"Meski alasan perbaikan ekonomi ini menjadi prioritas utama, namun banyak elite politik menduga bahwa wacana yang digulirkan elite partai ini bukan untuk kemaslahatan publik, tetapi demi memperpanjang masa jabatan mereka, sekaligus menambah waktu untuk menyiapkan diri berkompetensi merebutkan kembali kursi kekuasaan di periode berikutnya."
Oleh. Mariam
NarasiPost.Com-Usulan wacana penundaan pemilu 2024 awal mula dicetuskan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau akrab disapa Cak Imin. Beliau mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda selama satu atau dua tahun karena para pelaku usaha dan ekonom memprediksi Indonesia akan mengalami momentum perbaikan ekonomi usai dua tahun pandemi Covid-19. Menurutnya, momentum tersebut tidak boleh diganggu dengan adanya pesta politik. Cak Imin pun memandang pemilu memang kerap kali menyebabkan stagnasi ekonomi yang cukup parah karena dinilai transisi kekuasaan akan menyebabkan ketidakpastian. Terakhir, mengapa usulan penundaan pemilu ini direncanakan karena pemilu juga dinilai berpotensi menimbulkan konflik dari berbagai pihak dan kubu masyarakat. Tiga kondisi ini menjadi landasan karena menurutnya tidak baik untuk momentum perbaikan ekonomi. Dia pun mengklaim bahwa berdasarkan big data dari perbincangan media sosial yang didapatnya, banyak masyarakat yang mendukung usulannya, bahkan dia menyebutkan 60 persen warga medsos menyetujuinya dan sisanya tak sepakat dengan usulan tersebut.
Setelah Cak Imin melontarkan wacana ini ke publik, berbagai polemik dari para elite politik pun bermunculan, baik yang pro maupun kontra. Presiden Joko Widodo pun ikut menanggapi bahwa dirinya tidak berminat memperpanjang masa jabatannya melalui penundaan pemilu 2024. Pihak pro yang menyetujuinya datang dari Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto, yang menerima aspirasi dari petani sawit di Siak, Pekanbaru yang meminta masa jabatan Jokowi diperpanjang. Alih-alih memberikan edukasi tentang konstitusi yang berlaku, Airlangga justru setuju dengan hal itu dan akan menyampaikan usulan ini ke tingkat yang lebih serius. Dukungan pun kembali datang dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan. Ia menyatakan akan segera mengomunikasikan usulan penundaan pemilu 2024 kepada ketua partai politik yang lain, serta melakukan jalinan komunikasi dengan berbagai kalangan seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, komunitas-komunitas dan elemen bangsa yang lainnya.
Walaupun dukungan berbagai pihak berdatangan, namun usulan Cak Imin juga mendapat pertentangan dari PKS, Demokrat, NasDem, hingga PDI Perjuangan. Ketua partai Demokrat, Agus Harimurti, menegaskan bahwa penundaan pemilihan umum (pemilu) merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia memandang wacana tersebut hanya digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan. Sementara Pakar Hukum Universitas Andalas , Feri Amsari, pun ikut berkomentar, dia mengatakan bahwa dari pernyataan ketua-ketua partai politik, baik Golkar, PAN, dan PKB dalam menyampaikan upaya perpanjangan masa jabatan ini adalah karena terlalu nyaman di dalam lingkaran kekuasaan bagi partai-partai ini. Meski alasan perbaikan ekonomi ini menjadi prioritas utama, namun banyak elite politik menduga bahwa wacana yang digulirkan elite partai ini bukan untuk kemaslahatan publik, tetapi demi memperpanjang masa jabatan mereka, sekaligus menambah waktu untuk menyiapkan diri berkompetensi merebutkan kembali kursi kekuasaan di periode berikutnya. Pun dari pihak oposisi yang menolak penundaan tersebut karena tidak ingin kehilangan kesempatan untuk meraih kursi di saat elektabilitas sedang tinggi.
Inilah memang wajah asli demokrasi, sistem yang hanya melahirkan para elite politik yang minim empati. Mereka mementingkan kemaslahatan pribadi dibanding dengan kebutuhan dan kepentingan publik. Padahal hal itulah yang seharusnya menjadi tujuan setiap aktivitas politik, faktanya justru luput dari perhatian dan bukan lagi jadi prioritas utama. Pejabat yang lahir dari sistem demokrasi tidak akan melahirkan orang yang benar-benar peduli dan melayani umat dengan sepenuh hati. Hanya sedikit yang empati namun sayang itu pun hanya pencitraan politik.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan untuk melayani kepentingan publik. Sebab politik dalam Islam bermakna untuk mengurusi umat semata. Pemilu dalam sistem Islam hanyalah alternatif dalam memilih kepala negara, bukan metode baku pengangkatan kepala negara. Dalam Islam metode baku dalam pengangkatan kepala negara adalah bai’at syar’i. Imam An- Nawawi dalam kitabnya Nihayah Al Muhtasila Syarh al Minhaj (VII/390) menyebutkan bahwa akad imamah (Khilafah) sah dengan adanya bai’at atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli Wal Aqdi yang mudah untuk dikumpulkan. Sebagai cara atau uslub pemilu harus sesuai syariat Islam. Masa jabatan dalam khilafah tidak ada periodisasi, diganti hanya ketika sang khalifah melanggar syariat. Rasulullah saw bersabda, "….(selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan kitabullah." *(HR.Muslim)
Ada cara lain untuk memilih kepala negara (Khalifah), seperti melalui ahlu halli wal aqdi. Fikih Islam telah banyak merinci tentang pemilihan kepala negara dalam sistem khilafah ini. Syarat sebagai khalifah harus laki-laki, muslim, berakal, sehat , baligh, merdeka, adil dan memiliki kapabilitas mengemban amanah sebagai khalifah. Tugas dan wewenangnya hanyalah menerapkan hukum Allah (syariat Islam) secara kaffah. Khalifah tidak punya wewenang membuat hukum, pembuatan hukum itu mutlak milik Allah Swt semata. Pelaksanaan pemilu dalam Islam tidak memerlukan biaya yang fantastis dan penyelenggarannya dilakukan secara sederhana. Tidak perlu adanya kampanye dalam bentuk pemasangan baliho di mana-mana yang membutuhkan dana yang tinggi, tidak perlu adanya obral janji sana-sini hingga turun ke jalan untuk mencitrakan diri dan membagikan uang untuk menyogok suara rakyat agar pantas terpilih.
Dalam Islam, mengomersilkan kebutuhan publik kepada rakyat adalah haram, khalifah hanya akan fokus untuk mengurus urusan rakyat. Kalau pun memang harus ada pergantian dalam pemilihan khalifah karena berbagai hal, maka proses pemilihan berlangsung singkat dengan maksimal waktu selama 3 hari. Setelah itu, khalifah terpilih langsung mengambil alih tanggung jawab dan menjalankan roda kepemerintahan dengan baik sesuai yang diperintahkan Allah Swt. Dalil atas pemilihan ini dilandaskan oleh ijma sahabat ketika Rasulullah wafat, sahabat lalu menentukan pengganti khalifah, dan terpilihlah Abu bakar Ash-Siddiq yang dalam kurun waktu tiga hari telah menjalankan kembali tugas dan wewenangnya sebagai pemimpin.
Inilah pemilu dalam Islam yang dibingkai dengan sistem bernama Khilafah, sehingga mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas, menerapkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menjadi rahmat bagi seluruh alam. Pesta pemilu dalam Islam tidak butuh anggaran hingga triliunan, cukup sederhana dan dilakukan secara obyektif sesuai tuntunan syariat.[]