"Bukan karena ketidakmampuan dalam negeri memenuhi kebutuhan namun terikatnya negeri ini dengan kesepakatan internasional menjadikan gagalnya swasembada pangan. Sistem kapitalisme yang menguasai dunia telah menjadikan berbagai kesepakatan-kesepakatan rusak yang melemahkan negeri ini."
Oleh. Ummu Syaakir
NarasiPost.Com-Untuk ke sekian kalinya, kenaikan harga kedelai kembali terulang. Hal ini tidak bisa dihindari akibat ketergantungan impor yang hingga kini masih terjadi. Dari sekitar 3 juta ton kebutuhan kedelai per tahun, hanya 20% yang dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sisanya dipenuhi melalui keran impor.
Bahkan, menurut data Badan Ketahanan Pangan di Kementerian Pertanian, produksi dalam negeri hanya 10%, sedangkan sisanya 90% melalui impor. (Detikcom, 20/2/22)
Kenaikan harga kedelai ini tentu sangat berpengaruh kepada produksi turunannya, yaitu tempe dan tahu. Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe mengungkapkan bahwa perajin berencana mogok produksi akibat kenaikan bahan baku.(Kompas.com, 15/2/22)
Meskipun mogok produksi tidak dilakukan secara nasional, dan kementerian perdagangan juga telah berupaya untuk menaikkan harga tahu tempe, namun solusi yang diberikan belum menuntaskan permasalahan harga kedelai. Sejatinya permasalahan terkait kenaikan harga bahan baku pangan dalam negeri tidak akan pernah terselesaikan secara tuntas, jika pemerintah enggan melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan yang memaksa negeri ini untuk membuka keran impor atas nama perjanjian perdagangan bebas dunia.
Indonesia yang telah bergabung dengan World Trade Organization (WTO) sejak tahun 1950, telah melahirkan berbagai kebijakan yang menyusahkan rakyat. Kesepakatan yang terjalin dengan perdagangan bebas dunia melarang negeri-negeri yang tergabung di dalamnya untuk melakukan swasembada pangan. Bahkan, Indonesia pernah mendapatkan gugatan dari Amerika Serikat dan Selandia Baru atas kebijakan pemerintah yang berusaha melindungi pangan produk petani dan nelayan kecil. Brasil pun menggugat Indonesia di WTO terkait impor daging ayam. Akhirnya, mau tidak mau Indonesia harus membuka keran impor untuk komoditas ayam dari Brasil.
Setali tiga uang pada permasalahan impor kedelai. Padahal, kebijakan impor pangan bertentangan dengan Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012, yang menyebutkan keharusan pemerintah mengutamakan produksi dalam negeri dalam pemenuhan pangan.
Jelaslah, bukan karena ketidakmampuan dalam negeri memenuhi kebutuhan namun terikatnya negeri ini dengan kesepakatan internasional menjadikan gagalnya swasembada pangan. Sistem kapitalisme yang menguasai dunia telah menjadikan berbagai kesepakatan-kesepakatan rusak yang melemahkan negeri ini. Padahal Allah telah mengaruniakan tanah yang luas lagi subur kepada negeri-negeri muslim. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 7 juta hektare lahan pertanian pada tahun 2020. Dengan luas lahan tersebut, tentu bukan hal yang mustahil untuk mewujudkan swasembada pangan.
Namun, selama sistem kapitalisme terus diterapkan, swasembada pangan adalah hal yang utopis untuk dicapai. Kapitalismelah yang menjadi biang permasalahan negeri ini. Setiap negara yang tergabung di dalam kesepakatan internasional dapat saling melakukan intervensi satu sama lain, jika ada negara yang melakukan hal merugikan negara lain, sekalipun untuk kesejahteraan rakyat. Maka, solusi fundamental bagi berbagai permasalahan, termasuk harga kedelai adalah dengan kembali kepada sistem Islam. Islam akan mendorong negara memfasilitasi berbagai kebutuhan pertanian. Memberikan akses yang mudah dan murah terhadap lahan, pupuk, dan modal bagi para petani. Islam juga akan mewajibkan negara menjamin kebutuhan pangan setiap individu rakyat. Oleh karena itu, negara harus memastikan lahan pertanian yang cukup untuk memenuhi konsumsi rakyatnya.
Pada masa Rasulullah saw kaum muslim diperbolehkan dan diperintahkan untuk mengelola tanah yang mati untuk dimanfaatkan menjadi lahan yang produktif. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak tampak oleh bekas-bekas apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain.
"Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya." (HR. Bukhari)
Dengan memaksimalkan lahan pertanian yang ada, negara dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, untuk peningkatan hasil panen, negara harus memfasilitasi penelitian dan penemuan yang dilakukan oleh para ahli pertanian agar hasil panen berbagai sumber kebutuhan pangan mampu memenuhi seluruh wilayah. Swasembada pangan hanya akan terwujud dengan kembali kepada sistem Islam, yakni sstem yang berasal dari Pencipta yang Maha Pengatur.
Wallahu'alam[]