Harga Daging Sapi Melonjak, Negara Gagal Jaga Pangan Nasional

"Dalam kapitalisme, liberalisasi dihalalkan sekali pun merugikan masyarakat. Perjanjian global dalam kapitalisme menjadikan negara lumpuh dalam menentukan arah ketahanan dan mewujudkan swasembada pangan."

Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-Setelah minyak goreng hilang dari pasaran, kemudian disusul melonjaknya harga kedelai, kini giliran harga daging sapi melambung tinggi makin menambah resah hati. Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Nasrullah, seharusnya kenaikan harga daging sapi tidak terjadi untuk saat ini. Menurut hasil pendataan dan verifikasi secara faktual, data ketersediaan daging sapi atau kerbau bulan Februari hingga Mei 2022 sebanyak 240.948,5 ton, sedangkan kebutuhan sekitar 238.211,8 ton, sehingga masih ada surplus sebanyak 2.736,7 ton.

Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional, pemerintah mengoptimalkan dari peternak lokal, jika ada kekurangan sisanya barulah pemerintah melakukan impor, baik daging beku maupun sapi bakalan dari beberapa negara. Pasalnya menurut Kemendag, perekonomian global akibat dampak pandemi Covid-19 sedang mengalami lonjakan harga kebutuhan pokok masyarakat, sehingga berdampak pada kenaikan harga pangan di Indonesia. Inilah konsekuensi Indonesia terikat dengan perjanjian dagang global. Jadi, naik turunnya harga kebutuhan pangan Indonesia bergantung pada kebijakan global.

Dampak dari naiknya harga daging sapi, pedagang daging sapi di Tangerang Selatan dan beberapa daerah lainnya akan mogok berjualan mulai Senin (28/2/2022) hingga Jum'at (4/3/2022). Hal ini sangat disayangkan pemerintah karena akan berimbas juga pada pedagang daging olahan, seperti penjual bakso, rendang, dan lain sebagainya.

Pemicu Naiknya Daging Sapi

Penyediaan daging sapi secara lokal dan impor memiliki tantangan tersendiri bagi beberapa pihak yang terkait di lapangan yang berdampak pada naiknya harga daging sapi. Mulanya diawali dengan naiknya harga daging sapi impor, kemudian diikuti oleh naiknya harga daging sapi lokal.

Berkaitan dengan daging sapi impor, Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, menyampaikan bahwa ada dua hal yang menyebabkan kenaikan harga daging sapi. Pertama, menurunnya permintaan daging selama pandemi Covid-19 berdampak pada menumpuknya stok daging impor atau daging beku, terutama daging khusus, sehingga membutuhkan gudang penyimpanan (cold storage) dalam jumlah banyak. Hal ini dibenarkan oleh Asosiasi Importir Daging, perubahan sistem integrasi seluruh layanan bea cukai ikut menaikkan biaya logistik penyimpanan karena proses di bea cukai menjadi lebih lama, dari yang umumnya hanya 2 sampai 3 hari menjadi 12 hari.

Kedua, disebabkan adanya kenaikan harga daging sapi di pasar internasional karena terganggunya sistem produksi global selama pandemi. Berdasarkan dua penyebab di atas, Amin menyarankan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi segera mengatasi lonjakan biaya logistik penyimpanan daging impor. 

Sedangkan penyebab kenaikan harga daging lokal, pengelola usaha Rumah Potong Hewan (RPH) Tunas Karya, Muhammad Ade Suwandi, menjelaskan kenaikan harga yang terjadi dimulai dari RPH ditambah dengan biaya operasional lainnya. Misalnya, biaya jasa angkut, biaya karyawan untuk mencacah daging sapi dan biaya prosedural lainnya. Sapi dari peternak pun mengalami kenaikan harga, karena dipicu oleh harga pakan yang naik dan proses perawatan hingga sapi siap potong. Belum lagi masalah teknis distribusi daging hingga sampai konsumen. Berdasarkan hasil penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan bahwa rantai distribusi daging sapi lokal harus melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen, sehingga membuat biaya distribusi sangat tinggi. Ini sebenarnya adalah tugas pemerintah, terutama Kemendag, untuk memotong rantai distribusi daging kepada konsumen. Pemotongan rantai distribusi ini bisa dilakukan jika Kemendag tidak melibatkan banyak pihak swasta dalam skema pendistribusiannya.

Berdasarkan hal di atas, dapat kita tarik benang merah bahwa pemerintah memiliki andil yang besar dalam menstabilkan harga pangan. Jika pemerintah mau serius, bukan hal yang mustahil mewujudkan pangan murah untuk masyarakat. Lalu, mengapa pemerintah tidak bersegera mengatasinya?

Liberalisasi, Biang Keladi Mahalnya Harga Pangan

Sejak Indonesia bergabung dalam PBB, Indonesia memiliki kewajiban untuk taat pada perjanjian internasional termasuk di dalamnya perjanjian yang diratifikasi oleh WTO. WTO menginstruksikan Indonesia untuk mengintregasikan pemenuhan kebutuhan pangan nasional ke sistem pangan global. Akibatnya harga pangan pun tergantung harga pangan global. Perjanjian internasional tersebut juga membuka keran liberalisasi. Adanya UU mengenai penanaman modal asing menjadi payung hukum sehingga swasta diizinkan menguasai sektor penting untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Akibatnya, Indonesia harus bergantung pada pemilik modal yang menguasai sektor tersebut. Dalam lini peternak lokal, peternakan besar justru dikuasai oleh pengusaha asing. Kemudian dari segi penyediaan Rumah Potong Hewan (RPH), tidak sedikit RPH yang ada adalah milik swasta. RPH swasta diberikan izin untuk terlibat, dikarenakan pemerintah belum mampu menyediakan RPH sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Kemudian dari segi distribusi daging sapi hingga sampai konsumen juga membutuhkan rantai yang panjang. Faktanya mekanisme distribusi ini juga melalui tangan swasta. Sedangkan tidak bisa dinafikan, jika swasta yang menguasai maka keuntunganlah yang menjadi orientasi. Liberalisasi dalam berbagai lini inilah yang membuat harga daging sapi semakin mahal saat sampai kepada konsumen.

Inilah konsekuensi rezim yang menerapkan kapitalisme. Dalam kapitalisme, liberalisasi dihalalkan sekali pun merugikan masyarakat. Perjanjian global dalam kapitalisme menjadikan negara lumpuh dalam menentukan arah ketahanan dan mewujudkan swasembada pangan. Maka, bergantung dan berdiam diri pada rezim yang menerapkan kapitalisme bisa dikatakan sebagai upaya rezim "bunuh diri" secara perlahan.

Solusi Islam

Penerapan sistem Islam dalam bingkai Khilafah akan mewujudkan pemerintahan yang independen. Khilafah tidak akan melakukan penjanjian internasional yang notabene perjanjian tersebut justru mengebiri independensi dalam mewujudkan swasembada pangan. Khilafah akan menghapuskan segela bentuk liberalisasi berbagai sektor, terutama dalam upaya pemenuhan hajat hidup kebutuhan pokok masyarakat. Khilafah hanya akan menjadikan Al-Qur'an, As-Sunah, Ijmak Sahabat dan Qiyas sebagai rujukan penerapan Islam. Khilafah tidak akan menjadikan akal manusia sebagai rujukan untuk membuat hukum, karena sejatinya akal manusia sangat terbatas. Seperti Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 216 : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. "

Sebagai konsekuensi keimanan kita, tidak ada alasan lagi kita menolak diterapkannya syariat Islam secara kaffah. Langkah teknis yang akan diterapkan Khilafah untuk mewujudkan swasembada daging sapi adalah :

Pertama, mengarahkan kebijakan suprasistem, baik sistem politik maupun sistem ekonomi mendukung penuh program tersebut. Sistem politik akan menutup segala pintu liberalisasi. Sistem ekonomi akan menggelontorkan dana dari Baitul Mal yang dibutuhkan untuk melaksanakan kebijakan politik khilafah.

Kedua, berani mengubah pola pikir masyarakat, bahwa beternak sapi potong bukan hanya dipandang sekadar pekerjaan sampingan (tabungan), namun adalah salah satu upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani yang sangat dibutuhkan di masyarakat.

Ketiga, meninimalisasi adanya ketergantungan impor daging sapi. Dengan mengoptimalkan potensi peternakan lokal.

Keempat, mendorong dan membiayai ilmuwan dan para peneliti untuk menemukan terobosan bibit sapi unggul yang bisa optimal jika dikembangbiakan di Indonesia, serta memberikan edukasi kepada peternak untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi mutakhir agar lebih efektif dan efisien dalam budidaya ternak.

Kelima, menjaga stabilitas harga pakan ternak, sehingga mampu diakses oleh peternak dalam penggemukkan sapi potong.

Keenam, menindak tegas bagi siapa yang menyembelih betina produktif, sehingga bisa meningkatkan populasi ternak sapi potong. Tentunya dengan pemantauan reproduksi sapi betina hingga mampu mendorong kelahiran satu anak sapi per tahunnya.

Demikianlah Khilafah dalam mewujudkan swasembada daging sapi.Wallahu'alambissowab[]


Photo : Unsplash

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
drh. Lailatus Sa'diyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Ironi Demokrasi, Pelapor Menjadi Tersangka: Kisah Pilu Nurhayati
Next
Tapak Tilas Perjalanan Dakwah Rasulullah saw.
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram