Misteri Penundaan Pemilu, Adakah Udang di Balik Batu?

"Wajar saja wacana penundaan pemilu mencuat ke permukaan. Bisa jadi memang ada udang di balik batu meski presiden pun enggan lanjut tiga periode ataupun perpanjangan jabatan. Bisa jadi juga itu hanya strategi pemulusan program-program negara yang belum rampung lewat pejabat yang memang menjadi corong kekuasaan."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Ramainya baliho menuju 2024 menjadi pemandangan biasa sejak tahun lalu. Hawa pilpres sudah bergelora di negeri kaya sumber daya alam ini. Ambisi menduduki kursi nomor satu di RI ini sangat tercium pada perang baliho menuju pilpres 2024 mendatang. Warna-warni baliho di tengah pandemi dan impian ekonomi menghiasi penjuru negeri.

Penundaan Pemilu, Adakah Udang di Balik Batu?

Perang baliho yang sudah dimulai, kini harus bersabar menahan perihnya penundaan. Kabar penundaan pilpres berembus begitu saja. Ada banyak pandangan yang mengemuka di khalayak apa pasal penundaan itu? Pendapat seorang Analis Politik Universitas Paramadina, Khoirul Umam, sangatlah sederhana. Dia menilai menunda Pemilu 2024 muncul lantaran ada partai yang belum siap berkompetisi dalam wwalimah demokrasi itu, khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden. (Tempo.co, 27/2/2022)

Kontroversi terus berdesakan terkait wacana penundaan walimah demokrasi paling bergengsi yang diadakan lima tahun sekali ini. Agus Harimurti Yudhoyono selaku ketua Partai Demokrat tegas menolak wacana ini. Menurutnya, wacana tersebut ditunggangi seseorang yang merasa takut kehilangan kekuasaan.(detik.com, 27/2/2022)

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden ataupun penundaan pemilu ini muncul karena dikemukakan oleh Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar. Dia mengaku usulan itu terlintas usai menerima aspirasi pelaku usaha mikro, pengusaha, dan para analis ekonomi dari berbagai perbankan di Ruang Delegasi DPR, Nusantara III, Jakarta, Rabu (23/2/2022).

Setali tiga uang, Menteri Perekonomian, Airlangga Hartanto, menerima aspirasi petani sawit di Siak, Pekanbaru. Dia menjelaskan terkait konstitusi pada petani tersebut, namun dia selaku ketua Partai Golkar setuju atas aspirasi tersebut dan menyampaikannya ke atas. (tempo.co, 27/2/2022)

Sungguh, perjalanan demokrasi di negeri plus enam dua ini bukanlah sebentar. Era Reformasi saja telah bergulir 24 tahun lamanya, hampir seperempat abad. Namun, polemik demi polemik terus terjadi dalam pusaran kompetisi dan ambisi remah-remah kekuasaan. Pergantian pemimpinan sudah terjadi tujuh kali, bahkan ada yang memimpin lebih dari satu periode, namun tak tampak adanya tanda-tanda perubahan ke arah yang lebih baik.

Kamuflase walimah demokrasi akbar ini sangatlah wajar terjadi. Bagaimana pergolakan perebutan kursi kekuasaan amatlah sengit. Segala jurus maut dilancarkan oleh tiap partai demi bisa mendapat jatah kursi di pemerintahan. Episode demi episode pemerintahan yang berjalan dengan aturan demokrasi tak jua menuai perubahan. Sengkarut meninggalnya ratusan penyelenggara pemilihan umum (pemilu) masih segar mengintai ingatan. Wacana tiga periode juga bergentayangan dalam wacana yang tak masuk akal. Kini, penundaan pemilu merebak bak jamur di musim hujan. Semua problem kehidupan dalam ranah demokrasi semakin banyak dan kian menampakkan kebobrokannya.

Wajar saja wacana penundaan pemilu mencuat ke permukaan. Bisa jadi memang ada udang di balik batu meski presiden pun enggan lanjut tiga periode ataupun perpanjangan jabatan. Bisa jadi juga itu hanya strategi pemulusan program-program negara yang belum rampung lewat pejabat yang memang menjadi corong kekuasaan. Mengingat demokrasi membutuhkan biaya mahal dalam urusan perpolitakan, tak heran jika wacana penundaan jabatan memiliki maksud dan tujuan tersembunyi. Kekuasaan di tangan rakyat adalah senjata ampuh untuk memuluskan kepentingan siapa yang kuat dan memiliki modal besar.

Islam Mengatur Mekanisme Pengangkatan Pemimpin

Sistem demokrasi dan sistem Islam tentu tak bisa disandingkan karena memang berseberangan. Demokrasi yang menggunakan aturan manusia sarat akan kepentingan. Keberlimpahan duniawi pun menjadi titik utama tujuan dalam menduduki jabatan. Terlebih kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya, manusialah yang membuat aturan. Sungguh hal itu bertentangan dengan syariat Islam yang diwahyukan oleh Allah Swt. Dzat Yang Maha Menciptakan, Maha Mengatur alam semesta, manusia, dan kehidupan.

Islam adalah agama yang sempurna. Aturannya mencakup segala aspek kehidupan, termasuk sistem pemerintahan. Jabatan seorang pemimpin (khalifah) tidaklah serumit sekarang. Audisinya pun tak perlu kampanye berbiaya tinggi, tak perlu ada mahar. Syarat in'iqad khalifah wajib dipenuhi agar bisa diaudisi oleh Mahkamah Mazalim. Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan amanah khalifah adalah tujuh syarat itu.

Sementara mekanisme pemilihannya juga tidaklah rumit. Wajib dipahami bahwa kedaulatan ada di tangan syariat. Siapa pun yang sesuai syarat in'iqad bisa diajukan dan dipilih menjadi khalifah. Mahkamah Mazalim hanya bertugas memilih, sementara akad amanat khalifah hanya antara rakyat dan calon khalifah yang telah terpilih. Rakyat melakukan bai'at, calon khalifah menerimanya sehingga sempurna amanahnya. Baiat in'iqad dan baiat taat dilakukan oleh rakyat.

Adapun penetapan masa jabatam khalifah dalam Islam tidaklah sama dengan yang ada dalam sistem demokrasi. Khalifah kehilangan hak kekhilafahan jika melanggar tujuh syarat in'iqad, melanggar syariat Islam, atau meninggal dunia. Penetapan pelanggaran itu akan dikaji oleh Mahkamah Mazalim sampai ada pengumuman pemberhentian kepada publik oleh Mahkamah Mazalim. Sungguh Islam sangatlah mudah untuk diterapkan. Tak ada biaya suap dalam pemilihan calon khalifah karena itu hal yang diharamkan. Terlebih, khalifah adalah penanggung jawab urusan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Dorongan keimananlah yang akan melingkupi kinerja khalifah. Dorongan keimanan pula yang menyelimuti tata cara ataupun mekanisme pengangkatan khalifah, bukan dorongan materi. Sehingga, kecil sekali peluang kemaksiatan yang akan dilakukan oleh khalifah, apalah itu kecurangan, apalagi kezaliman.

Tentu tiadanya kezaliman dan minimnya kemaksiatan sangat dirindukan tiap muslim. Saatnya kaum muslim membuka mata, hati, dan telinga untuk meninggalkan mekanisme pemilihan pemimpin dengan jalan demokrasi yang penuh dengan kepentingan duniawi. Kemudian, kaum muslim berjuang bersama mewujudkan perubahan hakiki untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam.

Wallahu a'lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Pasar Gelap Organ Manusia Meluas di Kancah Internasional
Next
Invasi Rusia ke Ukraina dan The Inevitable Clash of Civilization?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram