Diayah

"Diayah itu membuat matanya terbakar. Nalar Serena mulai bermain membaca list tak bertuan pada diayah itu. Kebingungan menimpanya saat nama Almira—sahabatnya—ada di urutan 41 dari 50 daftar mahasiswa berbagai fakultas. Jutaan pertanyaan seputar Almira yang radikal berkelebat dalam benak."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Mendung hitam menaungi langkah kaki yang terburu-buru. Suara guntur mulai berparade bak orkestra yang menggelar konser. Angin kencang ikut menyapa tiap helai kain yang mulai lusuh oleh keringat. Keringat-keringat sisa siang hari sudah kering tak tersisa. Tinggal rinai hujan saja yang belum tumpah mengiringi langkah tak beraturan di kompleks itu.

Ruko-ruko berderet, diam membisu menyaksikan kesibukan pekerja yang hendak pulang ke rumah atau orang-orang yang sengaja hendak kongko di pelataran dan taman kompleks. Mendung kian legam siap menumpahkan butiran hujan. Langkah kecil Serena tetap tenang. Buntalan kresek merah di tangan kirinya menemani senja yang dingin. Tatapannya fokus ke depan mencari alamat yang hendak dituju. Beruntung, 1000 meter dia tempuh tanpa cucuran keringat karena cuaca yang sejuk. Netranya menatap keliling, kompleks itu sangatlah ramai oleh kegiatan menjelang petang.

Langkahnya terhenti saat tampak rumah sederhana di ujung gang bertuliskan Blok B 10. Gerbang setinggi 1,5 meter yang mulai berkarat telah siap dijadikan tempat ketok pintu. Suara cempreng membahana membuat tuan rumah segera menyongsong Serena. Malam ini, dia akan menginap di rumah ini, rumah Almira, sahabatnya. Sambutan hangat Almira membuat ukiran senyum Serena merekah.

Rumah Almira tepat di belakang ruko-ruko yang super ramai itu. Kebisingan dari beberapa ruko bahkan terdengar ke rumah sahabatnya. Serena mengeluarkan tas dari kresek yang sedari tadi dia jinjing. Guna kresek itu akan melindungi tas jika sewaktu-waktu hujan menyapa langkahnya. Mereka memang janjian untuk diskusi bersama.

Tiga kali sudah Serena berdiskusi dengan Almira, gadis sederhana yang taat agama. Dia merasa ada keterikatan, semacam ikatan perasaan dengan gadis yang senang berjubah gelap itu. Dia sangat senang saat Almira menjabarkan nas sebagai hujah saat mereka berdiskusi. Meski ia sudah lama bersahabat dengan Almira, namun baru sebulan ini pikirannya terbuka dengan hujah-hujah yang disampaikan sahabatnya itu.

Lepas salat isya, mereka makan malam. Hidangan yang disiapkan Almira sederhana, namun Serena merasa sangat nikmat. Di rumah itu, hanya ada mereka berdua karena ayah dan ibu Almira pulang kampung menjenguk sang nenek. Sementara kakak-kakak Almira semua masih tinggal di rantau. Sengaja Serena yang menginap di rumah Almira agar leluasa berdiskusi. Kalau di tempat kosnya, keramaian yang ada sepuluh kali lipat dibanding kebisingan dan keramaian ruko di kompleks itu. Apalagi malam Minggu, keramaian penuh maksiat tentu akan membuat sahabatnya tak betah di sana.

Banyak sekali bahan diskusi mereka. Mulai seputar akidah, yakni keimanan seorang muslim dan konsekuensinya, hakikat hidup, sampai urusan politik. Perasaan Serena seakan menaiki roller coaster mendengar kefasihan Almira menjelaskan seluruh masalah dari sudut pandang Islam. Akalnya jumpalitan memahami kata demi kata yang tersusun dari lisan sahabatnya.

"Mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, Islam punya aturan, lho," kata Almira.

Apa yang dikatakan Almira sangatlah benar. Apalagi sahabatnya itu menjabarkan bagaimana perjuangan Rasulullah saw. mulai fase Makkah hingga Madinah. Penjelasan seputar problematika kehidupan begitu sederhana. Apa yang terjadi di dunia saat ini sebab aturan yang diterapkan adalah buatan manusia. Serena menyadari, seperti aturan di kosnya yang buat adalah ibu kos, tentu aturan itu akan dibuat sesuai kepentingan ibu kos. Dia pun mulai memahami bahwa apa yang dibuat manusia tentulah ada saja alpa dan kekurangan. Sebab, manusia hanyalah makhluk yang lemah, terbatas, dan butuh pada yang lain.

Serena tergerak hatinya untuk berdiskusi dengan sahabatnya itu ketika nama Almira terpajang di majalah dinding, masuk daftar mahasiswi radikal. Diayah itu membuat matanya terbakar. Nalar Serena mulai bermain membaca list tak bertuan pada diayah itu. Kebingungan menimpanya saat nama Almira—sahabatnya—ada di urutan 41 dari 50 daftar mahasiswa berbagai fakultas. Jutaan pertanyaan seputar Almira yang radikal berkelebat dalam benak. Selama dia bersahabat dengan Almira, tak pernah dia dipaksa untuk mengikutinya. Meski sesama muslim, Almira sekadar mengingatkan ibadahnya secara wajar. Nasihat yang keluar dari lisan sahabatnya juga tidak ada caci maki. Tuturnya selalu santun.

Dari sanalah, diskusi bermula. Serena memberondong Almira dengan pertanyaan berantai. Dengan sabar, sahabatnya itu menjelaskan terkait radikal yang diembuskan hanyalah fitnah bagi siapa saja yang berusaha mengemban Islam dengan kafah dan berusaha menyebarkannya. Tuduhan tak bernas pada diayah itu hanya merujuk pada kategori-kategori yang bertebaran di kalangan elite politik. Istilah radikal dan moderat justru merusak persatuan dan menimbulkan perpecahan antarmuslim.

"Mereka yang menuduh dengan membuat diayah dan list itu tentu belum paham hakikat hidup."

Serena menangkap kesenduan dalam raut wajah sahabatnya itu. Ya, diayah itu laksana terikat tak bertali bagi Almira. Diayah itu membingkai para mahasiswa dalam ikatan perkara dengan tuduhan radikal, namun tak ditali alias tak jua selesai. Mereka dibiarkan dalam spekulasi dan kasak-kusuk mematikan. Kampusnya memang multikultural, tapi ajaran Islam tak memiliki ruang di kampus itu. Lalu multikulturalnya di mana? Serena hanya mampu mengembuskan napas beratnya.

Fix, apa yang disampaikan Almira tentang Islam memang begitu adanya. Serena pernah mengaji waktu kecil, gurunya pun selalu berpesan agar dia dan santri lainnya menjadi orang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa. Namun, selama ini dia yang abai dan cuek dengan kewajiban yang telah menimpanya sejak terkena taklif hukum. Dia pun sering disuruh abahnya berjubah dan berkerudung sebagai kewajiban muslimah, dia sendiri yang tak acuh dan membangkang. Ah, radikalnya Almira di mana?

Derasnya moderasi di kampus, justru membuat mahasiswa semakin jauh dari agama. Dia sendiri merasakannya. Dia semakin tidak merasa takut dosa saat melanggar ketetapan agama. Padahal, dia sadar betul kelak akan ada pertanggungjawaban di hadapan Pencipta. Dia pun merasa menjadi pembangkang aturan Allah Swt.

Diskusi panjang di malam yang dingin itu berakhir saat jam berbunyi dua kali. Serena dan Almira rehat sejenak, mereka istirahat, lalu terbangun sebelum azan berkumandang. Mereka menunaikan qiamulail. Ini hal baru bagi Serena, kesejukan dan ketenangan menyapanya. Entah apa yang diadukan Almira pada Allah, Serena hanya mengaminkan. Dia mulai berazam untuk hijrah total agar tak menjadi manusia yang menyebar diayah tanpa data.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Kelompok Separatis Papua Terus Berulah, Tanda Negara Lemah?
Next
Kaum Pelangi Merusak Generasi: Potret Buruk Demokrasi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram