang perbedaan merupakan akar penyebabnya.

Karena, dalam Islam fungsi penguasa adalah mengurus urusan umat ri‘ayah syu’unil ummah, sehingga rakyat bisa memenuhi kebutuhan dasarnya maupun pelengkap. Maka, jika negeri ini menerapkan aturan Allah, kita bisa melihat idealnya Islam. Bahwasanya, yang berperan mengatur seluruh urusan umat termasuk urusan kehalalan pangan adalah penguasa.

Manakala idealisme itu terjadi dalam arti syariat telah diterapkan, maka negaralah yang meregulasi makanan yang beredar dalam negeri itu. Sehingga negara menjamin makanan yang dijual bebas di negeri itu adalah makanan yang dipastikan mutu dan kehalalannya. Sebab jaminan halal adalah hajat publik yang bersifat vital dan membutuhkan peran sentral negara. Pun kesesuain kebijakan dengan syariat dan kemaslahatan umat adalah perhatian utama dalam Islam. Kebijakan yang selalu disandarkan pada syariat Islam hanya akan terwujud di bawah institusi Khilafah Islamiah.

Kemampuannya memberi jaminan halal bagi rakyat adalah bentuk tanggung jawab negara Khilafah sebagai pelayan urusan rakyat.
Maka, bisa kita simpulkan, terjadinya polemik di tengah umat terkait pelimpahan wewenang sertifikasi halal ini, karena kesadaran umat untuk berhukum pada syariat sudah sangatlah kuat. Sebab, selama ini umat tidak melihat adanya idealisme pada pemerintah. Umat pun telah menyaksikan betapa minimnya pemahaman penguasa terhadap Islam yang benar. Jadi, idealnya dalam Islam, tugas penguasa adalah memastikan kehalalan makanan yang beredar sebagai bentuk kepengurusan. Maka, penguasa hari ini harus menyadari bahwa pengurusan umat berbasis pada kepercayaan umat terhadap penguasanya. Wallahu a’lam bish-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Witta Saptarini S.E Kontributor Narasipost.Com
Previous
Keliru Pengelolaan SDA, Liberalisasi Akan Terus Ada
Next
Negara Penting Tuntaskan Stunting
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram