"Untuk menyelesaikan suatu masalah, hendaknya memahami apa yang menjadi akar masalahnya terlebih dahulu. Mengambil terapi konversi untuk menyembuhkan LGBTQ sejatinya sama sekali tidak menyentuh akar masalah."
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Terapi konversi untuk menyembuhkan orientasi seks menyimpang LGBTQ telah lama menjadi polemik. Penolakan muncul di berbagai negara, bahkan tidak sedikit negara yang melarang terapi ini. Lalu, apakah sebenarnya terapi konversi ini? Pasalnya saat ini, terapi konversi secara praktiknya masih ditemukan, namun berkamuflase menggunakan berbagai nama lain.
Kontroversi
Terapi konversi merupakan terapi psikoterapi yang dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan orientasi seksual menjadi normal (heteroseksual), termasuk untuk homoseksual, lesbian, biseksual, transgender, interseks dan queer. Namun, terapi ini menjadi kontroversi di berapa negara dilihat dari metode penyembuhan serta dampaknya.
Terapi konversi ini merujuk pada asumsi bahwa menjadi seorang yang memiliki penyimpangan seksual adalah penyakit mental yang bisa disembuhkan. Ada beberapa metode dalam terapi konversi yang diklaim mampu "menyembuhkan", dari metode yang paling ringan hingga yang ekstrem. Berikut beberapa cara terapi konversi yaitu mulai dari terapi bicara, memanjatkan doa, ritual pengusiran setan, kekerasan fisik, makan makanan secara paksa atau bahkan kekurangan makanan, dan yang paling ekstrem adalah pemerkosaan kolektif dimana ini merupakan metode penyembuhan orientasi seksual yang sudah ilegal.
Dalam realisasinya, tidak ada bukti kuat bahwa terapi konversi dapat mengubah atau gagal menyembuhkan penyimpangan orientasi seksual. Organisasi kesehatan dunia, WHO, telah mendiskreditkan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menggambarkannya sebagai upaya "penyiksaan".
Studi "Changing Sexual Orientation: A Consumers’ Report" pada tahun 2002, mewawancarai dan mengevaluasi 202 peserta terapi konversi. Studi tersebut menemukan 176 peserta di antaranya merasa terapi ini gagal dan memiliki efek buruk jangka panjang seperti depresi, munculnya keinginan untuk bunuh diri, rusaknya hubungan dengan keluarga dan teman, hingga kehilangan kepercayaan terhadap agama yang mereka anut dan adanya perasaan ditipu oleh pemuka agama.
Penelitian American Psychological Association pada tahun 2007 menemukan bahwa terapi konversi “tidak mungkin” mengubah orientasi seksual seseorang, sementara American Academy of Child Adolescent Psychiatry pada tahun 2018 menyatakan bahwa terapi semacam itu berbahaya dan tidak boleh menjadi bagian dari perilaku perawatan kesehatan bagi anak-anak dan remaja.
Penolakan atas terapi konversi juga datang dari ratusan tokoh agama pada bulan Desember 2020. Sekitar 370 tokoh agama di seluruh dunia, Kristen, Yahudi, Islam, Budha, hingga Sikh, meminta agar praktik ini dilarang di seluruh dunia. Hingga saat ini, OutRight Action International dalam laporannya "The Global Reach of So Called Conversion Therapy" (2020) mencatat bahwa baru lima negara di seluruh dunia yang melarang sepenuhnya praktik terapi konversi yaitu Ekuador, Brasil, Taiwan, Malta, dan Jerman. Sementara itu, negara seperti Amerika Serikat dan Kanada baru melakukan pelarangan di sejumlah negara bagian. Sedangkan negara seperti Prancis dan Inggris Raya kini sedang dalam tahap pengajuan untuk melarang praktik ini.
Lalu, bagaimanakah seharusnya sikap kita sebagai seorang muslim dalam menyikapi terapi konversi untuk LGBTQ ini?
Kritik atas Praktik Terapi Konversi
Terapi konversi LGBTQ yang bentuknya semacam psikoterapi-psikiatri atau terapi perpaduan antara pendekatan medis dan psikosis (mental) sebenarnya tak akan cukup untuk menyembuhkan orientasi seksual. Beberapa metode yang digunanakan pun kurang manusiawi seperti kekerasan fisik berupa kejut listrik yang bisa menyababkan orang pingsan atau kejang dengan maksud me- reset sistem kerja otak. Kemudian ada juga metode makan makanan secara paksa atau bahkan kekurangan makanan. Kedua metode di atas jelas sangat menzalimi karena berpotensi mengancam kesehatan.
Sedangkan metode yang paling ekstrem adalah adanya pemerkosaan kolektif. Sekalipun ini merupakan tidakan ilegal, tidak menutup kemungkinan ada yang masih mempratikkannya. Padahal jelas bagi seorang muslim melakukan hubungan seks tanpa ada ikatan pernikahan adalah haram hukumnya. Ini adalah pelanggaran syariat Islam.
Terlepas dari berbagai kontroversi di beberapa negara berkaitan dengan penolakan praktik terapi konversi, kita sebagai seorang muslim juga harus menolak. Karena dalam metodenya, terdapat potensi pelanggaran hukum syarak.
Perlu digarisbawahi bahwa LGBTQ adalah perilaku menyimpang yang harus segera disembuhkan. Namun, tidak cukup dengan terapi konversi. Mendiamkan perilaku menyimpang tersebut juga bukan hal yang benarkan. Hal ini berarti kita telah menghalalkan diri kita untuk mendapatkan azab Allah ta'ala sebagaimana kaum Nabi Luth terdahulu.
Sekularisme Biang Keladi Suburnya LGBTQ
Merupakan hal yang mustahil memberantas virus LGBTQ dalam sistem Kapitalisme. Liberalisme telah memberikan kebebasan berperilaku bagi siapa saja selama dirasa tidak merugikan orang lain. Ditambah paham sekular telah memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, lahirlah individu-individu yang menjadikan agama hanya sebagai ibadah ritual saja, tanpa mengambilnya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.
Negeri-negeri muslim yang sistem pemerintahannya berkiblat pada kapitalisme tidak bisa lepas dari rusaknya generasi akibat virus LGBTQ. Mereka menjadikan dasar Hak Asasi Manusia sebagai legalitas untuk bersikap semaunya. Hal ini diperparah dengan adanya payung hukum di beberapa negara yang justru memberikan perlindungan secara hukum kepada LGBTQ. Begitu juga di Indonesia, adanya RUU TPKS yang disinyalir akan berpotensi dijadikan payung hukum bagi para pelaku LGBTQ.
Mudahnya generasi dalam mengakses berbagai informasi juga menjadi sebab virus LGBTQ ini begitu mudah menyebar. Ditambah, kurang adanya penguatan akidah pada ranah pendidikan, menjadikan generasi tidak memiliki benteng yang kuat pada ranah pribadi sehingga tidak mampu menangkal paham sesat LGBTQ. Belum lagi sikap acuh masyarakat atas kondisi sekitar. Dengan dalih tidak mau mancampuri urusan orang lain, acap kali membiarkan aktivitas LGBTQ sekalipun mereka tahu bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum syarak.
Inilah buah penerapan kapitalisme, dengan paham sekuler-liberalismenya telah sukses merusak tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mencabut Islam dari akarnya, merusak akidah penganutnya. Dan yang lebih parah lagi, kapitalisme telah sukses menanamkan bahwasanya aturan Islam tidak relevan diterapkan pada tataran negara dalam ranah kehidupan.
Solusi Islam
Untuk menyelesaikan suatu masalah, hendaknya memahami apa yang menjadi akar masalahnya terlebih dahulu. Mengambil terapi konversi untuk menyembuhkan LGBTQ sejatinya sama sekali tidak menyentuh akar masalah.
Islam sebagai agama yang fundamental memiliki pandangan yang khas untuk menyelesaikan penyimpangan seks pelaku LGBTQ. Penyimpangan orientasi seks oleh LGBTQ sejatinya telah menyalahi fitrah penciptaan manusia. Dan jika mereka mau jujur, aktivitas yang menyalahi fitrah tidak akan mampu menghadirkan ketenangan hidup. Misalnya, ancaman tertular HIV/AIDS, rusaknya nasab, rusaknya interaksi antar manusia dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hilangnya generasi dan masih banyak lagi. Di sisi lain, karena aktivitas LGBTQ merupakan aktivitas yang melanggar hukum syarak, maka murka Allahlah yang akan mereka dapatkan. Bahkan bisa menimpa kita yang mendiamkan aktivitas tersebut.
Menjamurnya perilaku LGBTQ adalah perusakan generasi secara sistematis oleh Kapitalisme dengan paham sekuler-liberalismenya. Maka, untuk menanggulanginya juga harus ditangani secara sistematis. Yakni tidak bisa ditangani oleh indvidu, namun harus pada tataran negara.
Khilafah akan bertanggungjawab penuh atas penjagaan akidah umat. Khilafah akan menutup semua celah masuknya paham leberalis-sekularisme yang di tengah-tengah masyarakat. Dari segi pendidikan, dengan kurikulumnya, Khilafah akan melahirkan generasi yang bertakwa dan dekat dengan Rabb-nya. Sehingga tertanam dalam benak setiap individu untuk senantiasa beraktivitas sesuai dengan hukum syarak dan menjadikan rida Allah sebagai tujuan.
Khilafah juga akan memberikan pemahaman yang benar berkaitan dengan pemenuhan gharizah nau'. Sehingga individu dalam daulah Islam tidak melakukan aktivitas menyimpang dalam pemenuhanya. Pada tataran keluarga, sedini mungkin anak diajarkan untuk mengenali identitasnya sebagai perempuan atau laki-laki. Ajaran Islam akan menguatkan identitas anak dengan memahamkan aktivitas sesuai dengan fitrah dan dan kewajibannya. Islam juga mencegah tumbuhnya benih penyimpangan perilaku dengan memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan sejak menginjak umumur 7 tahun, adanya keharaman melihat aurat dan seperangkat aturan Islam lainnya berkaitan sistem pergaulan dalam Islam akan mengatur interaksi baik sesama ataupun lawan jenis.
Penerapan Islam dalam bingkai Khilafah juga menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku penyimpangan seksual yang bersifat mencegah menyebarnya pengikut LGBTQ. Sebagaimana penuturan Rasulullah saw dalam hadis riwayat At–Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad : ‘’Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya. ’’
Begitu sempurna aturan Islam dalam menjaga generasi dari terjangkitnya LGBTQ. Maka, tiada alasan bagi kita menunda untuk berjuang mengembalikan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah Rasidah. Wallahu'alambissowab.[]