Selama kapitalisme menjadi nafas negara, kemandirian politik, kemapanan ekonomi hingga impian kesejahteraan penduduknya hanya sebuah fatamorgana di tengah gurun pasir.
Oleh : Rita Handayani (Pengamat Kebijakan Publik Dan Praktisi Literasi)
NarasiPost.Com – ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, merupakan organisasi kawasan yang mewadahi kerjasama 10 negara di Asia Tenggara. Sepuluh negara ini adalah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Zona ASEAN sangat strategis karena menjadi jalur lintas perdagangan dunia antara negara-negara di asia timur dari negara-negara di Eropa, Afrika, Timur tengah, dan India. Untuk itulah wilayah ini selalu menjadi primadona terutama bagi negara-negara adidaya seperti Amerika dan Cina.
Telah terikat perjanjian kerjasama antara negara kawasan ASEAN dengan Cina dan Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, juga Australia dalam RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), yang ditandatangani secara virtual pada Minggu (15/11/2020). Sejatinya ini adalah penodaan terhadap negara-negara ASEAN. Baik secara ekonomi maupun politik.
Karena kedudukan negara-negara ASEAN sebagai negara yang tidak mandiri hanya menjadi alat memuluskan kepentingan negara besar yang merupakan penjajahan gaya baru baik di bidang ekonomi maupun politik. Bahkan perjanjian ini dinilai minim perlindungan terhadap tenaga kerja, hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Maka, India keluar karena khawatir akan barang-barang murah Cina yang nantinya memasuki negara itu. Sebuah tindakan yang tepat sebab Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) ini dipandang sebagai cara China dalam memperluas pengaruh dan dominasinya terhadap perdagangan Asia. (CNBCIndonesia.com, 16/11/2020)
RCEP Senjata baru penjajahan
RCEP atau Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional ini adalah fakta perdagangan besar yang diusulkan oleh ASEAN untuk meningkatkan perdagangan di antara negara-negara anggotanya plus mitra perjanjian perdagangan bebas (FTA). 15 Negara peserta RCEP menyumbang sekitar 30% dari populasi global, produk domestik bruto (PDB) global, dan 28% perdagangan global. (Kontan.co.id, 17/11/2020)
Bagi negara-negara ASEAN fakta tersebut merupakan peluang besar untuk memulihkan ekonomi yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 yang belum tuntas hingga kini. Namun bagi Cina perjanjian ini menjadi cara efektif untuk mendikte aktivitas perdagangan di Asia Pasifik. Maka strategi regionalisme ini bisa dijadikan sebagai alat untuk mempercepat penguasaan wilayah/kawasan oleh negara besar. Sehingga RCEP bisa saja memberikan keunggulan untuk ambisi geopolitik Cina.
Disinyalir bahwa peresmian blok perdagangan baru Asia-Pasifik, bukan signal perbaikan kondisi ekonomi negara ASEAN. Tapi lebih besar menjadi alat penjajahan ekonomi bagi Cina.
Padahal, negara-negara ASEAN yang letaknya strategis ini mampu menjadi kekuatan besar yang mengguncang dunia baik secara ekonomi maupun geopolitik. Terutama tiga negara ASEAN yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura.Terlebih Indonesia yang menguasai jalur perdagangan dengan lima samudra, memiliki banyak pulau, dan luas wilayah yang kaya sumber daya alam.
Namun, entah disadari ataupun tidak atas potensi yang mereka miliki. Nyatanya Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya terombang-ambing diantara dua negara besar Amerika dan Cina. Inilah keharusan yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan oleh Indonesia dan dunia.
Selama kapitalisme menjadi nafas negara, kemandirian politik, kemapanan ekonomi hingga impian kesejahteraan penduduknya hanya sebuah fatamorgana di tengah gurun pasir.
Selamatkan ASEAN dengan Syariah
Syariah Islam adalah satu-satunya sistem aturan yang mampu menandingi kepongahan sistem kapitalisme maupun komunisme. Demikianlah Sejarah emas peradaban Islam telah menorehkan tintanya bahwa AS pernah tak berdaya di bawah Khilafah Turki Utsmani.
Pada tahun 1793, armada laut AS kembali lagi memasuki wilayah laut Khilafah, dan kali ini 12 kapal AS pun kembali ditangkap. Menanggapi hal ini, kongres Amerika memberikan mandat pada Presiden Washington, pada bulan Maret 1794, untuk membelanjakan hingga 700.000 koin emas untuk membangun armada angkatan laut yang lebih kuat yang terbuat dari baja. Namun kapal-kapal tersebut dilaporkan berhasil ditenggelamkan semuanya dalam perang laut melawan armada laut kekhalifahan Turki.
Setahun setelah kejadian itu, pada 1795, Amerika menandatangani perjanjian Barbary dengan Negara Khilafah. Kata Barbary merujuk pada governorat Afrika Utara untuk wilayah Aljazair, Tunisia dan Tripoli, yang berada di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah.
Khilafah berhasil menekan AS yang harus mau membayar lebih kurang 30 kali lipat perkiraan uang yang harus dibayar sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian. Pasalnya, biaya kapal-kapal yang terbuat dari baja, biaya untuk tiang-tiangnya dan papan-papan baja yang berat, sangatlah besar biayanya.
Sejarah akan berulang itu keniscayaan. Khilafah Islamiyah akan kembali tegak itu kepastian. Lantas, siapakah yang siap untuk menjadi negara adidaya selanjutnya yang mampu membuat Amerika dan Cina akan bertekuk lutut dibawah hegemoninya?
Hanya dengan Islam yang berdaulat penuh dengan Rahmat Allah Swt di dalamnya, yang mampu membentuk negara adidaya dengan kekuatan independen. Wallahu a'lam bishshawab []
Pictures by google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]