"Kecurigaan bahwa pemerintah mengalami islamofobia memang beralasan. Tuduhan radikalisme secara jelas ditujukan pada mereka yang selama ini getol menyuarakan khilafah. Mereka dianggap berbahaya dan ancaman bagi keutuhan NKRI. Padahal, khilafah sendiri adalah pembahasan yang sudah ada dalam kitab para ulama sehingga penentangan terhadap khilafah sama artinya mengingkari ajaran Islam itu sendiri."
Oleh.Novianti
NarasiPost.Com-Isu radikalisme sering dinarasikan dan makin menguat di era pemerintahan Joko Widodo. Baru-baru ini, presiden kembali memperingatkan bahaya radikalisme di hadapan jajaran TNI dan Polri agar tidak mengundang penceramah radikal. (nasional.kompas.com, 02/03/2022)
Untuk menguatkan arahan presiden, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Ahmad Nurwakhid, menyebutkan beberapa indikator penceramah radikal. Pertama, yang menyebarkan ide prokhilafah international. Kedua, yang mengajarkan pemahaman takfiri yaitu mengafirkan orang lain yang berbeda pemahaman. Ketiga, menanamkan sikap antipemerintah yang sah. Keempat, memiliki sikap ekslusif terhadap lingkungan. Kelima, berpandangan antibudaya atau kearifan lokal. (kabar24.bisnis.com, 07/03/2022)
Dilansir oleh CNNIndonesia, Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, mengungkapkan isu radikalisme merupakan upaya pembungkaman terhadap pihak-pihak yang sering mengkritisi kebijakan pemerintah. Ketua MUI, Cholil Nafis, juga mengingatkan agar hal ini tidak ditujukan kepada para penceramah yang selama ini melakukan kritik dalam rangka amar makruf nahi munkar. Ketua Umum Presidium Alumni 212, Slamet Maarif, juga menilai BNPT otoriter mau merasa benar sendiri, bahkan terkesan islamfobia.
Kecurigaan bahwa pemerintah mengalami islamofobia memang beralasan. Tuduhan radikalisme secara jelas ditujukan pada mereka yang selama ini getol menyuarakan khilafah. Mereka dianggap berbahaya dan ancaman bagi keutuhan NKRI. Padahal, khilafah sendiri adalah pembahasan yang sudah ada dalam kitab para ulama sehingga penentangan terhadap khilafah sama artinya mengingkari ajaran Islam itu sendiri.
Selain itu, pejuang khilafah tidak pernah terlibat dalam tindak kejahatan yang merugikan masyarakat, seperti korupsi atau tindakan kejahatan. Justru para koruptor yang telah merampok hak jutaan rakyat berasal dari kalangan pejabat dan partai politik yang berkuasa saat ini. Bahkan, KKB di Papua yang jelas-jelas telah meneror rakyat sipil, membunuh aparat TNI dan Polri, ingin memisahkan dari NKRI, tidak pernah disebut sebagai radikal.
Salah Pandang tentang Khilafah
Saat ini, khilafah sering dikriminalisasi, dianggap sebagai ideologi yang dibenturkan dengan Pancasila. Padahal, Khilafah bukan ideologi melainkan sistem pemerintahan Islam yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah saw dalam mengelola negara setelah beliau wafat. Sistem ini menyatukan seluruh kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq, khalifah pertama.
Saking pentingnya kedudukan kepemimpinan di tengah-tengah kaum muslimin, ketika itu pemakaman jenazah Rasulullah tertunda selama tiga hari. Ini menunjukkan wajibnya keberadaan seorang khalifah karena syariat Islam tidak bisa diterapkan secara sempurna kecuali adanya pemimpin. Rasulullah saw bersabda, “Dulu Bani Israel dipimpin dan diurus oleh para Nabi. Jika para Nabi itu telah wafat, mereka digantikan oleh Nabi yang baru. Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang Nabi, tetapi akan ada para khalifah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Imam al-Mawardi menjelaskan dalam kitabnya Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah , “Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai khilafah (penggganti) kenabian dalam pemeliharaan agama dan pengaturan dunia dengan agama.”
Kedudukan khilafah sangat penting untuk memastikan pelaksanaan hukum-hukum yang tidak bisa diterapkan oleh individu. Hukum-hukum misalnya sanksi bagi pencuri, pelaku zina, tindakan kriminal seperti pembunuhan harus ditegakkan oleh hakim yang diangkat penguasa.
Ini sesuai dengan kaidah :
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”
Allah memerintahkan kaum muslimin memutuskan perkara dengan ketetapan Allah, bukan mengikuti hawa nafsu. Dalam QS al-Maidah ; 49 Allah berfirman, ”Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”
Tren Umat terhadap Syariat dan Khilafah
Di dalam bukunya, Dr. Fika Komara menuliskan hasil jajak pendapat publik oleh PEW research centre. Survei menunjukkan mayoritas responden di sebagian besar negara muslim mendukung undang-undang untuk mengikuti ajaran Al-Qur'an, mendukung bahwa syariat harus resmi di negara mereka.
Hasil Google Trends membuktikan kata Caliphate menjadi tren opini secara global tahun 2015. Bahkan, secara akumulatif hingga Desember 2019 popularitas pencarian kata kunci Caliphate selalu lebih tinggi dari nation state.
Wacana ini terus menguat sehingga benturan antara Islam dengan Barat yang berideologi sekuler kapitalis sudah tidak bisa dihindarkan. Barat telah memaksakan dirinya sebagai kekuatan pengatur dunia, tetapi masyarakat sudah menginginkan perubahan. Situasi yang dipicu berbagai kerusakan dan makin terungkapnya keburukan wajah asli sekuler kapitalis. Tanda-tanda kebangkitan umat Islam menjadi mimpi buruk menakutkan bagi Barat dan sekutunya yaitu pemimpin boneka di negeri-negeri muslim. Sistem demokrasi yang dijajakan Barat sebagai sistem canggih sudah hampir lumpuh di negara rahimnya sendiri.
Prancis, negara pencetus lahirnya sekularisme gagal menyelesaikan banyak masalah termasuk ketimpangan besar di negaranya. 10% orang terkaya memiliki 55% kekayaan negara, sistem jaminan sosial menghadapi kegamangan karena dianggap penyebab utang nasional.
Di Amerika Serikat, para aktivis memprotes ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, tingginya angka pengangguran, kekayaan orang-orang kaya (1%) menguasai di atas seluruh penduduk Amerika Serikat. David S Mason mengatakan kepemimpinan dan dominasi global Amerika sudah berakhir. Negara ini bangkrut secara ekonomi dan telah kehilangan keunggulan dalam hal politik, ekonomi, dan sosial.
Barat serta antek-anteknya meski tertatih-tatih terus berupaya menahan gelombang kebangkitan Islam. Salah satunya menderaskan opini radikalisme karena mereka sadar tidak bisa membuat argumentasi intelektual membahas hal-hal substansial. Perselingkuhan para kapital dan penguasa yang memanfaatkan rakyat demi kepentingan bisnis bisa terbongkar secara telanjang.
Kekuatan Ide Mengalahkan Senjata
Tidak ada keraguan, kekuatan yang bisa mengalahkan hegemoni Barat adalah kekuatan ide. Nabi Muhammad saw telah membuktikan, dalam waktu sepuluh tahun, tanpa teknologi dan kekerasan, mengalahkan dengan telak kekuatan Romawi dan Persia. Kekuatan gagasan inilah yang seharusnya dideraskan dan menjadi basis perlawanan terhadap peradaban Barat. Kegagalan bertahun-tahun dalam uji coba dengan sistem demokrasi menyadarkan umat Islam kembali pada jalan yang benar.
Meski tren khilafah menguat tidak berarti umat telah siap menyambut dan menerapkannya. Diperlukan langkah-langkah strategis yaitu mengedukasi yang mencerdaskan agar tren opini ini makin mengkristal, tidak sebatas ide, melainkan terwujud dalam bangunan yang bisa tampak secara nyata. Masih banyak umat yang melihat Khilafah sebagai solusi abstrak meski itu pun lebih karena apriori tanpa dibarengi pengkajian mendalam terhadap gagasannya itu sendiri. Konsep khilafah terus diurai di tengah-tengah umat secara kontekstual, bagaimana Islam menjawab persoalan-persoalan kekinian.
Makin tergambar bagi umat bahwa Islam satu-satunya sistem harapan untuk menciptakan tatanan dunia baru yang mewujudkan keadilan serta keamanan masyarakat dunia. Isu radikalisme menunjukkan kepanikan Barat karena melihat tanda-tanda kemenangan Islam yang semakin dekat. Jika Barat meyakininya, mengapa umat Islam masih meragukannya?[]