“Ulama hakiki tidak akan dapat menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Meskipun seluruh kekayaan dunia untuk membeli ayat Allah dari seorang ulama seharga emas sebesar pulau Jawa ini, itu pun masih sedikit. Karena sesungguhnya surga yang telah dijanjikan Tuhan adalah seluas langit dan bumi, yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Buya Hamka).
Oleh. Aya Ummu Najwa
NarasiPost.Com-Mempunyai ilmu agama merupakan jalan menuju kemuliaan di sisi Allah. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa tingkatan, sesuai firman-Nya dalam surah Al-Mujadalah ayat 11. Ilmu agama harus dipelajari dan dicari agar mendapatkan kemuliaan tersebut. Dan di antara cara untuk mendapatkan kemuliaan ilmu adalah dengan memuliakan para ulama. Karena ulama adalah orang-orang pilihan dan memiliki keistimewaan di sisi Allah. Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tanqih Al-Qaul al-Hatsits, syarah kitab Lubabul Hadits karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengutip sabda Rasulullah berikut:
وقال صلى الله عليه وسلم أكرموا لعلماء فانهم عند الله كرماء مكرمون
Muliakanlah ulama yaitu orang-orang yang memahami ilmu syariat dan mengamalkannya, karena mereka itu adalah orang-orang mulia yang dipilih Allah, dan yang dimuliakan.
Allah pun berfirman dalam surah Fathir ayat 28 mengenai para ulama,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama, sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”
Imam Al Ghazali, seorang ulama besar yang digelari Hujjatul Islam, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, berdasarkan pada dalil-dalil dari Al Qur'an dan hadis, beliau membagi ulama menjadi dua kriteria: pertama adalah ulama akhirat dan kedua adalah ulama dunia. Ulama akhirat sering disebut sebagai ulama haq. Sementara ulama dunia disebut ulama suu'. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda dalam hadis riwayat Ad-Darimi, terkait hakikat seorang ulama, "Ingatlah, seburuk-buruk kejelekan adalah kejelekan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama."
Seorang ulama akhirat adalah ulama yang hanya menjadikan Allah sebagai tujuan. Dia akan menyampaikan ilmu syar'i yang dimilikinya kepada umat, ia beramar makruf dan bernahi mungkar tanpa hitung-hitungan dunia. Dia telah melakukan jual beli agung dengan Allah. Tekadnya untuk dakwah Islam tak akan dapat terbeli dengan harta walaupun sedemikian banyaknya. Tak akan pernah mundur walaupun ancaman dan tantangan yang mengadang. Ia tak silau dengan iming-iming dunia sesaat. Ia tak gentar dengan bahaya penghalang dakwah Islam. Baginya haq adalah haq, batil adalah batil. Baginya, hanyalah Allah dan Rasul-Nya sebagai jaminan. Dakwahnya adalah seruan untuk meraih kehidupan akhirat, tak sedikit pun membicarakan bagaimana mendapatkan kenikmatan dunia, pribadinya sederhana, serta menjaga jarak dengan penguasa.
Siang malam memikirkan masalah umat, senantiasa menyertakan dalam doanya dalam setiap munajatnya. Senantiasa berikhtiar mencari keberkahan bagi keluarga dan dakwahnya, keluarganya adalah uswatun-hasanah, ia begitu kuat menjaga silaturahmi. Ia menghormati perbedaan pendapat, mengesampingkan perbedaan masalah cabang dan mengedepankan persatuan umat, senantiasa memaafkan mereka yang menyakitinya, jauh dari sifat dengki, serta tawaduk. Kuat dalam menjaga janji, dan warak yaitu sangat takut dan berhati-hati dengan hukum Allah.
Seorang ulama boleh menerima upah dari berdakwah, namun bukan dengan meminta bayaran atau pasang tarif. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Muslim, dari Ibnu As-Sa’idy al-Maliki, bahwasanya ia berkata: "Umar bin Khattab pernah mempekerjakanku untuk mengumpulkan sedekah. Setelah selesai maka aku serahkan kepadanya, ia pun memerintahkan aku untuk mengambil upahku. Kemudian aku berkata: 'Aku bekerja ikhlas karena Allah, dan imbalanku hanya dari Allah.' Umar pun berkata: 'Ambillah bagian yang telah kuberikan kepadamu. Sesungguhnya aku telah bekerja di masa Rasulullah dan mengatakan semisal apa yang engkau katakan. Lalu beliau Rasulullah bersabda kepadaku: Apabila aku memberikan sesuatu yang tak kau pinta, maka makanlah dan sedekahkanlah'.”
Sementara tentang ulama suu' atau ulama buruk, mereka inilah orang-orang yang menggunakan ilmunya untuk mendapatkan kepingan duniawi, dan menjadikannya tangga untuk meraih pangkat dan kedudukan sesaat di dunia. Ia menjual agama kepada penguasa, menukar kebodohan sebagai ilmu, sombong dengan banyaknya pengikut, serta selalu menginginkan kekayaan dan kehormatan duniawi. Celakanya, mereka tidak takut berkhianat pada hukum syarak juga hati nurani, asal tujuan mereka tercapai. Ia gemar bergaul dengan raja-raja, pegawai pemerintahan, penguasa, serta memberikan dukungan moral terhadap tindakan mereka dengan diam bahkan fatwanya, tak peduli kebijakan yang diambil oleh penguasa itu baik atau buruk, zalim atau tidak .
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah mengilustrasikan terkait ulama suu': "Akan datang suatu masa di mana hati manusia menjadi asin, ilmu sudah tak bermanfaat lagi. Kala itu, hati ulama semisal tanah tandus dan berlapiskan garam. Meski diguyur hujan, namun tak setetes pun air tawar nan segar yang dapat diminum dari tanah tersebut."
Dakwahnya senantiasa membicarakan bagaimana meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dunia, dan bukanlah bagaimana meraih kebahagiaan di akhirat. Ia berdakwah apabila ada upahnya, jika tidak ada upah ia enggan berdakwah. Senang memecah belah umat dengan ucapannya yang mudah menghakimi orang-orang yang tak sepaham dengannya dalam hal-hal cabang. Merasa paling alim dan mudah dengki. Untuk terhindar dari hasutan serta tipuan ulama suu' ini, hendaknya manusia senantiasa berdoa kepada Allah, serta terus belajar ilmu Islam kepada para ulama akhirat.
Pada artikel yang diterbitkan Panji Masyarakat edisi 15 Agustus 1975, tatkala penutupan Musyawarah Nasional MUI pertama tanggal 27 Juli tahun 1975, Buya Hamka menegaskan bahwa “Ulama sejati adalah waratsatul anbiyaa atau pewaris nabi yang tidak dapat dibeli, janganlah tuan-tuan salah taksir. Mereka telah menerima waris dari Nabi shalallahu alaihi wasallam yang ketika ditawarkan oleh orang Quraisy pangkat yang setinggi-tingginya, yaitu sebagai Raja di tanah Makkah atau diberi harta benda yang banyak untuk perniagaannya, atau apa pun yang dia inginkan, asal beliau mau berkompromi dalam masalah akidah, atau mundur sedikit dari pendirian yang telah digariskan Tuhan untuk beliau, beliau dengan tegas telah menjawab: 'Tidak! Bahkan andai pun tuan letakkan matahari dan bulan di kiri kananku, tidaklah akan aku berhenti dari urusanku ini sebelum Allah menetapkan siapa yang benar di antara kita'."
"Tidak, Saudaraku! ulama sejati tidaklah dapat dibeli, sungguh sayang sekali karena ulama telah lama terjual, siapa pembelinya? Dialah Allah, Innallahasy-tara minal mu’minina anfusahum wa amwalahum bi anna lahumul jannah (Sungguh Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman jiwa dan raganya juga harta bendanya, dan akan dibayar dengan surga)."
“Dia dikelilingi kertas putih yang bertuliskan: ‘Telah terjual’. Tentu barang yang telah terjual tidak dapat dijual lagi!”
“Ulama hakiki tidak akan dapat menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Meskipun seluruh kekayaan dunia untuk membeli ayat Allah dari seorang ulama seharga emas sebesar pulau Jawa ini, itu pun masih sedikit. Karena sesungguhnya surga yang telah dijanjikan Tuhan adalah seluas langit dan bumi, yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
Demikianlah hakikat ulama. Kedudukannya yang tinggi di tengah-tengah umat menjadikannya sebagai rujukan juga pegangan ketika umat banyak diterpa fitnah dunia. Merekalah pengayom umat. Untuk itu, umat Islam pun harus senantiasa menjaga kemurnian akidah dengan terus mengkaji Islam agar dapat membedakan antara ulama akhirat dan ulama suu', agar tak mudah terjerumus atas seruan-seruan berbahaya yang seakan benar sesuai syarak namun sejatinya racun perusak akidah yang sekarang sedang terjadi sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasulullah.
Dalam Musnad Ahmad (35/222), Abu Dzar berkata, "Dahulu saya pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, kemudian beliau bersabda, 'Sesungguhnya bukan dajal yang aku takutkan atas umatku.' Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, selain dajal apakah yang paling engkau takutkan atas umatmu?' Beliau lantas menjawab, 'Para ulama yang menyesatkan'.”
Wallahu a'lam[]