"Jaminan produk pangan olahan yang halal, aman dan layak konsumsi harusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun, bagaimana bisa pemerintah kecolongan seperti ini? Sungguh ini sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Karena tidak menutup kemungkinan masih ada kasus demikian yang belum terbongkar di tengah-tengah masyarakat."
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sebagai salah satu minuman yang banyak pengemarnya, tidak mengherankan jika berbagai olahan minuman berbahan dasar kopi menjadi salah satu bisnis yang sangat menjanjikan. Tapi apa jadinya jika bisnis hanya berorientasi keuntungan tanpa memperhatikan keselamatan konsumen?
Pecinta minuman kopi bak disambar petir, pasalnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan produk pangan yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), yaitu berupa kopi saset yang diduga mengandung parasetamol dan sildenafil atau yang biasa dikenal dengan viagra. Merek yang diduga mengandung parasetamol dan sildenafil adalah Kopi Jantan, Kopi Cleng, Kopi Bapak, Kopi Spider, Kopi Urat Madu, dan Kopi Jakarta Bandung. (Suara.com, 03/03/2022)
Kepala BPOM, Penny K. Lukito, menyampaikan telah ditemukan produk jadi berupa 15 jenis pangan olahan mengandung BKO sebanyak 5.791 pcs dan 36 jenis obat tradisional mengandung BKO sebanyak 18.212 pcs. Faktanya, kopi saset temuan BPOM ini, sengaja diracik untuk meningkatkan stamina siapa pun yang mengonsumsinya. Dalam konferensi pers secara virtual Penny K. Lukito menyampaikan, penggunaan sildenafil dan parasetamol secara bersamaan akan meningkatkan energi dan daya tahan tubuh. Namun, penggunaan yang terus-menerus dalam jangka waktu panjang akan memberikan dampak negatif pada kesehatan.
Membahayakan Kesehatan
Bahan kimia obat merupakan bahan yang digunakan untuk produksi obat. Penggunaannya dalam produk pangan olahan ataupun obat tradisional adalah hal yang dilarang. Karena jika digunakan tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan, akan menimbulkan risiko tinggi dan efek samping yang berbahanya untuk kesehatan.
Kandungan parasetamol dalam kopi saset yang ditemukan BPOM, tidak diketahui secara pasti dosisnya. Padahal secara medis, konsumsi parasetamol melebihi dosis yang dianjurkan atau overdosis, serta digunakan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan gangguan fungsi hati, ginjal hingga kematian.
Begitu juga dengan penggunaan sildenafil, obat yang secara klinis biasa digunakan untuk terapi mengatasi impotensi atau disfungsi ereksi pada pria, juga dapat memberikan dampak negatif seperti kesulitan bernapas, pingsan, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran, serta bisa menimbulkan ereksi yang terjadi selama empat jam atau lebih.
Dari sisi konsumen, tanpa mengetahui kandungan yang ada di dalam berbagai merek kopi saset yang ditemukan BPOM, mungkin akan merasa nyaman dengan reaksi instan yang didapatkan. Inilah yang menjadikan kopi-kopi tersebut laris di pasaran. Di sisi lain, konsumen tidak menyadari dampak negatif yang akan didapatkan akibat mengonsumsi secara terus-menerus dalam jangka panjang .
Jaminan produk pangan olahan yang halal, aman dan layak konsumsi harusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun, bagaimana bisa pemerintah kecolongan seperti ini? Sungguh ini sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Karena tidak menutup kemungkinan masih ada kasus demikian yang belum terbongkar di tengah-tengah masyarakat.
Negara Gagal Lindungi Keamanan Konsumen
Dari operasi tersebut, Badan Pengawas Obat dan Pangan berhasil mengamankan dua orang sebagai tersangka terkait pemalsuan izin edar BPOM dan fasilitas produksi ilegal. Keberadaan dua tersangka ini jelas sangat merugikan bagi masyarakat. Kepala BPOM juga mengimbau agar konsumen tidak mudah percaya dengan adanya logo BPOM yang tertera pada suatu produk. Maka, masyarakat dituntut aktif untuk memeriksa kembali di aplikasi BPOM. Lalu, apa fungsi negara jika kita sebagai konsumen masih dianjurkan untuk memeriksa sendiri? Tidak adakah jaminan dari negara yang memberikan kepastian bahwa setiap produk yang beredar adalah produk yang aman untuk dikonsumsi?
Di sisi lain, UU yang dicanangkan pemerintah untuk menekan kasus beredarnya produk pangan yang berbahaya bagi masyarakat, sepertinya kurang digubris oleh pelaku usaha. Padahal, bagi para pelaku usaha yang memproduksi dan mengedarkan produk pangan ilegal mengandung BKO dapat dipidana sesuai ketentuan Pasal 136 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp10 miliar serta Pasal 64 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar.
Adapun bagi para pelaku yang memproduksi dan mengedarkan obat tradisional ilegal yang di dalamnya mengandung BKO dapat dipidana sesuai dengan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar, serta Pasal 60 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.
Faktanya, acaman hukuman yang akan diberikan atas pelanggaran tersebut tidak membuat pelaku jera. Hal ini bisa terjadi karena para pelaku menilai pemerintah kurang tegas dalam menjalankan kebijakan, sehingga masih ada celah bagi para oknum pelaku usaha yang sampai hati melakukan pelanggaran tersebut. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan, bahwa negara telah gagal melindungi konsumen meskipun ada UU yang mengaturnya.
Sistem kapitalisme yang diadopsi rezim saat ini telah sukses melahirkan pengusaha-pengusaha rakus yang tidak berperikemanusiaan. Demi mendapatkan keuntungan yang besar, mereka tega berbuat zalim dengan mengorbankan kesehatan konsumen. Lalu, masihkah kita percaya akan kepengurusan rezim saat ini kepada rakyat? Karena dalam hal perlindungan terhadap produk pangan yang beredar di tengah-tengah masyarakat saja pemerintah abai.
Jaminan Keamanan Pangan
Makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi umat muslim haruslah memenuhi dua syarat. Pertama, makanan atau minuman yang halal, yang artinya tidak dilarang oleh hukum syarak. Kedua, thoyyib atau baik yang artinya makanan itu bergizi dan bermanfaat untuk kesehatan. Sebagaimana firman Allah ta'ala dalam terjemah Surat Al- Baqarah ayat 168 : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; Karena Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu."
Jika makanan yang halal dan baik menjadi kebutuhan pokok masyarakat, maka negara wajib menjamin atas hal tersebut. Sebagaimana Khilafah menjamin semua kebutuhan pokok masyarakatnya, baik muslim maupun nonmuslim termasuk menjamin makanan yang halal dan thayyib.
Khilafah akan menutup semua celah yang bisa dimanfaatkan oknum pengusaha yang dari produknya bisa mendatangkan keburukan bagi konsumen atau masyarakat. Khalifah akan mengutus Qodhi Hisbah untuk melakukan pengawasan terkait daerah yang menjadi wewenangnya. Jika dalam menjalankan tugasnya, Qodhi Hisbah menemukan pelanggaran yang membahayakan masyarakat, maka bisa diputus perkaranya saat itu juga tanpa memerlukan majelis peradilan. Jikapun ada oknum pengusaha melakukan penyimpangan yang melanggar ketentuan syarak dan berani mengedarkan produk olahan yang membahayakan kesehatan masyarakat, maka Khalifah atau Qodhi Hisbah akan memberikan hukuman ta'zir, sesuai dengan putusan Khalifah atau Qodhi Hisbah tersebut. Hukuman ini diberikan agar pelaku tidak mengulagi perbuatannya dan bisa memberikan efek jera bagi yang mengetahuinya.
Keputusan yang ditetapkan Khalifah ataupun Qodhi Hisbah bersifat mengikat dan harus segera dilaksanakan. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab pernah mengangkat Asy-Syifa seorang wanita dari kaumnya, dia adalah ummu Sulaiman bin Abi Hastmah. Beliau diangkat sebagai Qodhi di pasar, yaitu sebagai Qodhi Hisbah. Khalifah Umar pun pernah mengangkat Abdullah bin Utbah menjadi Qodhi Hisbah di pasar Madinah. Ini dilakukan Khalifah Umar untuk mencegah adanya aktivitas menyimpang yang akan merugikan masyarakkat.
Dari segi individu sebagai pelaku usaha, Khilafah akan membentuk pribadi-pribadi yang taat dan mengarahkan aktivitas bisnisnya berorientasi untuk mendapat rida Allah, maka akan kecil kemungkinan adanya pelanggaran hukum syarak seperti memproduksi dan mengedarkan produk yang membahayakan masyarakat.
Sejatinya sangat berat hidup di bawah rezim yang berkiblat pada ideologi kapitalisme, karena pemerintah tidak pernah serius dalam mengurusi urusan umat. Ketiadaan Khilafah saat ini, menjadikan kita harus berjuang secara mandiri untuk menjamin keamanan produk olahan pangan dan ini merupakan perkara yang sangat berat untuk direalisasikan. Wallahua'lam bishowab.[]
Photo : Pinterest