Narasi Radikalisme Kembali Bergulir, Upaya Pembungkaman Amar Makruf Nahi Mungkar?

"Saat ini, narasi radikalisme tak lagi terbatas pada ancaman teror fisik dan nyawa. Narasi ini menjadi dentingan tiada henti hingga meluas tanpa kendali. Terkadang dipakai untuk membungkam siapa pun yang kritis terhadap kebijakan penguasa."

Oleh. Ahsani Annajma
(Penulis dan Pemerhati Sosial)

NarasiPost.Com-Sampai detik ini, narasi radikalisme terus menjadi kambing hitam, serangannya pun makin gencar. Heboh perbincangan warganet setelah adanya pidato dari presiden yang meminta TNI-Polri untuk mendisiplinkan keluarganya untuk tidak mengundang penceramah radikal (1/3/2022). Terkesan ada islamofobia kronis yang telah menjangkiti pemikiran para pemimpin di negeri ini. Narasi radikalisme yang belum jelas secara definisinya ini menjadi sangat seksi untuk terus dimanfaatkan sebagai alat rekayasa dalam menyelamatkan kepentingan atau kekuasaan dan cenderung digunakan secara legal oleh penguasa untuk "menggebuk" orang-orang yang berseberangan dengan penguasa.

Dalam pidato yang dibawakan, presiden menyampaikan, “Kedisiplinan ibu-ibu kita juga harus sama. Menurut saya, tidak bisa jika istri personel TNI-Polri menghimpun ibu-ibu yang lain, lalu memanggil atau mengundang penceramah semaunya atas nama demokrasi. Sekali lagi, di tubuh tentara dan polisi tidak bisa begitu. Hal-hal kecil tadi (makro dan mikronya) , harus dikoordinir oleh kesatuan. Tiba-tiba nanti mengundang penceramah radikal, nah hati-hati," tuturnya (1/3/2022).

Presiden juga menekankan kedisiplinan yang dimiliki oleh TNI-Polri sangat berbeda dengan kedisiplinan masyarakat sipil. Menurut presiden, tidak ada demokrasi di tubuh TNI dan Polri. Setelah sebelumnya menuding ada sekitar 198 pondok pesantren yang terafiliasi dengan terorisme (1/2), kemudian pemetaaan masjid-masjid demi menangkal penyebaran paham terorisme, kini presiden mewanti-wanti kepada TNI-Polri dan juga anggota keluarganya untuk tidak mengundang penceramah yang terpapar dengan paham radikal.

Isu lama, muncul kembali dengan gorengan yang lebih dahsyat. Suasana rezim saat ini sepertinya sangat kental dengan aroma islamofobia, hal ini tercermin dari pernyataan-pernyataan yang dilontakan para pemimpin negeri ini terkesan memusuhi umat Islam di negeri mayoritas muslim, dengan stempel radikal. Sebenarnya, siapa yang dimaksud dengan penceramah radikal itu?

Framing Negatif terhadap Ulama

Saat ini, narasi radikalisme seakan dianggap menjadi masalah utama negeri dan ancaman yang paling berbahaya. Narasi radikalisme sejatinya merupakan narasi yang digembar-gemborkan Barat untuk melumpuhkan ajaran Islam sekaligus mengadu-domba dan memecah belah persatuan umat Islam. Miris, di negeri mayoritas muslim, penguasa dan para aparatnya malah diperalat Barat untuk memusuhi dan menuding kaum muslim yang notabene rakyatnya sendiri sebagai gerakan radikal.

Sayangnya, penjustifikasian radikal-radikul ini sudah merambat hingga menuding personal. Istilah radikal ini ditujukan bukan kepada pelaku tindakan kekerasan atau terorisme, melainkan kepada orang-orang yang kritis dan lantang menyuarakan kebenaran. Bahkan tak segan-segan, ulama yang menjadi simbol kehormatan umat Islam, justru menjadi sasaran. Ulama yang terdeteksi menyuarkan dakwah Islam dan menawarkan Islam sebagai problem solving, justru dituding terpapar paham radikal.

Definisi radikal berasal dari kata radiks yang artinya akar. Sehingga definisi Islam radikal adalah Islam yang mendalam hingga ke akar-akarnya. Label ini disematkan kepada umat Islam yang memiliki pemahaman dan penerapan Islam secara keseluruhan (kaffah), yang merupakan kewajiban. Padahal jelas, ada gerakan separatisme seperti di Papua yang dengan berani mengangkat senjata dan mengancam persatuan negeri ini. Namun, apakah stempel radikal ini juga disematkan padanya?

Upaya Membungkam Kebenaran?

Isu radikalisme terus digoreng dan dijadikan framing seolah terkesan Islam menjadi musuh utama bangsa karena dianggap intoleransi dan radikal. Padahal, sebenarnya rezim ini hanya bersembunyi di balik narasi radikalisme untuk menutupi masalah yang sesungguhnya. Bukankah terlalu banyak permasalahan bangsa ini yang harus diselesaikan dan butuh ditangani dengan segera? Lantas, mengapa seakan persoalan bangsa ini tertutup dengan fokus bahasan radikalisme?

Persoalan radikalisme ini seolah lebih penting dari masalah utama negara. Ketika rakyat kelaparan, dengan peliknya masalah ekonomi yang dihadapi, seperti kisruh minyak goreng yang mahal hingga terjadi kelangkaan, korupsi kian menggurita, harga elpiji rasa sultan, pandemi yang tidak kunjung sirna, keadaan ekonomi yang tak kunjung pulih, dana JHT yang ditahan, kegaduhan soal azan hingga menyerupakan dengan gonggongan anjing, dan beragam persoalan bangsa yang terus mendera.

Anehnya, bukannya menyelesaikan berbagai problem yang sudah darurat tersebut, penguasa justru sibuk menggulirkan narasi radikalisme, intoleransi, dan teman-temannya ini kepada publik. Saat ini, narasi radikalisme tak lagi terbatas pada ancaman teror fisik dan nyawa. Narasi ini menjadi dentingan tiada henti hingga meluas tanpa kendali. Terkadang dipakai untuk membungkam siapa pun yang kritis terhadap kebijakan penguasa.

Label radikal 'enteng' disematkan kepada mereka yang bersebrangan dengan penguasa. Orang taat pada agamanya, termasuk para ulama pun dicurigai radikal. Lebih parahnya, ada istilah masjid radikal, penceramah radikal, pesantren radikal, dakwah radikal, dan lain-lain. Intinya, istilah ini bermuara pada satu hal, yaitu Islam radikal. Jangan-jangan memang benar, narasi ini merupakan upaya untuk membungkam suara kebenaran yang datang dari lidah-lidah para ulama yang mukhlis?

Ulama sebagai Pelita Kehidupan

Sejatinya keberadaan ulama nyaris tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Sebab, jika tidak ada ulama sebagai alarm amar makruf nahi mungkar, tentulah kehancuran akan menghantam suatu negeri. Kedudukan ulama dalam kehidupan sangatlah penting, apalagi dalam bernegara, kedudukan ulama harusnya menjadi mitra penguasa.

Ulama mitra penguasa tentu bukanlah diposisikan sebagai ‘stempel’ penguasa. Ulama justru harus berada di garda terdepan sekaligus sebagai pengoreksi penguasa. Tujuannya, agar penguasa dan kekuasaannya selalu berada dalam koridor syariat Islam dan tidak menyimpang dari ketentuan syariat Islam. Allah Swt. telah berfirman, “Sungguh yang memiliki rasa takut kepada Allah di kalangan para hamba-Nya hanyalah para ulama.” (Q.S Fathir: 28)

Ayat ini secara konkret menyatakan kedudukan ulama yang begitu istimewa di antara para hamba Allah Swt. Hal yang membuat mereka istimewa adalah rasa takut yang dimiliki mereka kepada Allah Swt. Tidak bisa dimungkiri bahwa para ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menjelaskan berbagai pemikiran yang berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar yang ada di masa mereka. Ulama juga berperan dalam mengajak umat manusia untuk senantiasa konsisten dalam menjalankan hal-hal yang makruf dan meninggalkan kemungkaran. Mengenai urgensi amar makruf nahi mungkar, Imam Al-Ghazali Rahimahullah pernah bertutur di dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din bahwasannya amar makruf nahi mungkar merupakan bagian paling agung dalam agama dan merupakan tugas yang untuknya Allah mengutus para nabi dan seluruhnya.

Andai amar makruf nahi mungkar ini dihilangkan, sementara ilmu dan pengamalannya diremehkan, maka tidak akan ada kenabian, agama akan rusak, masa kevakuman (dari kenabian) tidak dapat dihindari, kesesatan akan segera tersebar meluas, kebodohan akan menjadi hal biasa, kerusakan akan merajalela, pelanggaran akan semakin meluas, negeri negeri akan hancur, dan manusia akan binasa. Dari sini semakin menyadarkan kita akan pentingnya peran dan posisi ulama dalam kehidupan. Teringat riwayat dari Ibnu Qutaibah yang telah mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahullah, “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan, dan rakyat ialah laksana tenda besar, tiang, serta tali pengikat dan pasaknya. Islam sebagai tenda besarnya, kekuasaan sebagai tiangnya, sedangkan tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Artinya, saling ketergantungan, satu bagian tidak akan baik tanpa bagian lainnya.” (‘Uyun al-Akhbar. Juz 1 Hlm. 54)

Oleh karena itu, ulama tidak boleh meninggalkan umat dan membiarkan penguasa ini berjalan sendiri tanpanya, Sudah selayaknya ulama berperan sebagai pihak yang senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun, termasuk kepada para penguasa agar menjalankan roda pemerintahan sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya, bukan menjadi stempel legitimasi kebijakan penguasa yang zalim dan jauh dari syariat Allah Swt. Justru inilah saatnya mengembalikan peran sentral ulama pada peran yang sesungguhnya sebagaimana sabda Rasulullah saw. , “Jihad terbaik ialah dengan mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud dan an-Nasa’i)[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ahsani Annajma Kontributor NarasiPost.Com
Previous
KKB Papua Membengis, Bumi Cenderawasih Menuju Disintegrasi?
Next
Lisan Cerminan Hati
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram