"Sebuah negara bisa menjadi penguasa ketika ia menguasai energi dunia. Ketika kemunculan energi tidak merata di semua negara, maka negara dengan ambisi penguasaan dunia tentu akan melacak keberadaan sumber-sumber energi, kemudian dengan gelontoran dolar mereka menjajah ekonomi atas nama investasi.
Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tren kaburnya perusahaan migas multinasional maupun internasional dari Indonesia, tampaknya masih terus berlanjut, setelah perusahaan raksasa seperti Chevron, Total, dan Royal Dutch Shell lebih dulu hengkang dari ladang perminyakan, kini ConocoPhilips dari Amerika Serikat mengikuti jejak dari perusahaan besar lainnya untuk meninggalkan sektor hulu permigasan di Indonesia. Diketahui pada 3 Maret 2022, ConocoPhilips telah menjual seluruh asetnya di Indonesia pada PT Medco Energi Internasional. (m.kumparan.com,5/3/2022)
Indonesia sebagai negara pemilik energi migas, telah lama membuka kran investasi untuk perusahaan-perusahaan internasional. Apalagi rezim Jokowi juga getol "merayu" para investor untuk berinvestasi di Indonesia, dengan kalimat "Please invest in to my country" yang sering menjadi bahan gunjingan netizen Indonesia. Namun, investasi yang sudah berada digenggaman malah memilih mundur dan bermain mata dengan negara lain. Lantas muncul pertanyaan, apakah iklim investasi di Indonesia sudah tak bersahabat dengan para investor?
Alasan Mundur
Para pengamat banyak berspekulasi terhadap tren maraknya perusahaan migas internasional yang bergerak di sektor hulu kabur dari Indonesia. Sebagaimana yang dilontarkan Moshe Rizal, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), bahwa saat ini iklim investasi di negeri ini kalah menarik dari negara produsen migas lainnya.
Ribetnya administrasi menjadi salah satu alasan dari para perusahaan internasional tersebut memantapkan langkah untuk kabur ke negara yang lebih menawarkan kemudahan bagi mereka. Indonesia yang telah lama ditunggu untuk merevisi UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 agar mereka mendapat kepastian hukum, tak kunjung memberi lampu hijau.
Dalam aspek lain, kebijakan fiskal Indonesia tak lebih menarik dibanding negara lain, seperti Malaysia. Indonesia memiliki kebijakan fiskal yang lebih rendah dari Malaysia, yakni 2.4 dibanding 3.3. Tentu kebijakan fiskal Malaysia lebih menyilaukan dari Indonesia.
Lapangan pengeboran yang telah masuk pada fase natural decline juga menjadi salah satu alasan. Produksi minyak yang semakin menurun tentu tak membawa keuntungan bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini yang terjadi pada Chevron Indonesia di Blok Rokan. Belum lagi adanya pergeseran lokasi pengeboran, yang dulunya banyak berada di wilayah barat Indonesia menuju wilayah timur yang infrastrukturnya masih belum memadai, begitu pula dengan kegiatan eksplorasi yang lebih banyak memasuki wilayah lepas pantai (offshore) di nilai lebih sulit dan berbiaya mahal, semakin memantapkan langkah mereka untuk hengkang dari Nusantara.
Di lain pihak, Kepala Divisi Program dan Komunikasi, Rinto Pudyantoro juga angkat bicara. Ia menganggap hengkangnya para perusahaan raksasa tersebut tak hanya berasalan iklim investasi yang tidak kondusif. Namun juga pertimbangan portofolio perusahaan. Adanya strategi portofolio menjadi salah satu timbangan perusahaan tersebut menarik investasinya di Indonesia. Mereka tentu memilih negara yang lebih memberikan keuntungan bagi perusahaan. Bahkan, perpindahan energi migas kepada listrik/baterai yang digunakan oleh electric vehicle juga bisa diperhitungkan sebagai alasan dicabutnya investasi dari sektor hulu migas di Indonesia.
Kenapa Harus Investasi?
Dalam sistem kapitalisme, kekayaan alam tidak dijadikan sebagai tumpuan utama dalam pembiayaan negara. Namun pajaklah yang menjadi tulang punggung pemasukan negara. Pajak, utang dan investasi digadang-gadang sebagai penyelamat ekonomi negara.
Sedangkan biaya pemasukan nonpajak seperti sumber daya alam, meski masuk menjadi tiga besar pemasukan negara, namun ia tidak dijadikan sebagai tumpuan utama. Hal ini sejalan dengan misi kolonialis yang menginginkan sumber daya alam (energi) untuk diobral kepada pengusaha, baik pengusaha nasional maupun multinasional, bahkan internasional. Masalahnya, untuk eksplorasi, pengusaha dalam negeri masih jauh dari kata mampu untuk mengelola. Maka, yang sanggup mengeksplorasi tambang-tambang tersebut hanyalah perusahaan dengan title multinasional dan internasional. Dari sinilah investasi dibuka lebar-lebar.
Negara yang berhaluan kapitalis percaya, jika banyak investor yang masuk ke negaranya, maka investasi yang mereka bawa dapat mengerek penerimaan negara, selain itu juga dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Demi mengundang banyak investor hadir dalam negeri, negara pun memberikan sambutan ramah pada investor, yakni dengan pengesahan undang-undang untuk memudahkan mereka dalam eksplorasi SDA, berikut regulasi-regulasi yang membuat mereka betah di tanah Indonesia.
Pentingnya Ketahanan Energi
Sebuah negara bisa menjadi penguasa ketika ia menguasai energi dunia. Ketika kemunculan energi tidak merata di semua negara, maka negara dengan ambisi penguasaan dunia tentu akan melacak keberadaan sumber-sumber energi, kemudian dengan gelontoran dolar mereka menjajah ekonomi atas nama investasi.
Bahkan ketika dolar tak lagi dianggap sakti di sebuah negara penghasil energi, maka bukan gelontoran dolar yang mengalir, namun rudal yang dikirim dengan berbagai alasan. Tujuannya hanya satu, menguasai energi. Lihatlah contoh kasus Irak dan Afghanistan.
Energi seperti minyak, gas, batu-bara dsb. dianggap sebagai satu elemen penting dalam menggerakkan roda-roda kemajuan negara. Bagaimana negara bisa maju jika tak mampu mengadakan listrik? begitu pula, apa yang disebut kemajuan jika rakyatnya masih menggunakan kendaraan yang dikayuh bahkan perahu yang di dayung? tentu energi memiliki peran besar bagi kemajuan negara, energi dibutuhkan di setiap sendi pergerakan masyarakat, baik domestik seperti perumahan, Industri kecil maupun besar.
Inilah pentingnya energi bagi suatu negara. Maka menjaga pasokan energi menjadi prioritas negara. Banyak kasus negara besar merongrong kedaulatan negara lemah gegara energi, bisa terjadi saling jegal, bahkan peperangan. Sebab ia adalah hal krusial yang dibutuhkan seluruh negara di dunia.
Bahkan ketahanan energi dapat berpengaruh pada kedaulatan suatu negara. Dengan memasok kebutuhan energi sendiri, negara tersebut tak harus impor. Sedangkan ketika impor, banyak faktor yang bisa menghambat negara tersebut dalam memenuhinya, misal dana. Karena kebutuhan energi sangat besar pada sebuah negara, maka bisa dibayangkan untuk impor energi tentu harus mengeluarkan APBN yang tidak sedikit. Selain itu ketergantungan impor energi juga akan berpengaruh pada pasokan ketika terjadi konflik di negara pemasok. Sebagaimana yang terjadi di Rusia-Ukraina. Rusia sebagai pemasok energi bagi sebagian negara-negara di Eropa terkena sanksi ekonomi. Hingga pasokan energi dari Rusia ke Eropa pun macet, dan hal ini menimbulkan kegaduhan di negara-negara yang terbiasa menerima pasokan dari Rusia.
Pengelolaan Energi dalam Islam
Energi dalam pandangan Islam adalah milik bersama. Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, "Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api". Energi masuk dalam kategori api. Ketiga hal tersebut merupakan benda-benda yang jika dimiliki oleh individu akan memunculkan perselisihan. Maka ketiganya harus dimanfaatkan secara bersama-sama atau berserikat.
Maka Islam mengharamkan energi untuk dikuasai oleh segelintir orang. Energi sebagai sumber daya alam milik rakyat, maka yang berhak atas kemanfaatannya adalah rakyat, bukan negara ataupun korporat.
Peran negara sebagai pelayan rakyat adalah mengelola energi tersebut hingga dapat dimanfaatkan secara luas oleh rakyat. Yakni dengan mengelolanya menjadi barang yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka ketika negara berdalih tidak mempunyai dana atau tenaga ahli, tak serta merta kemudian menyerahkannya kepada korporat atas nama investasi.
Namun dibolehkan melakukan kerja sama dengan negara lain, asal bukan dengan negara kafir harbi. begitu pula jika alasannya adalah kekurangan ahli, maka untuk sementara boleh mempekerjakan ahli dari negara lain, hingga negara memiliki waktu untuk mencetak generasi-generasinya menjadi ahli di berbagai bidang. Termasuk ahli di bidang permigasan.
Hasil dari pengelolaan tersebut, tentu akan kembali dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Yakni dapat berupa pelayanan listrik murah hingga gratis, gas dan bensin murah hingga gratis tergantung dengan kebijakan negara. Namun yang kita jumpai saat ini, energi dikuasai negara yang kemudian hasilnya diperjualbelikan kepada rakyat bahkan dengan harga internasional. Padahal negara tak berhak sedikit pun dalam kepemilikannya.
Keberadaan subsidi pun dinilai sebagai beban negara. Hingga sedikit demi sedikit subsidi mulai dicabut, meninggalkan rakyat kelimpungan memenuhi kebutuhannya akan energi. Mungkin negara ini lupa, jika keberadaannya tak lain adalah untuk mengantarkan kesejahteraan di pintu-pintu rakyatnya, sebagai pelayan yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Allahu a'lam bis-showwab.[]