"Gadis itu berdiri. Tak sengaja menyenggol tutup bak sampah dan menimbulkan suara gaduh. Aqila mendengar suara itu. Ia menyalakan lampu dapur. Kepalanya yang masih tertutup mukena ia longokkan ke luar jendela yang ia buka perlahan. Betapa terkejutnya ia mendapati seorang gadis seusianya tampak kesakitan memegangi kepalanya."
Oleh: Choirin Fitri
NarasiPost.Com-Seorang gadis berambut sebahu berlari terengah-engah. Kaki jenjangnya yang dibalut celana jeans terus diayunkan. Seorang laki-laki berbadan bongsor mengikutinya dengan langkah cepat. Bau alkohol menguar dari mulutnya. Badannya agak sempoyongan.
Gadis itu ketakutan. Ia menengok ke seluruh arah, tapi tak ada yang dapat dimintai tolong. Jarum pendek di jam tangannya telah menunjuk angka sebelas. Jelas saja penduduk kampung yang ia lewati telah terlelap. Mungkin hanya manusia-manusia malam yang masih terjaga.
Gadis itu menangis. Ia benar-benar menyesal karena memilih lembur. Ia pun salah memilih tukang ojek, hingga kini harus menanggung akibat pilihannya. Tukang ojek itu ingin menodainya.
Badan gadis yang ramping itu bersembunyi di samping bak sampah dekat sebuah rumah yang gelap. Ia menggigil ketakutan sambil memeluk lututnya. Ia benar-benar berharap laki-laki yang tampak tak jauh dari pandangannya itu tak menemukannya.
Benar saja laki-laki berbadan bongsor itu mendengus kesal. Sumpah serapah terdengar dari mulutnya. Ia berlalu pergi setelah melihat dua orang hansip sedang berjaga di pos.
Gadis itu mengelus dada. Ia mulai merasa aman. Namun, ia bingung harus meminta tolong pada siapa. Ia trauma pada laki-laki untuk saat ini. Apalagi dua orang hansip yang tampak di pos jaga sedang bermain remi. Muka mereka juga tampak tak bersahabat. Ia tak mungkin meminta tolong pada mereka.
Gadis itu berdiri. Tak sengaja menyenggol tutup bak sampah dan menimbulkan suara gaduh. Aqila mendengar suara itu. Ia menyalakan lampu dapur. Kepalanya yang masih tertutup mukena ia longokkan ke luar jendela yang ia buka perlahan. Betapa terkejutnya ia mendapati seorang gadis seusianya tampak kesakitan memegangi kepalanya.
"Mbak siapa? Kenapa malam-malam di sini?"
Gadis itu menemukan setitik harapan melihat Aqila. Ada binar keyakinan bahwa perempuan di hadapannya bisa memberikan pertolongan.
"To, tolong saya Mbak, saya mau diperkosa."
Aqila terbelalak. Ia melihat gadis di depannya. Kaus berwarna pink yang dikenakannya terkoyak di bagian dada dan lengan. Wajahnya kusut masai. Matanya penuh dengan buliran air mata. Namun, ia masih berpikir dua kali. Ia khawatir gadis itu menyamar untuk merampok rumahnya. Sekarang banyak orang yang nekat berbuat kriminal tak mengenal jam.
"Mbak, tolong saya!" Suara gadis itu meratap. Ia mendekap tubuhnya yang menggigil kedinginan.
Sejurus kemudian Aqila tersadar. Ia tak boleh bersuuzan. Dengan ucapan bismillah dan berniat menolong orang lain, ia bukakan pintu dapurnya. Gadis itu secepat kilat masuk dan menubruk tubuh Aqila. Ia jatuh lemas.
Dipapahnya gadis berwajah ayu itu. Ia memosisikannya duduk selonjor dengan badan tegap disanggah tembok. Sigap ia membuatkan air madu hangat dan meminumkannya pada gadis yang tak dikenalnya itu.
Aqila bergegas menuju kamarnya. Ia mencarikan jaket. Sebuah sweter berwarna navy diangsurkan ke gadis kuyu itu.
"Pakai ya, Mbak, biar tidak kedinginan. Atau Mbak mau ganti baju dengan punya saya?"
Aqila melihat prihatin. Penampilan gadis di depannya benar-benar seperti gadis-gadis yang ada di film-film. Bajunya kotor dan badannya kuyu.
Gadis itu menggeleng. Ia segera mengenakan sweter yang diangsurkan Aqila.
"Terima kasih. Aku Emilia." Gadis berwajah ayu itu memperkenalkan diri.
"Aqila," sahut Aqila menerima uluran tangan gadis yang baru dikenalnya.
"Kalau diizinkan, malam ini saya mau menginap di sini. Saya takut. Benar-benar takut."
Aqila bimbang. Hanya ada dia di rumah. Kakaknya menginap di perusahaan. Orang tuanya menginap di rumah kakeknya yang sedang sakit. Demi melihat binar kejujuran di mata si gadis, Aqila mengangguk.
Kedua gadis itu berjalan beriringan. Aqila mempersilahkan Emilia menempati kamarnya. Ia akan tidur di kamar kakaknya. Hanya ada tiga kamar di rumah itu. Jadi, jika ada tamu, maka penghuni rumah harus mengalah.
Begitu merebahkan diri. Gadis itu langsung terlelap. Gurat ketakutan dan rasa capek masih tampak di wajah ayunya. Aqila segera menyelimutinya dan hendak pergi.
"Terima kasih," ucap gadis itu lirih.
Mulut Aqila mulai menguap. Ia menutupnya dengan punggung tangan kiri dan berucap taawuz. Adab menguap yang diajarkan guru tahsin Al-Qur'annya. Malam ini, ia benar-benar terlambat tidur. Ia harus menyiapkan materi untuk mengisi kajian online bakda subuh karena teman-temannya libur kuliah.
Azan subuh berkumandang. Kalimat takbir keagungan menggema. Ajakan untuk menunaikan ibadah wajib bagi umat Islam telah disampaikan. Tinggal mau atau tidak meninggalkan posisi nikmatnya tidur.
Aqila telah bangun sepuluh menit jelang subuh. Ia hanya sempat menunaikan dua rakaat salat tahajud dan tiga rakaat salat witir. Sebelum menunaikan salat subuh, ia menengok Emilia. Gadis itu masih terlelap. Ia tak tega membangunkannya.
"Masih ada waktu 10 menit lagi," ucap Aqila lirih setelah membaca zikir pagi. Ia mengambil Al-Qur'an dan menyenandungkan tilawah. Tepat di akhir surah Al-An'am, dering alarm di HP-nya terdengar nyaring.
Aplikasi Zoom ia buka dengan link yang telah disiapkan adik tingkatnya. Sudah ada beberapa yang bergabung meski kamera masih dalam posisi mati. Sebelum kajian dimulai, mereka beruluk salam dan bertegur sapa.
Sepuluh menit berlalu. MC memulai acara dan mempersilahkan Aqila memulai kajian.
"Silahkan, Mbak Aqila. Mau bahas tema apa ini?"
"Untuk Allah," jawab Aqila menyunggingkan senyum termanis pagi ini.
"Menarik ya, Sahabat Muslimah? So, yuk kita simak baik-baik!"
Gadis yang masih mengenakan mukena berwarna putih tulang mengawali sapaan dengan salam. Ucapan syukur dan selawat tak lupa ia haturkan. Lalu, ia meminta peserta kajian yang berjumlah 27 orang membuka mushaf Al-Qur'an. Tepatnya di juz 8 surah Al-An'am ayat 162-163.
"Dek Bella, tolong bacakan ya!"
"Iya, Kak," sahut gadis berkerudung merah jambu. Ia kemudian melantunkan tilawah Qur'an dengan tartil.
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَ مَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَاۡ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
"Syukron, Salihah! Untuk terjemahannya bisa ya Dek Ais membacanya?"
"Siap," sahut Ais setelah mengklik gambar mikrofon.
"Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam,"
"Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (muslim)."
"Syukron Ais!" Aqila berterima kasih.
"Sepertinya tidak ada satu pun dari kita yang tidak hafal ayat ini. Ayat yang tiap salat fardu kita ucapkan. Iya tidak?"
Peserta tampak mengangguk. Tak ada suara karena format mute telah dipilih oleh host.
"Sayangnya, janji ini banyak diingkari oleh seorang muslim. Ia telah menyatakan dalam salatnya bahwa hidup dan matinya untuk Allah. Namun anehnya, dalam kehidupan keseharian ia enggan menjadikan hukum Allah sebagai aturan hidupnya."
Aqila menghela napas panjang lalu melanjutkan, "Coba saja lihat bagaimana muslimah saat ini! Saat salat mereka menutup aurat padahal menghadap Allah yang menciptakan manusia dengan telanjang. Anehnya selepas salat dan bertemu dengan manusia yang tak berhak melihat auratnya, ia buka kembali. Astaghfirullah."
"Maklumlah, Kak, kita sekarang kan hidup di zaman sekuler ya! Islam hanya diletakkan di masjid atau mengatur ibadah aja, tapi tak boleh atur kehidupan."
Suara host memecah keheningan.
"Betul, Dek Nita. Saat ini Islam sebagai agama yang menyeluruh dikebiri. Padahal semua aturan ada dalam Islam. Termasuk aturan untuk memuliakan wanita dengan menutup auratnya. Sayangnya saat ini banyak wanita yang enggan menggunakan aturan Allah ini. Efeknya kejahatan, kemaksiatan, hingga keburukan banyak menimpa wanita."
Aqila membeberkan kasus demi kasus yang menimpa para wanita. Mulai dari pergaulan bebas, narkoba, hamil di luar nikah, pelacuran, dan fakta lainnya yang menyesakkan dada. Semua mata terbengong dengan banyaknya data yang menurut mereka mengerikan. Tampak di ruang chat yang berisi beragam komentar.
Aqila membaca ulang ayat yang ke-163. Ia menekankan bahwa Allah tak boleh disekutukan. Posisi Allah sebagai Al-Khaliq Al-Mudabbir, Pencipta dan Pengatur tak boleh digantikan yang lainnya.
"Maka, benarlah apa yang disampaikan Allah bahwa kita adalah orang yang berserah diri alias muslim. So, jadilah muslim yang kafah, bukan muslim yang setengah-setengah! Oke?!"
"Oke banget, Kak! Heeeemmm, rasanya kita butuh bertemu lagi deh. Siap nggak nih Kak Aqila?"
"Insyaallah siap."
Kajian diakhiri dengan doa penutup majelis. Aqila mematikan laptop. Ia kaget saat menoleh ke belakang, gadis yang ia tolong semalam menangis terguguk. Benak Aqila penuh tanya. Ia segera menghampiri Emilia.
"Kamu kenapa?"
"Ajarkan aku Islam! Aku ingin mengenal Islam yang lebih baik!"
Keduanya berpelukan dalam tangis haru. Aqila menemukan mutiara di tengah lumpur hitam dunia yang dipenuhi sekularisme.
Batu, 9 Maret 2022[]