"Alih-alih memberi julukan terorisme, gerakan separatis yang jelas mengantarkan pada disintegrasi bangsa dan teror tersebut akhirnya hanya disebut sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Sementara terhadap umat Islam label tersebut menyasar, bahkan masih berstatus terduga, julukan teroris dan eksekusi mati begitu mudahnya diberikan."
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kisruh yang terjadi di Papua, bukanlah yang pertama, dan bisa jadi ke depannya (semoga tidak) bukan yang terakhir. Pada tahun 2000 pernah terjadi Wamena berdarah. Pada saat itu, konflik melintang antara pendatang dengan orang Papua, terjadi pembantaian besar-besaran. Kejadian yang terjadi tepat pada 6 Oktober tahun 2000 menyebabkan tujuh pribumi dan 24 pendatang meninggal.
Tentunya perlu ada waktu untuk menghilangkan tekanan mental dan rasa dendam. Sebab saat itu banyak rumah, harta benda para pendatang, bahkan rumah-rumah masyarakat pribumi banyak yang hangus terbakar. Namun, konflik tersebut justru berulang. Bahkan kondisi saat ini jauh lebih krusial. Sebab permasalahan yang ada bukan hanya permasalahan melintang antarsuku. Lebih jauh lagi tuntutan Papua merdeka yang sedang meluap.
Kali ini, terdapat delapan pekerja PT Palapa Ring Timur Telematika (PTT) jaringan telekomunikasi tewas ditembak kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Bermula dari kamp mereka secara tiba-tiba diserang oleh KKB dengan senjata tajam parang, kapak, senjata api dan lainnya. Aksi ini terjadi pada pukul 03.00 WIT bertempat di Tower B3, Kampung Jenggeran, Distrik Beoga Barat, Kabupaten Puncak.
Nahas, seharusnya mereka datang menjalankan tugas untuk memperbaiki Tower Base Transceiver Station (BTS) 3 Telkomsel. Namun, nyatanya nyawa mereka hilang akibat kekejaman KKB. Bernasib baik, ada satu pekerja yang berhasil melarikan diri selamat dari kebengisan KKB, ialah Nelson Sarira.
Tak ada rasa kemanusiaan, begitu ringan menghabisi nyawa para karyawan PTT yang berada di lokasi pada saat itu. Saria mengatakan bahwa ia melihat secara langsung leher rekannya digorok oleh KKB. Sebenarnya apa tujuan yang ingin diraih mereka dari pembantaian ini?
Histori KKB Papua
Aksi yang terus berulang terjadi di Papua membuktikan bahwa negara ini tidak pernah muncul di bumi Cendrawasih. Ada yang split dengan permasalahan Papua yang sudah memiliki kompleksitas tinggi. Potret pemerintah telah gagal menyembuhkan setiap trauma yang tertinggal di sana. Bahkan terkesan diabaikan. Konflik kepentingan memang sudah terjadi sejak penandatanganan Perjanjian New York tepat pada 15 Agustus 1962 yang berisi penyerahan Papua Barat dari Belanda ke tangan Indonesia. Justru pemerintah tidak pernah akan mampu mendeportasi kekuatan asing di tanah Papua.
Seperti Indonesia menganggap AS berjasa telah mengusir Belanda dari Papua, namun pada akhirnya AS dibiarkan menguasai gunung emas Freeport sampai detik ini. Sedangkan Australia sebenarnya secara transparan mendukung separatisme Papua karena memiliki kepentingan ekonomi dan keamanan di wilayah itu. Demikian pula dengan Inggris. Benny Wenda telah diberi perlindungan oleh Inggris sebagai Ketua Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Bahkan ia sebagai warga Oxford telah diberi gelar ‘peaceful campaigner for democracy’. Dapat dipastikan di balik ini, Inggris ingin mempertahankan perusahaan migas dan menguasainya, British Petroleum (BP), sehingga bebas untuk melakukan eksplorasi.
Sedang PBB pun di dalam Majelis Umum ke-74 tahun 2019 telah menggiring opini terkait dengan pelanggaran Hak Asasi manusia (HAM) di tanah Papua. Pidato Vanuatu di Majelis Umum PBB selain mengangkat isu dugaan pelanggaran HAM di Papua, juga meminta Australia turun langsung dalam rangka menangani konflik di wilayah paling timur Indonesia itu. Dari sini, Indonesia sebagai tuan sah Papua harusnya waspada akan keadaan. Opini umum yang disebarluaskan di forum oleh media Barat turut memberikan dampak keberpihakan dunia akan penyelesaian kasus HAM Papua. Tak ayal akan berujung pada isu Papua merdeka. Namun, hingga saat ini negara belum sungguh-sungguh hadir di tanah Papua.
Negara jangan hanya menyibukkan diri dengan bagi-bagi jabatan dan sidang yang prosedural, sampai lupa bahwa keadaan negeri ternyata sedang tidak baik-baik saja. Apalagi negeri ini diperebutkan oleh negara-negara kapitalisme global. Apabila pemerintah menyatakan bahwa di sana sudah aman, apakah ada jaminan tidak ada kerusuhan yang sama seperti ini? Pasalnya, gerakan separatisme yang ada di Papua berkembang pesat dan pergerakannya semakin lincah. Bahkan sampai saat ini, belum bisa ditumpas pergerakannya. Pemerintah juga dinilai bergerak sangat lambat dalam menanggapi aksi separatisme tersebut, padahal mereka terus melakukan aksi teror demi teror sebelumnya.
Melihat begitu dahsyatnya upaya separatis ini, sebuah pertanyaan besar mengapa konflik tersebut terus saja bergulir dan tak kunjung usai? Padahal sebagai sebuah negara, Indonesia tentu memiliki aparat juga sarana prasarana yang memadai untuk menumpasnya.
Alih-alih memberi julukan terorisme, gerakan separatis yang jelas mengantarkan pada disintegrasi bangsa dan teror tersebut akhirnya hanya disebut sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Sementara terhadap umat Islam label tersebut menyasar, bahkan masih berstatus terduga, julukan teroris dan eksekusi mati begitu mudahnya diberikan. Papua berdarah akan terus ada, bahkan meluas jika akar permasalahan di Papua tidak terselesaikan secara tuntas. Sepanjang dalam genggaman kapitalisme, janji-janji perbaikan ekonomi faktanya tak mampu memberikan keadilan pemerataan dan kesejahteraan. Apalagi pemerintah terstigma telah gagal membangun sumber daya manusia (SDM) Papua agar kualifikasinya setara dan merata hingga mandiri dan mampu membangun wilayahnya.
Harapan itu tampak jelas sulit dipenuhi oleh penguasa yang hanya bekerja untuk para pemilik modal, kepada mereka yang berani membayar. Inilah situasi yang telah terjadi di negara kita tercinta, kita telah terperangkap oleh sistem kapitalisme-liberal. Seharusnya pemerintah sedikit belajar dan bercermin pada negara di dunia yang sudah sukses membangun wilayah yang plural dalam kesatuan wilayahnya. Hal itu benar pernah terjadi di dalam pemerintahan Islam yang telah berhasil menyatukan hampir 2/3 dunia. Saat itu, semua ras umat manusia telah melebur menjadi satu dengan ikatan aturan dan sistem dari Allah Swt.
Cara Islam Memadamkan Separatisme
Dalam perspektif Islam, menjaga persatuan dan kesatuan merupakan suatu kewajiban, dan memisahkan diri darinya merupakan suatu keharaman. Oleh karenanya, Islam menentukan sanksi yang sangat tegas berupa had/perang bagi siapa pun yang melakukan tindakan bughat (makar) terhadap negara. Hanya saja perang di sini bukan untuk dibabat habis, melainkan sebagai bentuk pelajaran. Kecuali jika pelaku makar tersebut adalah nonmuslim.
Tidak hanya sanksi yang tegas, Islam juga menetapkan persoalan ini sebagai qadhiyyah mashiriyyah , yaitu permasalahan yang harus diselesaikan dengan taruhan nyawa hidup dan mati. Sebagaimana dalam perang Shiffin yang pernah dilakukan oleh Khalifah Ali r.a dalam memerangi Muawiyah. Meskipun peraturan tegas dengan memanfaatkan kekuatan militer dilakukan, aspek lain seperti pendekatan politik tetap tidak boleh dibiarkan. Bahkan sangat penting untuk mengungkap rencana jahat negara asing sekaligus untuk memadamkan bibit-bibit separatisme.
Di samping itu, upaya mencegah segala bentuk intervensi asing, memata-matai kaum kafir harbi fi'lan, memutus rantai hubungan atau kontak kerja sama warga negara dengan pihak luar negeri, serta menetapkan kebijakan satu pintu melalui departemen luar negeri adalah seperangkat upaya yang bisa dilakukan untuk melawan gerakan separatis ini. Demikianlah sempurnanya Islam, menjaga kesatuan dan persatuan serta tegas melarang perpecahan. Namun, Islam juga tidak akan membiarkan segala perbedaan dan perselisihan yang berpotensi meruntuhkan kesatuan dan persatuan. Islam bukan hanya sebagai obat yang bisa menyembuhkan, namun juga imun yang bisa menangkis segala keburukan.
Wallahu A'lam Bish-Shawwab[]