Ironi Sistem Jaminan Kesehatan di Kala Pandemi

"Hari ini kita menyaksikan bahwa kesehatan seolah menjadi barang dagangan. Banyak rumah sakit didirikan dengan saling berkompetisi dari segi pelayanan kesehatan, kualitas dokter hingga obat yang diberikan. Syaratnya adalah rakyat memiliki uang. Sungguh ironis, bagaimana filosofi sistem jaminan kesehatan yang mengutamakan keselamatan nyawa manusia?"

Oleh. Annisa Fauziah, S.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pandemi Covid-19 belum usai, tetapi rakyat masih harus memikirkan polemik dalam sistem kesehatan di negeri ini. Kemenkes menyatakan bahwa terdapat kewajiban pembayaran klaim kepada rumah sakit untuk pelayanan pasien Covid-19 sebesar Rp25,1 triliun. Sungguh jumlah yang fantastis bukan? Jumlah tunggakan tersebut merupakan sisa utang pemerintah kepada rumah sakit pada 2021.

Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, menyatakan bahwa pelunasan klaim Rp25,1 triliun tersebut belum dapat diselesaikan. Penyebabnya adalah belum semua rumah sakit menyerahkan Berita Acara Rekonsiliasi (BAR) kepada Kemenkes. Padahal, BAR merupakan syarat pembayaran klaim biaya perawatan Covid-19. (Kompas.com, 27/2/22)

Selain itu, polemik lainnya, yaitu kewajiban bagi pemohon SIM, STNK, dan SKCK di Polri harus peserta aktif BPJS Kesehatan. Hal tersebut terdapat dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 2022. Menurut ITW (Indonesia Traffic Watch), hal ini berpotensi memicu kerancuan serta menyulitkan masyarakat.
Di dalam UU no 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disebutkan peserta bersifat wajib. Namun, menurut Ketua Presidium ITW, Edison Siahaan, hal tersebut tidak untuk digunakan sebagai persyaratan permohonan SIM, STNK, SKCK, serta layanan umum lainnya. (cnnindonesia, 23/2/22)

Tidak sedikit masyarakat yang merasa peraturan tersebut merupakan bentuk pemaksaan negara kepada rakyat. Padahal, bukankah kesehatan itu adalah hak dasar setiap rakyat yang seharusnya diberikan secara cuma-cuma? Namun, kini semua itu dianggap isapan jempol belaka. Bahkan masyarakat harus memikirkan bagaimana cara membayar iuran BPJS setiap bulannya. Belum lagi ada sanksi berupa denda yang harus dibayar jika masyarakat terlambat menyetor iuran. Padahal, di tengah kondisi pandemi ini, sekadar untuk memenuhi kebutuhan agar dapur bisa tetap mengepul pun membutuhkan perjuangan yang luar biasa.

Tentu banyak masyarakat yang merasa kecewa. Sebab, untuk mendapatkan hak dasarnya saja banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam sistem hari ini, kesehatan adalah sesuatu hal yang mahal. Oleh karena itu, sering muncul guyonan bahwa rakyat miskin dilarang sakit. Sebab, jikalau sakit pun, mereka harus pasrah menerima pelayanan ala kadarnya.

Saat ini pelayanan kesehatan memang menjadi sesuatu yang dikomersialisasikan. Bahkan nominal premi yang dibayarkan rakyat kepada BPJS kesehatan akan berkolerasi dengan pelayanan kesehatan. Semakin besar iuran yang diberikan, maka rakyat bisa mendapatkan peluang untuk menerima pelayanan kesehatan yang lebih baik. Namun, bagi rakyat kalangan menengah ke bawah harus siap menerima standar pelayanan kesehatan ala kelas III.

Berbagai kebijakan terkait sistem jaminan kesehatan saat ini dinilai semakin mempersulit rakyat. Pada akhirnya rakyat seolah dipaksa untuk menanggung beban akibat kesalahan penerapan kebijakan yang dilakukan oleh penguasa. Bukankah ini adalah bentuk kezaliman yang nyata?

Potret Buram Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kapitalis

Polemik BPJS sejatinya tak pernah usai. Sebab, kebijakan ini bukan hanya cacat secara penerapannya. Namun, justru kerusakan itu muncul dari akarnya. Kebijakan BPJS ini lahir dari konsep penjaminan kesehatan ala kapitalis sekuler. Maka, wajar jika kebijakan yang dihasilkan tidak terlepas dari asas ideologinya, yaitu untuk meraih kepentingan materi.

Asas ideologi kapitalisme, yaitu sekularisme memang memisahkan pengaturan agama dari kehidupan. Oleh karena itu, kebijakannya pun dibuat berdasarkan standar akal manusia, bukan berdasarkan wahyu dari Allah Swt. Akhirnya, standar baik dan buruk, begitu pun benar dan salah tidak pernah disandarkan kepada hukum syarak. Bukankah bagi para pemangku kebijakan di negeri ini, BPJS dianggap sebagai sarana untuk menjamin kesehatan rakyat? Begitu pun bagi masyarakat awam, BPJS dianggap menjadi penyelamat agar mereka bisa mengakses fasilitas kesehatan. Padahal, tanpa sadar rakyat tak memahami, apa sebenarnya tugas utama negara dalam mengurusi kesehatan rakyatnya?

Pelayanan kesehatan di dalam sistem kapitalisme justru memberikan privilese bagi segelintir orang saja. Jika yang sakit adalah pejabat negara, para sosialita, hingga artis ternama maka berbagai fasilitas rumah sakit ala hotel bintang lima pun bisa disediakan. Kondisi demikian bisa didapatkan dengan syarat ada uang yang dimiliki. Artinya, pelayanan kesehatan yang prima berbanding lurus dengan uang yang tersedia.

Oleh karena itu, hari ini kita menyaksikan bahwa kesehatan seolah menjadi barang dagangan. Banyak rumah sakit didirikan dengan saling berkompetisi dari segi pelayanan kesehatan, kualitas dokter hingga obat yang diberikan. Syaratnya adalah rakyat memiliki uang. Sungguh ironis, bagaimana filosofi sistem jaminan kesehatan yang mengutamakan keselamatan nyawa manusia?

Coba bayangkan potret buram lainnya, yaitu saat antrean pasien BPJS menjadi pemandangan sehari-hari di berbagai rumah sakit di negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat bahwasannya jika ingin memakai BPJS maka harus banyak persyaratan administratif yang dipenuhi. Oleh karena itu, banyak warga yang sudah terdaftar menjadi peserta BPJS akhirnya tetap memilih menggunakan uang pribadinya saat berobat.
Belum lagi tidak semua penyakit nyatanya bisa diklaim oleh pihak BPJS. Alhasil, sekali lagi rakyat terpaksa harus pasrah dengan berbagai kebijakan yang diterapkan. Pembiayaan kesehatan yang berbasis asuransi kesehatan dalam sistem kapitalis membuat pelayanan kesehatan bukan lagi mengutamakan keselamatan jiwa dari masyarakat. Akan tetapi, demi menopang bisnis para pemilik modal. Keberhasilan pelayanan kesehatan pun dilihat dari untung rugi layaknya industri.
Di dalam sistem kapitalis, no free lunch. Artinya, tidak ada sesuatu yang bisa didapatkan secara gratis, termasuk kesehatan. Sebab, negara memang hanya berperan sebagai regulator. Tidak ada istilah negara bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cuma-cuma. Negara hanya menjadi pihak yang membuat aturan demi memenuhi kepetingan para pengusaha.

Sistem Jaminan Kesehatan dalam Islam

Sistem kesehatan di dalam Islam tentu sangat kontras dengan sistem kapitalis. Sebab, Islam memandang bahwasannya kesehatan adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Dengan demikian, negara harus memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh warga negara secara gratis tanpa memandang strata sosialnya. Pelayanan tersebut tidak boleh diskriminatif, baik untuk warga negara muslim maupun nonmuslim. Semua itu tentu bersumber dari nas syarak, yaitu sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Seorang Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh negara dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw. Beliau bahkan menjadikan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, sebagai dokter umum bagi masyarakat. Begitu pun Khalifah Umar bin Khatab r.a yang menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam.
Sistem jaminan kesehatan dalam Islam tidak terlepas dari asas akidah Islam. Oleh karena itu, berbagai kebijakan yang diterapkan pun akan senantiasa merujuk kepada hukum syarak. Pelayanan kesehatan yang baik tidak akan terpisah dari penerapan sistem politik dan ekonomi dalam suatu negara.
Hal tersebut berkolerasi langsung dengan aspek pembiayaan dalam bidang kesehatan. Jika dalam sistem kapitalisme, anggaran kesehatan dibatasi berdasarkan persentase tertentu. Akan tetapi, dalam sistem Islam, anggaran kesehatan bersifat mutlak. Artinya, seberapa besar pun kebutuhan untuk melayani kesehatan masyarakat maka negara harus berusaha memenuhinya. Pembiayaan tersebut dikelola langsung oleh Baitul Mal. Negara mendapatkan dana dari berbagai pos pendapatan. Misalnya, dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum seperti barang tambang serta minyak dan gas. Pemasukan lain bisa berasal dari jizyah, kharaj, fa’i, ghanimah, serta dari pengelolaan harta milik negara. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan sistem saat ini yang pendanaanya justru diperoleh dari hasil iuran masyarakat. Miris bukan?

Khatimah

Polemik sistem jaminan kesehatan saat ini nyatanya bukanlah sekadar kesalahan dalam aspek teknis saja, tetapi justru merupakan kesalahan dalam aspek paradigma. Artinya, karut-marut pelayanan kesehatan saat ini adalah hasil dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang sudah cacat dari segi asasnya. Oleh karena itu, wajar jika berbagai bentuk kebijakan yang dihasilkan pun tidak akan pernah membawa kemaslahatan bahkan semakin menyengsarakan rakyat. Dengan demikian, jaminan kesehatan yang paripurna hanya bisa diterapkan oleh sistem Islam yang bersumber dari hukum Allah Swt.
Wallahu ‘alam bi-shawab[]


Photo : Canva

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Annisa Fauziah, S.Si. Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Tempat Mikraj yang Diberkahi
Next
Pasar Gelap Organ Manusia Meluas di Kancah Internasional
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram