"Berkaca dari sejarah keemasan Islam, ada sebuah model ideal yang selayaknya menjadi contoh pembangunan kota baru untuk menjadi IKN, yakni pembangunan Kota Baghdad yang menjadi ibu kota pada masa Khilafah Abbasiyah."
Oleh. Miladiah al-Qibthiyah
(Wakil Redpel NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Mundurnya investor besar asal Negeri Sakura yakni Grup SoftBank dari pendanaan Ibu Kota Negara (IKN) baru tampaknya memberi kabar kurang sedap bagi pemerintah Indonesia. SofBank mengonfirmasi bahwa perusahaannya tidak akan berinvestasi pada pembangunan megaproyek Ibu Kota Negara. SoftBank menyampaikan keputusan itu pada Jumat, 11 Maret 2022.
Melansir tempo.co, Ketua Tim Komunikasi Ibu Kota Negara (IKN), Sidik Pramono, menanggapi hengkangnya SoftBank dari proyek ibu kota baru. Sidik menyatakan bahwa pemerintah tetap akan mengandalkan pendanaan megaproyek ibu kota di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dari berbagai sumber. Sidik berujar komitmen pihak investor atau pihak di luar pemerintah perihal pembiayaan IKN memang masih dalam tahap awal.
Hengkangnya SoftBank dari proyek ini semakin menguatkan kecurigaan publik terhadap pemakaian anggaran belanja negara untuk IKN. Lantas mengapa salah satu investor besar memilih mundur berinvestasi dalam pembangunan megaproyek IKN Indonesia?
Alasan SoftBank Mundur
Mundurnya SoftBank, yakni perusahaan modal ventura asal Jepang, dari proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur disinyalisasi telah memiliki masalah keuangan internal, khususnya di masa pandemi. Padahal, SoftBank awalnya memiliki niat menanam investasi sebesar 100 miliar dollar AS di proyek Indonesia kali ini.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, beberapa faktor yang menyebabkan SoftBank mundur dari mega proyek IKN. Pertama, kerugian SoftBank dari Wework tahun 2020 dan Alibaba tahun 2021 belum bisa tergantikan hingga saat ini. Akhirnya SoftBank mengubah strategi investasi yang akan lebih fokus pada pendanaan startup digital, bukan proyek pemerintahan, termasuk IKN. Kedua, timbul indikasi kuat risiko politik dalam pembangunan IKN yang akan berdampak cukup tinggi, terlebih saat terjadi kegaduhan soal perpanjangan masa jabatan presiden akibat rencana penundaan pemilu. Pada akhirnya, membuat investor memilih wait and see sebelum benar-benar menggelontorkan dana investasi pembangunan pada megaproyek IKN.
Dari sini jelas, ada pengaruh yang signifikan dengan rencana penundaan pemilu. Jika investasi ini diteruskan, tidak dimungkiri akan ada risiko politik yang tentu saja akan berdampak pada terkendalanya proyek IKN, bahkan bisa berhenti total. Investasi di IKN pun bukan jangka pendek, namun butuh kepastian dalam waktu jangka panjang.
Ketiga, faktor signifikan yang lain adalah kondisi perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan ketidakpastian global. Sejak awal SoftBank membaca risiko inflasi yang tinggi di negara maju akan membuat biaya pembangunan IKN naik signifikan, akibat dari imbas terganggunya rantai pasok global. Hal ini sudah pernah terjadi lantaran pembangunan ibu kota negara di Putrajaya-Malaysia bersamaan dengan krisis moneter pada tahun 1998. Saat itu biaya pembangunan naik signifikan.
Jika pihak luar, dalam hal ini adalah para investor mampu membaca konstelasi dunia yang akan berpotensi berdampak pada pembangunan megaproyek IKN, pemerintah Indonesia seyogianya jauh lebih bijak memandang hal ini. Pun, pengamat telah banyak memprediksi proyek IKN ini akan mangkrak, terbengkalai, bahkan sampai di level pemborosan anggaran.
Dana ratusan triliun untuk megaproyek IKN hanya akan terbuang sia-sia. Jika dibenturkan dengan kondisi Indonesia sekarang yang masih dilanda panic buying akibat pasokan minyak goreng yang langka dan bahan pangan yang kian meroket terlebih jelang Ramadan, pendanaan IKN akan jauh lebih bermanfaat bila digunakan sebagai sarana pertumbuhan ekonomi rakyat. Jelaslah megaproyek IKN ini memiliki lebih banyak peluang risiko yang membahayakan stabilitas nasional ketimbang kemaslahatan bangsa dan negara.
Sikap Gegabah Pemerintah
Saat wacana pemindahan ibu kota dikumandangkan, masyarakat sudah ramai memberikan pandangan kontra terhadap megaproyek IKN. Hal ini karena pemerintah dinilai belum ada persiapan yang matang dan maksimal. Pemerintah seolah gegabah dan terkesan terburu-buru terhadap keputusan pemindahan ibu kota. Selain itu, masyarakat menilai pemerintah kurang terbuka, kurang bersosialisasi kepada masyarakat luas terkait kebijakan IKN.
Belum lagi berbagai problem di bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya serta masalah krusial lainnya yang belum mampu diatasi secara maksimal oleh pemerintah. Hal ini jelas terindra oleh banyaknya permasalahan dan pekerjaan yang belum terselesaikan secara tuntas di Indonesia. Masalah yang menimpa Indonesia demikian kompleks. Seharusnya pemerintah melakukan kajian ulang dan audiensi terbuka kepada masyarakat.
Penyebab SoftBank yang menarik mundur investasinya tidak salah bila menjadi poin penting untuk menunjukkan sikap tegas pemerintah meninjau ulang proyek IKN, akan tetapi hal ini justru membuat pemerintah tidak kehabisan akal melanjutkan proyek IKN ini dengan mengandalkan investor lokal seperti SinarMas dalam melancarkan agendanya.
Sampai kapan pemerintah menutup telinga atas pandangan kontra baik itu dari para pengamat politik maupun masyarakat luas yang memberikan respons terhadap sikap gegabah pemerintah dalam kebijakan megaproyek pemindahan ibu kota?
Pulau Kalimantan yang lebat dengan hutannya belum tentu bisa dijaga kelestariannya jika dikaitkan dengan pembangunan infratruktur yang nantinya akan dibangun guna melengkapi fasilitas berupa sarana dan prasarana di ibu kota yang baru. Sungguh lebih bijak jika pemerintah saat ini memprioritaskan menyelasikan permasalahan yang ada dan merealisasikan pemerataan ekonomi, sandang, pangan, dan papan di seluruh wilayah Indonesia.
Tantangan Ibu Kota Baru
Berita mundurnya SoftBank dari investasi megaproyek IKN memberi sinyal bahwa melakukan perpindahan ibu kota negara tidak semudah memindahkan anak dari sekolah lama menuju sekolah yang baru. Diperlukan adanya berbagai pertimbangan yang menjadi dasar pemerintah sebelum merealisasikan kebijakan tersebut. Dalam hal ini adalah butuh anggaran dana yang sangat besar. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya.
Sebagaimana diketahui banyak habitat alamiah satwa yang selama ini berada di lokasi inti IKN, jangan sampai adanya pembangunan justru memunculkan konflik dengan satwa liar di daerah tersebut serta merusak habitat dan ekosistem yang selama ini telah berjalan dengan baik. Selain itu, tata ruang harus dipikirkan dan direncanakan secara matang, sehingga tidak berdampak pada potensi terjadinya banjir.
Dari sisi ekonomi banyak hal yang perlu diperhatikan dari fasilitas, transportasi, administrasi, serta upah. Pemindahan IKN ini akan menjadi kendala baru dari segi hukum (perizinan), administrasi, dan ketenagakerjaan apabila sektor-sektor ekonomi yang krusial juga dipaksa untuk berpindah ke IKN.
Berkaca dari sejarah keemasan Islam, ada sebuah model ideal yang selayaknya menjadi contoh pembangunan kota baru untuk menjadi pusat IKN, yakni pembangunan Kota Baghdad yang menjadi ibu kota pada masa Khilafah Abbasiyah.
Cara Khilafah Membangun IKN
Di awal-awal pemerintahannya, dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara diletakkan dengan baik dan terkendali oleh Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur. Tidak pernah dijumpai defisit anggaran besar-besaran di kawasan Baghdad. Baitulmal yang merupakan tempat penyimpanan kas negara selalu penuh, pun pemasukan selalu konsisten lebih banyak daripada pengeluaran.
Pada masa itu, ibu kota negara yang semula berada di al-Hasyimiyah, dipindah ke kota Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia oleh Khalifah Al-Mansur. Khalifah melakukan pemindahan ini tidak lain untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara Abbasiyah yang baru berdiri. Kota yang dibangun oleh Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur benar- benar memenuhi semua aspek kelayakan, mulai dari perencanaan, pertimbangan politik, pertahanan dan keamanan, arsitek dan tata ruang kota, ekonomi dan kemaslahatan rakyat, hingga anggaran pendanaan pembangunan Ibu Kota Baghdad.
Pada masa itu, Khalifah Al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Di lingkup pemerintahan, beliau membentuk tradisi baru dengan mengangkat wazir (perdana menteri) sebagai co-kordinator dari kementerian yang ada. Berbagai lembaga protokol, sekretaris, dan kepolisian negara juga dibentuk oleh Khalifah Al-Mansur disamping membenahi angkatan bersenjata. Beliau juga meningkatkan jawatan pos yang sudah ada sejak masa Bani Umayyah.
Jawatan pos ditugaskan oleh Khalifah Al-Mansur untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan dengan lancar. Beliau juga menugaskan kepada direktur jawatan pos untuk melaporkan tingkah laku gubernur daerah-daerah itu.
Selain itu, Khalifah Al-Mansur juga memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Selama masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur, kekuasaan Bani Abbasiyah semakin luas dan kekuatannya juga semakin bertambah, bahkan ilmu pengetahuan dan budaya juga berkembang pada masa pemerintahannya.
Sejarah telah membuktikan keberhasilan Khalifah Al-Mansur yang mampu mendanai pembangunan Kota Baghdad tanpa melibatkan investor baik lokal maupun asing, apa lagi memupuk utang. Pada saat itu, Khalifah Al-Mansur membangun Kota Baghdad hanya menghabiskan dana sekitar 3,88 juta dirham. Dengan sistem pengelolaan harta sesuai syarak, Khilafah Abbasiyah mampu menyejahterakan rakyat.
Beginilah cara Khilafah berhasil membangun ibu kota baru. Kekuatan finansial didukung oleh kebijakan yang hanya besumber pada wahyu Allah Swt., yakni syariat Islam berjalan dengan lancar tanpa ada defisit anggaran. Sebab, prioritas utama khalifah adalah kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan orang perorangan maupun golongan. Cara Khilafah membangun ibu kota semakin menunjukkan betapa kemuliaan dan kegemilangan peradaban Islam diakui di mata dunia. Wallahu a'alam bi ash-shawab.[]