"Kematian Rianti—kakak kandungnya—yang membuat tekad Palupi sangat besar untuk menjadi dokter. Ia tak mau kejadian kakaknya dan beberapa warga miskin yang harus menjadi korban kapitalisme kesehatan terulang kembali."
Oleh : Lilik Yani
NarasiPost.Com-"Dokter, mohon kakak saya segera ditolong. Sudah kesakitan sejak tadi," ucap Palupi.
"Sudah membayar uang jaminan belum? Silakan ke bagian administrasi," jawab dokter jaga di klinik swasta yang jaraknya paling dekat dengan rumah Palupi.
"Mohon ditolong dulu, Dok. Suami kakak dalam perjalanan dari tempat kerjanya. Biar beliau yang menguruskan nanti," jawab Palupi meyakinkan.
Rupanya di klinik ini dokter mendahulukan pasien yang sudah membayar administrasi. Bukan mendahulukan mana yang urgen atau yang datang lebih dahulu. Palupi resah menunggu kakak iparnya tak kunjung datang, sementara Rianti, kakaknya yang hamil tujuh bulan ini mengerang kesakitan sejak tadi. Perdarahan makin banyak keluar, serasa tak terkendali.
Palupi tak berdaya, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sambil mengelus lembut perut kakaknya, ia berdoa mohon pertolongan Allah. Serasa ada kekuatan lebih, ia bangkit dari kursi ruang tunggu. Ia langkahkan kaki dengan semangat, berjuang sekali lagi ke bagian administrasi, agar dokter segera menolong kakaknya.
"HP butut ini tak bisa dibuat jaminan, Mbak? Kakaknya perlu tindakan operasi, mana mungkin dengan jaminan barang tak berharga ini?" ucap petugas administrasi yang menampakkan wajah sinis, seolah tak peduli sama sekali.
Kematian Rianti—kakak kandungnya—yang membuat tekad Palupi sangat besar untuk menjadi dokter. Ia tak mau kejadian kakaknya dan beberapa warga miskin yang harus menjadi korban kapitalisme kesehatan terulang kembali.
Jika tak ada jaminan uang yang cukup maka tak segera dilayani. Meski sudah punya BPJS, jika ada pasien umum maka yang dilayani lebih dahulu adalah pasien umum. Itulah yang membuat geram hati Palupi. Dari fakta yang tampak di depan mata inilah, menjadi faktor pendorong kuat baginya untuk menceritakan impian besarnya pada Sriana, ibunya.
"Bu, izinkan Palupi kuliah, ya. Palupi mau jadi dokter, Bu. Dokter yang mengabdi di kampung ini kelak. Dokter yang akan menolong pasien tanpa pandang bulu. Dokter yang mengutamakan keselamatan jiwa pasien daripada materi. Mohon doa ya, Bu?" ucap Palupi sepenuh hati.
"Apa? Jadi dokter? Mimpi kamu, Pi? Buat makan cukup dan penuhi kebutuhan keluarga tanpa utang saja sudah bersyukur. Kok kamu minta kuliah kedokteran. Biaya dari mana? Kalau kuliah lain seperti ekonomi, bahasa Inggris, matematika, insyaAllah bapakmu masih sanggup. Tapi kalau kedokteran? Mau jual apa, Palupi? Sadar diri to, Nduk?" jelas ibunya panjang lebar.
Tak ada biaya bukan penghalang bagi Palupi. Yang penting bapak ibunya merestui. Ia akan mencari informasi beasiswa Bidikmisi atau beasiswa lainnya. Masih ada waktu enam bulan sebelum ujian kelulusan SMA. Ia akan tingkatkan belajarnya agar bisa masuk Fakultas Kedokteran kampus negeri. Semangat tinggi terus ditancapkan dalam hati Palupi. Tak lupa meningkatkan jalur langit agar mendapat pertolongan Allah Rabbul Izzati.
"Palupi, baiklah. Kamu bisa mendaftar ke Fakultas Kedokteran. Bapak akan berupaya semaksimal mungkin untuk bekerja," ucap Harman, bapaknya.
Dukungan bapaknya membuat Palupi makin bersemangat belajar dan mencari info beasiswa agar meringankan beban bapaknya.
"Wah, rumahmu besar, bapakmu punya usaha konveksi, mana mungkin dapat beasiswa bidikmisi?" ucap Bu Nana mengingatkan.
"Lantas bagaimana saran Bu Nana?" tanya Palupi dengan nada sedih.
"Coba melalui jalur prestasi saja. Kamu maksimalkan belajarmu. Sertakan piagam-piagam lomba yang kamu miliki," saran Bu Nana.
Enam bulan berlalu, Palupi lulus dengan nilai gemilang. Ia akan mendaftar di fakultas kedokteran sesuai impiannya.
"Pi, maafkan bapakmu. Usaha konveksinya bangkrut. Kondisi pandemi begini membuat pesanan menurun. Bapak punya utang di bank untuk modal belum lunas. Ditambah utang ke Abah Haji Ismail buat biaya RS mbakyumu tempo hari. Jadi tolong, urungkan niatmu untuk kuliah kedokteran. Kasian bapakmu jadi sakit karena menanggung beban," ujar Sriana sambil mengelus pundak putri bungsunya.
"Palupi akan mendaftar lewat jalur prestasi kok, Bu. InsyaAllah bisa. Mohon doanya ya, Bu," ucap Palupi mohon keikhlasan ibunya.
"Masalahnya, buat biaya hidup di kota itu mahal, Pi. Ibu tak punya tabungan. Bapakmu belum bisa diajak bicara." Sriana menjelaskan kondisi yang sesungguhnya agar Palupi mengubah impiannya.
"Palupi akan bekerja sambil kuliah, Bu. Palupi tetap akan berjuang menjadi dokter untuk mengabdi di desa ini. InsyaAllah akan dapat solusi. Mohon doanya saja," ujar Palupi mantap.
Harman pusing ditagih bank karena putangnya semakin banyak dengan tambahan bunga berbunga. Ia ingin menyudahi masalah pelik ini. Usaha konveksinya dijual ke pak Haji Ismail, buat membayar utang ke beliau dan melunasi utang bank agar terbebas dari riba.
"Oh, begitu. Baiklah, usaha konveksimu saya beli sekalian tempatnya. Nanti Abah akan membuka lowongan kerja. Diutamakan tetangga sekitar sini agar mereka punya rasa memiliki perusahaan," ucap pak Haji bahagia, ingin bermanfaat buat banyak orang.
Mendengar pak Haji yang membeli usaha konveksi bapaknya, Palupi bergegas datang menemui Pak Haji. Bukan untuk bikin perkara tapi ia ingin bekerja di sana.
"Assalamualaikum, Abah Haji. Mohon izinkan saya bisa ikut bekerja di sini," ucap Palupi sedikit bergetar antara malu dan takut.
"Buat apa bekerja, Nak Palupi. Bukankah seharusnya waktumu untuk kuliah?" tanya Abah Haji yang mengenal Palupi sebagai teman Hanafi, putranya.
"Iya, Bah. Tapi usaha bapak bangkrut. Jadi saya harus menunda kuliah. Saya mau bekerja dulu, Bah. Buat mengumpulkan dana. Mohon saya diterima jadi karyawan di sini," pinta Palupi serius.
"Bukankah bisa kuliah sambil bekerja? Nanti waktu bisa diatur," usul Pak Haji.
"Maafkan saya, Bah. Palupi kuliah di kota besar. Di sini tak ada fakultas kedokteran. Palupi ingin menjadi dokter yang mengabdi di desa ini," ujar Palupi semangat.
"Lha, bukannya ada jalur prestasi yang bisa kamu tempuh? Kata Hanafi, kamu lulusan terbaik di sekolah?" tanya Abah Haji.
"Masalahnya buat biaya hidup di kota mahal, bapak tak ada biaya. Saya harus kerja dulu, Bah. Izinkan saya kerja di sini. Saya harus jadi dokter, Bah. Untuk menyehatkan umat," pinta Palupi penuh semangat.
"Nak Palupi, melihat semangatmu Abah jadi punya ide. Baik, Abah terima tapi bukan kerja produksi. Tapi di kota tempat kamu kuliah. Kamu jadi agen baju muslim di sana. Ada gaji dan persentase keuntungan penjualan, bisa dipakai biaya hidup di sana. Bagaimana?" tanya Abah Haji yang baik hati.
"Abah, benarkah ini? MasyaAllah. Benarkah ini nyata? Tak mimpikah aku?" ucap Palupi sambil mencubit tangannya sendiri untuk memastikan.
Kekuatan impian diiringi upaya melangitkan doa. Apa sih yang sulit bagi Allah? Palupi tak bisa berkata-kata lagi. Ia sujud syukur di dekat Abah Haji yang sedang duduk. Sungguh Allah sangat baik padanya. Allah pertemukan dengan orang baik yang menjadi sebab terbukanya jalan menuju terwujudnya impian.
Surabaya, 8 Maret 2022[]