"Pak RT dan para petugas kesehatan pun ikut menangis merasa menyesal telah berlaku tidak adil terhadap Mbah Mar karena taat pada aturan yang zalim kepada rakyatnya. Sungguh Allah Maha Melihat dan Dia tidak tidur."
Oleh. Surya Dewi
NarasiPost.Com-Mbah Mar menata menu berbukanya hari ini. Nasi putih, sayur bening labu Siam dan sambal cabai garam (lombok uyah). Maklum tak ada bawang merah ataupun tomat untuk sambal karena harganya juga sedang mahal. Pun tak ada tempe goreng atau daging empal pelengkapnya karena ia tak mampu menjangkaunya. Semua harga bahan tadi sedang berpindah level hingga ia tak mampu membelinya.
Asap api di kompor Syahrini masih memenuhi dapurnya. Mbah Mar memang tidak masak menggunakan elpiji untuk menyambung hidupnya yang sebatang kara. Ia bekerja sebagai buruh pengupas bawang dan kacang pada tetangga dengan gajinya yang tak seberapa. Harga kebutuhan yang membuatnya harus hidup serba hemat dan ngirit itu membuatnya termangu di depan masakan yang dipersiapkannya.
"Duh… Gusti… paringi kuat iman kuat Islam. InsyaAllah Gusti kuat kersaning Gusti Allah. La Ilaha Illallah Muhammaddur Rasulullah …."
Biasanya begitu senja berganti petang, azan pun terdengar. Ia menanti suara panggilan untuk membatalkan puasa Senin Kamis. Ia berjalan menuju teras rumah. Dipandangi langit mulai gelap. Rumah sederhananya memang agak jauh dari tetangga. Letak musala pun jauh dari rumahnya. Ia harus berjalan 10 menit menuju musala.
Ia mengambil sebotol air putih bersama mukenanya yang tak lagi berwarna putih. Ia berjalan perlahan-lahan, karena jalan berbatu itu tak ada lampu saat gelap mengerjap.
Tertatih ia berjalan dengan napas yang ngos-ngosan karena usia yang tak lagi muda. Namun, ia terkejut begitu sampai di musala. Para jemaah sudah berhamburan keluar dari musala.
"Loh… sudah bubar, apa telingaku sudah tak bisa mendengar azan? Astaghfirullah hal adzim…."
Bu Badriah melihat wajah Mbah Mar kecewa karena jemaah sudah usai. Ia duduk pasrah di depan musala dengan tubuh yang lemas.
"Tumben, Mbah. Biasanya Mbah Mar paling rajin datang ke musala?"
"Aku kok tidak merasa dengar azan ya? Aku bisa dengar suaramu, Bad. Kok aneh, biasanya aku mendengarnya. Apa telingaku sedang bermasalah, ya Bad?" tanyanya keheranan.
"Alhamdulillah, Mbah. Mungkin karena tempat Mbah Mar jauh, jadi tidak bisa dengar suara azan. Volume azan sekarang diatur tidak boleh keras-keras, Mbah. Mbah Mar, belum berbuka karena menunggu azan, ya?"
Wajahnya kian sedih. Sudah bahan makanan mahal, bahkan suara azan saja dibuat aturan yang membuatnya lebih lama menahan lapar. Tanpa terasa air matanya mengalir tanpa permisi. Dalam batinnya bergumam, "Ya Allah, la hawla wa la quwwata Illa billah. Engkau saksikan aku yang terzalimi untuk sekadar mencari isi perut, kini terzalimi untuk tak lagi mendengar panggilan-Mu. Semoga Engkau memberikan pertolongan kepada umatmu yang faqir ini, Ya Rabb."
"Mbah, Mbah Mar? Mbah Mar baik-baik saja, Mbah?"
Mbah Mar mengusap air matanya lalu segera membaca doa sebelum berbuka. Ia meneguk air putih yang ia bawa.
"Alhamdulillah, Mbah baru saja membatalkan puasa Mbah, Bad. Syukur, Alhamdulillah. Mbah diberi kuat, sehat, Mbah mau salat dulu. Takut nanti keburu Isya'. Mbah terpaksa mungkin nanti pulangnya setelah Isya' saja kalau tidak bisa dengar azan."
"Iya, Mbah saya tak duluan nanti saya temani. Sebentar tak pulang dulu."
Hati Mbah Mar kian sedih rasanya. Ia akan selalu merindukan suara azan yang takkan pernah ia dengar jika ia tak ke musala duluan. Meskipun perutnya sudah berbunyi keroncongan, ia menunaikan dahulu kewajiban.
Bu Badriah kembali dengan membawa sedikit nasi bungkus untuk diberikan pada Mbah Mar. Dilihatnya ia masih khusyuk menjalankan salat Magrib. Ia melihat Mbah Mar bangkit dari duduknya. Lalu ia melihat Mbah Mar sujud kembali. Bu Badriah menantinya lama sekali. Ada rasa penasaran doa apa yang dipanjatkan oleh Mbah Mar kok lama sekali.
Bu Badriah pun memasuki musala. Untuk melihat kondisi Mbah Mar. Disentuhnya tubuh Mbah Mar. Namun, tiba tiba tubuhnya terguling begitu saja. Tampak wajah Mbah Mar pucat pasi. Tubuhnya diselimuti keringat dingin. Dicarinya denyut nadi Mbah Mar. Masih hidup. Bu Badriah segera keluar mencari bantuan. Ia memanggil pak RT dan warga terdekat.
Warga berdatangan bersama pak RT membawa tubuh Mbah Mar ke klinik kesehatan terdekat. Setelah sampai mereka ditanyai, apakah Mbah Mar memiliki BPJS atau JKN. Semua saling pandang.
"Setahu saya, tidak. Tidak apa Bu dokter biar saya yang tanggung biaya pengobatannya. Kenapa dengan Mbah Mar?" Tegas Bu Badriah.
"Maaf, Bu. Mbah Mar mengalami dehidrasi. Sepertinya ia harus dirawat di sini, tapi saya mohon maaf kami tidak bisa merawat pasien tanpa BPJS jika administrasinya tidak dibayar terlebih dahulu." Petugas klinik itu menjelaskannya dengan pelan dan tenang.
"Astaghfirullah hal adzim…. Tega betul klinik kecil di pedesaan seperti ini memberlakukan kartu BPJS untuk kesehatan. Apalagi dalam suasana genting seperti ini. Apakah Anda tak punya hati nurani?" Geram pak RT.
"Apa Anda juga tidak tahu bahwa warga Anda ini layak mendapatkan JKN jika ia tak sanggup membayar BPJS? Mengapa anda tidak menguruskannya?" Serang balik petugas itu.
"Berapa uang administrasinya, saya dari tadi sudah bilang biar saya yang tanggung, bukan? segera tangani Mbah Mar, saya mohon hentikan perdebatan yang tidak perlu." Ucap Bu Badriah yang kesal melihat perdebatan antara petugas kesehatan dan juga pak RT.
Namun, detak jantung Mbah Mar makin melemah. Ia pun mengigau, "Alhamdulilah, susunya segar sekali. Apakah sudah azan Isya'?" Lirihnya sayup-sayup terdengar.
"Belum, Mbah? Kita belum berbuka bareng, Mbah." Ucap Bu Badriah.
Kebetulan dekat klinik ada musala, Muazin mengumandangkan azan salat Isya'. Begitu terdengar azan, Mbah Mar menjawabnya secara perlahan. Hingga akhir kalimat tahlil pun mengakhiri azan. Mbah Mar tertatih mengucap tahlil dan napasnya pun terhenti.
"Mbah Mar…. wa innailaihi roji'un…. Mbah semoga Allah memberikan tempat terbaik untukmu. Kami menjadi saksi atas keistikamahan Mbah untuk salat berjamaah di musala meski jauh. Kami menjadi saksi kezaliman yang terjadi padamu. Maafkan kami yang tak mampu berbuat apa pun untukmu. Semoga engkau memaafkan kami yang lemah ini Mbah Mar."
Tangis Bu Badriah yang menyayat hati.
Pak RT dan para petugas kesehatan pun ikut menangis merasa menyesal telah berlaku tidak adil terhadap Mbah Mar karena taat pada aturan yang zalim kepada rakyatnya. Sungguh Allah Maha Melihat dan Dia tidak tidur.[]