"Sembari menunggu jodoh, tetap harus ada usaha dan ikhtiar berupa ketaatan kepada Allah Swt., bukan dengan cara berpacaran yang jelas diharamkan, tetapi sabar dalam taat adalah solusi bagi orang yang beriman dan tentu saja memanjatkan doa tiada henti agar Allah memberi teman hidup terbaik nan salih."
Oleh. Isti Shofiah
NarasiPost.Com-"Aku akan menunggumu. Tepat usiaku 25 tahun nanti, aku akan melamarmu."
Tujuh tahun lalu, lelaki tinggi itu mengucapkan janjinya setelah Rara memutuskan hubungan keduanya. Selama tiga tahun berpacaran, tak sekali pun lelaki itu memboncengnya ketika naik motor, sentuhan pun hanya berupa pegangan. Ketika ditanya mengapa maka lelaki itu akan menjawab bahwa belum saatnya. Saat itu Rara tak paham maksudnya. Namun, sikap dewasa lelaki tersebut yang membuatnya luluh meski tak seperti pacaran pada umumnya.
Namun, setelah Rara memutuskan hijrah, perlahan Rara mulai mempelajari Islam lebih mendalam. Dan ia dapati, bahwa mendekati zina saja dilarang apalagi pacaran, meski di dalamnya tak melakukan apapun, tetap saja pacaran merupakan gerbang menuju kemaksiatan. Karena itulah, ia memutuskan Alfin, lelaki yang begitu ia cintai.
"Jangan memberi harapan jika kamu sendiri tak yakin bisa mewujudkannya." Jawab Rara kala itu. Sebenarnya jauh dalam lubuk hati, ia mengamini janji itu. Tercipta harapan kelak Alfin akan benar-benar melamar dan menjadi imamnya. Jodoh memang rahasia Allah, manusia hanya berusaha untuk selalu taat kepada-Nya agar diberi jodoh terbaik.
Rara menghentikan aktivitasnya mengedit video, jemarinya menggeser kursor pada album foto tujuh tahun silam. Foto kebersamaan yang masih tersimpan. Ia tak memandang keseluruhan foto, hanya memandang seseorang di antara teman-temannya dalam foto itu, seseorang yang dulu pernah menemani, yang kini hanya mengisi ruang rindu di hatinya. "Astaghfirullah," gumamnya dengan mengelus dada yang terus berdebar saat rindu terasa.
Rara selalu menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas di kampus. Selain belajar, ia juga aktif menjadi bagian dari lembaga dakwah kampus. Ia pun terus mengasah potensi yang dimilikinya. Fotografi dan videografi merupakan hobinya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Makanya ia selalu senang mendapat amanah mengabadikan setiap kegiatan dakwah di kampusnya. Bahkan ia sengaja membuat channel YouTube yang berisi konten dakwah. "Aku hanya ingin berkontribusi dalam dakwah dengan kemampuan yang ku miliki." Begitu alasannya.
Dengan kesibukan itu, Rara berharap mampu memudarkan rasa yang telah lama bersemayam. Rasa yang harus segera dikikis karena belum waktunya. Namun, ternyata rindu masih saja terasa walau sekadar ingin tahu bagaimana kabarnya. Rara hanya bisa menggigit bibir bawah menahan rindu yang bergejolak. Berkali-kali istigfar terucap agar mampu menetralkan hatinya yang kian memanas saat mengingatnya. Rupanya masih tersimpan harapan yang pernah tercipta di hatinya. Harapan akan janji seseorang di masa lalu. Namun, Rara terus meyakinkan diri bahwa hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu, termasuk jodoh. Mencoba ikhlas atas segala ketentuannya kelak. "Jangan terlalu berharap, Ra," gumamnya dalam hati.
Dulu sebelum Rara memutuskannya, lelaki yang dicintainya itu selalu mengunjunginya setiap sebulan sekali. Ya, mereka terpisah jarak. Setelah lulus SMA, keduanya tak lagi satu kota. Rara melanjutkan studinya di Kota Malang. Sedangkan Alfin memilih bekerja di salah satu pabrik di Pasuruan. Lelaki yang usianya hanya terpaut satu tahun di atas Rara itu beralasan tak mau membebani orang tuanya lagi untuk kuliah. Oleh karena itu, ia memilih bekerja dulu untuk biaya kuliahnya nanti. Sikap dewasanya itu yang selalu membuat Rara nyaman. Namun, hubungan itu tak berlangsung lama. Tepat di akhir semester satu, hubungan keduanya berakhir.
Drrrrrttt..drrrrttt…drrrrttt..
Lamunan Rara terhenti saat handphone yang berada di sisi kiri layar komputernya bergetar. Tak lama ia mengangkat telpon dari ibunda tercinta.
"Assalamualaikum, Bunda.."
"Wa'alaikumsalam, duh anak bunda satu ini kapan balik, Nduk? Gak kangen apa sama bunda?"
Rara tersenyum mendengar bundanya yang terus menerus mendesaknya pulang kembali ke Pasuruan. Wajar saja, Rara adalah anak bungsu dari empat bersaudara dan satu-satunya anak perempuan di keluarganya, sudah pasti menjadi kesayangan. Tujuh tahun Rara menetap di kota Malang untuk menempuh pendidikan. Tak mudah saat ia merayu bunda untuk mengizinkannya kuliah di kampus impiannya. Pasalnya, kampus yang dituju di luar kota. Bunda yang tak pernah berpisah lama dengan putri kesayangannya merasa sangat berat dan khawatir. Rara terus meyakinkan dan akhirnya bunda luluh, mengizinkan Rara kuliah di Malang.
Gadis berkacamata yang tengah menyelesaikan tesisnya itu hanya bisa pulang saat liburan semester, sedangkan weekend di hari-hari biasa selalu diisi dengan mengikuti kajian-kajian keislaman di kampusnya. Jika sudah begitu, bunda dan kakak-kakaknya yang bergantian mengunjunginya.
"Ya kangenlah, Bun. Kangen banget. Doain Rara ya, Bun. Bentar lagi selesai kok."
"Iya, bunda selalu doain semoga cepat lulus dan ketemu jodohnya."
Selalu. Bundanya tak henti-hentinya membahas perihal jodoh. Padahal Rara masih berusia 24 tahun. Namun, di kampungnya usia tersebut bagi perempuan dikatakan sudah telat menikah. Dan benar saja, hanya Rara yang belum menikah di antara teman SD-nya. Bahkan teman-teman SD-nya sudah memiliki anak usia TK dan SD.
"Aamiin Ya Allah. Makasih ya, Bun." Rara paham arah pembicaraan ini nantinya bermuara pada perjodohan. Beberapa kali bundanya mengenalkan lelaki, hanya saja belum jodoh. Semuanya berakhir di tengah jalan. Tak ingin memperpanjang pembahasan dengan jawaban lain, Rara cukup mengamini saja.
Sebenarnya, selain perjodohan dari bundanya, Rara juga sudah beberapa kali menjalani taaruf dengan bantuan ustazahnya. Namun, lagi-lagi berakhir. "Belum jodoh", mantra yang selalu Rara ucapkan untuk melapangkan dada agar lebih sabar.
Sebulan pasca wisuda. Rara memenuhi janjinya ke bunda untuk kembali ke kota kelahiran. Perjalanan yang memakan waktu empat jam membuat Rara kesal. Pasalnya, jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan waktu dua jam bisa sampai empat jam karena kemacetan yang semakin parah, padahal dibangunnya tol katanya agar tidak macet, toh sama saja.
Rumah berukuran sedang bercat putih kombinasi gold dengan taman kecil di sisi kiri lengkap dengan air mancur kecil serta ikan hias di dalam kolam berukuran 1x0,5 meter itu membuat siapa pun yang berada di sana akan merasa nyaman. Rumah yang asri dan terawat itu hanya dihuni oleh bunda dan kakaknya yang nomor tiga. Sedangkan kakak pertama dan kedua sudah berkeluarga dan berumah sendiri. Sedangkan ayahnya telah meninggal sejak Rara kelas satu SMA.
"MasyaAllah. Anak bunda sudah datang," pekik bunda lalu langsung menyambut uluran tangan Rara.
"Assalamualaikum, Bunda." Diciumnya dengan takzim tangan bunda yang telah melahirkannya itu dan memeluknya erat.
Benar adanya, sejauh apapun kita pergi, tetap keluargalah tempat kembali yang nyaman. Namun, kepulangan ini juga mengingatkan Rara akan janji di masa lalu. Tahun ini harusnya ia menepatinya. "Akankah ia datang?" Lirihnya. Entah harus bahagia atau tidak. Yang jelas Rara bingung. "Astaghfirullah", kembali Rara beristigfar atas harapannya yang terlampau dalam.
Ruang dosen masih sepi. Mentari pun sudah mulai naik saat jarum jam menunjukkan pukul 7.30. Hanya di luar ruangan yang begitu ramai dengan mahasiswa yang siap mengikuti kelas pagi. Rara sendiri hari ini hanya mengajar satu kelas. Jumat pagi ini nampak cerah, namun tidak dengan hati Rara yang terasa mendung, tetapi ia mencoba untuk menghalau pikiran-pikiran yang menggangu. Ia tak mau jadi buyar konsentrasi saat mengajar nanti.
"Selamat pagi, Bu Dosen Cantik," sapa Pak Asrul sambil memberikan kopi susu hangat di meja Rara.
"Terima kasih ya, Pak," ucap Rara seraya tersenyum pada pria paruh baya yang bekerja sebagai OB di kampusnya itu.
"Oh iya, Bu. Kemarin ada yang nyariin Bu Rara," ucap Pak Asrul sambil menepuk-nepuk bibirnya, "Namanya siapa ya? Kok bapak lupa."
"Perempuan atau laki-laki, Pak?" Sejak kembali ke Pasuruan dan menjadi dosen, ia belum pernah mendapati tamu datang menemuinya di kampus.
"Perempuan, Bu," jawab Pak Asrul seraya pamit keluar.
"Oh iya, terima kasih, Pak." Rara sedikit berteriak sebab tidak menyadari Pak Asrul berlalu. Ia penasaran. Siapa yang mencarinya.
"Perempuan?," tanyanya dalam hati.
Sepulangnya mengajar, ia mendapati undangan tergeletak di atas meja ruang tamu. Tertulis namanya di undangan tersebut.
"Itu tadi temanmu, Nduk. Nganter undangan. Katanya kemarin mampir ke kampus, enggak ketemu kamu." Bunda bicara sambil jalan menuju dapur.
"Oh …" Rara lekas membuka undangan pernikahan itu. Lantas ia tertegun dengan nama mempelai pria yang tertulis di dalam undangan. Segera ia merogoh handphone-nya di saku, lalu menelepon seseorang,
"Halo, Assalamualaikum, Ra. Sudah terima undanganku kan?," jawab seseorang di telpon.
"Eh, Wa'alaikum salam. Iya sudah. Hmm… Selamat, akhirnya ya…" Ucap Rara, sebenarnya ia ingin menanyakan perihal calon pengantin pria temannya itu tetapi ia bingung dan agak sungkan.
"Haha..Iya, akhirnya nikah juga nih," jawab Asma sambil tertawa.
"Eh, sebenarnya aku juga mau minta tolong sama kamu, Ra."
"Tolong apa?"
"Kamu videoin akad nikahku nanti ya?" Rara tercekat. Dia masih penasaran dengan calon temannya ini. Eh tiba-tiba malah diminta memvideokan pesta pernikahannya.
"Ra…Rara..Masih di situ kan?"
"Eh iya, Insya Allah ya," jawab Rara pelan.
"Oke sip, usahain banget pokoknya." Rara menutup teleponnya ragu, masih penasaran. Namanya sama tetapi tidak ada keterangan orang tua maupun alamatnya.
"Mungkinkah?" Bisik Rara dalam hati.
Pernikahan Asma mengusung konsep terpisah antara tamu pria dan wanita. Rara sendiri hanya mengambil video area tamu wanita saja, ia hanya datang saat resepsi di siang harinya, jadi tidak mengetahui siapa mempelai pria. Sayangnya, Rara tak bisa membantu secara keseluruhan membuat video pernikahan Asma karena menerima telepon bahwa bundanya jatuh sakit.
Pasca pernikahan Asma, ia mencoba mengubur rasa penasarannya. Dia pun berusaha ikhlas dengan apa pun ketentuan Sang Pencipta akan jodohnya. Ia tak lagi memusingkan perihal janji masa lalu sebab kesehatan bundanya yang utama. Sejak masuk IGD beberapa hari lalu, sang bunda keadaannya belum membaik. Namun, keadaan ini menjadikan bundanya semakin mendesaknya untuk menikah. Dan lagi-lagi Rara tak bisa menolak permintaan sang bunda.
Sepekan pasca keluar dari rumah sakit, bunda memperkenalkan Rara dengan anak dari ustazahnya. Rara hanya bisa pasrah menuruti keinginan bundanya. Berharap semoga Allah memberikan jodoh terbaik siapa pun itu.
Pertemuan pertama bertempat di rumah Rara. Bunda sangat antusias dengan mempersiapkan makanan banyak bak kedatangan tamu besar. Padahal sudah diberi tahu bahwa nanti hanya berdua. Benar saja, saat datang lelaki tersebut hanya datang bersama ibunya, ustazah Nabila.
"MasyaAllah ini Rara, ya?" ucap ustazah Nabila sembari memeluk Rara penuh sayang.
"Nggih, Ustazah"
Rara tak menyadari ada lelaki tak jauh di belakang ustazah Nabila yang sejak awal menatapnya tak berkedip di balik maskernya. Rara yang belum menyadari hanya bisa menunduk.
"Maskernya kenapa masih dipake, Le?" Ucap ustazah Nabila kepada lelaki di sampingnya yang tak lain adalah anak bungsunya.
Saat Rara mengangkat wajahnya, ia serasa tercekat, kaget melihat sosok lelaki di hadapannya. Namun, secepat kilat ia mengalihkan pandangannya, detak jantungnya sudah tak beraturan. Bagaimana tidak? Lelaki yang diharapkan kedatangannya selama ini sekarang benar-benar ada di hadapannya.
"Alfin?" tanya Rara pelan.
"Loh? Kalian sudah saling kenal toh?" tanya bunda.
"Alhamdulillah," belum sempat keduanya menjawab, bunda dan ustazah Nabila kompak mengucap syukur.
"Alhamdulillah kalau sudah saling kenal, berarti gak pake lama ya prosesnya?" Bunda menggoda, membuat ustazah Nabila tertawa. Sedang Rara dan Alfin salah tingkah mendengar celotehan kedua orang tuanya.
Benar adanya, kalau sudah jodoh tak kan ke mana. Allah dengan caranya pasti akan mempertemukan keduanya. Bahkan dengan pertemuan tak terduga sebagaimana Rara dan Alfin. Namun, sembari menunggu jodoh, tetap harus ada usaha dan ikhtiar berupa ketaatan kepada Allah Swt., bukan dengan cara berpacaran yang jelas diharamkan, tetapi sabar dalam taat adalah solusi bagi orang yang beriman dan tentu saja memanjatkan doa tiada henti agar Allah memberi teman hidup terbaik nan salih.
TAMAT[]