"Umat Islam tidak hanya dipaksa untuk toleran, tetapi dikriminalisasi ajarannya, para ulamanya, kitabnya, Nabinya, dan simbol-simbol Islamnya. Kini seruan memanggil salat pun dipermasalahkan karena dianggap mengganggu keharmonisan masyarakat. Perangkat untuk syiar pelaksanaan ibadah umat Islam pun diregulasi karena dianggap menimbulkan kebisingan."
Oleh. Wening Cahyani
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Diterbitkannya SE No. 5 Tahun 2022 tentang pengaturan pengeras suara di masjid dan musala oleh Menteri Agama Republik Indonesia sontak membuat masyarakat gaduh. Pasalnya Menag dalam penjelasannya telah menganalogikan suara azan yang dikumandangkan secara bersamaan dengan gonggongan anjing. Meski sudah diklarifikasi, tentu tidak menjadikan permasalahan selesai. Hati umat Islam sudah telanjur sakit oleh pernyataan Menag. Alasan pengaturan ini sebagai upaya mewujudkan keharmonisan antarwarga masyarakat. Alasan ini tampak mengada-ada karena setelah sekian lama azan dikumandangkan dengan pengeras suara yang ada tidak pernah terjadi konflik apa pun. Toleransi telah digaungkan begitu kuat di negeri ini. Lantas, ada apa di balik regulasi pengeras suara masjid dan musala? Bagaimana Islam memandang tentang toleransi?
Melansir dari Kompas.com, Senin (21/02/20222) bahwa secara rinci pengaturan penggunaan pengeras suara luar dan dalam pada saat pelaksanaan ibadah termaktub dalam surat edaran No. 5/2022 tersebut. Menag menjelaskan aturan penggunaan pengeras suara masjid dan musala untuk meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan, mengingat masyarakat Indonesia beragam, baik agama keyakinan, latar belakang, dan lainnya.
Pendapat Menag didukung oleh PB HMI, Romadhon, bahwa surat edaran tersebut dianggap sebagai bentuk toleransi terhadap keragaman beragama yang ada di Indonesia. (detik.news, 26/02/2022)
Pluralnya Indonesia seringkali menjadi alasan bagi umat Islam untuk bersikap toleran terhadap penganut agama lain. Pengeras suara masjid dan musala yang berkaitan dengan ibadah tidak lepas dari upaya pengaturan sedemikian rupa. Padahal ini sudah ranah ibadah umat Islam, tetapi demi toleransi penguasa ikut campur meregulasinya.
Terbukti Sekuler
Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, tetapi aturannya tidak dengan syariat Islam. Bahkan hampir seluruh aspek kehidupan menggunakan aturan buatan manusia yang memisahkan agama dari kehidupan. Indonesia yang secara fakta memang menganut paham pluralisme, akhirnya menganggap semua agama benar, tidak boleh ada yang menonjol. Akhirnya Islam pun harus diatur-atur, disesuaikan dengan Indonesia yang plural. Islam dan penganutnya dipaksa toleran kepada yang minoritas.
Umat Islam tidak hanya dipaksa untuk toleran, tetapi dikriminalisasi ajarannya, para ulamanya, kitabnya, Nabinya, dan simbol-simbol Islamnya. Kini seruan memanggil salat pun dipermasalahkan karena dianggap mengganggu keharmonisan masyarakat. Perangkat untuk syiar pelaksanaan ibadah umat Islam pun diregulasi karena dianggap menimbulkan kebisingan. Sudah begitu, aturan Islam untuk mengatur kehidupan malah dicampakkan. Ini menjadi bukti bahwa negeri ini benar-benar sekuler.
Penguasa negeri ini telah mengebiri peran agama Islam di ranah publik. Di ranah pribadi pun Islam tidak bisa dijalankan pemeluknya secara sempurna dan masih tetap dihalang-halangi, misalnya mengenakan jilbab dan kerudung. Tidak hanya di negeri ini, tetapi negeri-negeri belahan dunia lain juga mengalami nasib yang sama. Bahkan tak segan-segan, para penguasanya bertindak kasar dan membunuh karena kemusliman warganya.
Azan Kalimat Mulia
Azan adalah kalimat mulia yang langsung datang dari Allah Swt. Azan yang menjadi panggilan untuk menjalankan salat, memang seharusnya dengan suara keras dan lantang. Azan juga menjadi syiar yang mengajak pada ketaatan dan kemenangan. Semakin banyak yang mendengar tentu semakin banyak keberkahan yang diraih. Demikian pula pahala yang diraih muazin semakin banyak. Apalagi kemudian orang berduyun-duyun melakukan salat setelah azan dikumandangkan.
Azan termasuk hukum syarak yang telah ditetapkan Allah Swt. Hal-hal yang berkaitan dengan azan telah diatur oleh-Nya, mulai dari lafaz, adab azan, cara menjawab azan, sampai doa setelah azan. Semua rentetan dari azan hingga pelaksanaan salat semuanya bertabur pahala. Tak sepantasnya kalimat mulia disejajarkan dengan gonggongan anjing. Dan kondisi semacam ini sudah digambarkan olah Allah dalam Al-Quran surah Al-Maidah[5]: 51 yang artinya: ”Dan jika kalian kumandangkan azan untuk salat, mereka menjadikannya ejekan dan permainan, yang demikian karena mereka termasuk kaum yang tidak menggunakan akal.”
Toleransi dalam Islam
Toleransi yang digaungkan saat ini memang toleransi yang kebablasan. Bahkan tidak hanya masalah kemanusiaan, tetapi sampai keyakinan pun dipaksa untuk toleransi. Toleransi hari ini malah menyudutkan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dan harus selalu mengalah. Padahal bila menengok masa Nabi saw. dan Khulafaur Rasyidin, masyarakat yang plural tidak pernah menjadi masalah. Islam memiliki aturan sempurna karena dibuat oleh Sang Mahasempurna. Dalam masyarakat yang berbeda-beda suku, bangsa, agama, dan bahasa, Islam mampu menjelaskan hukum dan etika untuk memecahkan persoalan-persoalan yang muncul.
Dalam praktiknya, umat Islam tidak mempunyai problem tentang toleransi. Hidup dalam kemajemukan dan budaya toleransi menjadi sesuatu yang biasa mereka lakukan. Perlakuan mereka kepada pemeluk keyakinan lain dilakukan dengan sopan, adil, dan manusiawi karena Islam telah menuntun mereka berbuat demikian. Dan semua telah dibuktikan dalam sejarah yang panjang bagaimana Islam mampu mengatasi problem keberagaman dan perbedaan. Islam tidak pernah memaksa orang kafir masuk Islam. Islam membiarkan orang kafir melakukan ibadah mereka dan tidak mencela sesembahan mereka. Kaum muslim diperintahkan memenuhi hak-hak orang kafir dalam batas-batas yang ditetapkan hukum syarak. Harta, jiwa, dan darah orang kafir terjaga selama mereka menjadi warga negara Daulah Khilafah dan tunduk dengan aturan Islam.
Dalam Islam tidak ada toleransi masalah akidah dan syariah. Dalam ibadah, pernikahan, makanan, minuman, pakaian, orang kafir dibiarkan melakukan sesuai agama mereka. Namun, umat Islam dilarang terlibat dalam peribadatan orang kafir meski dengan alasan toleransi. Adapun dalam masalah muamalah, seorang muslim boleh melakukannya dengan orang kafir selama sejalan dengan syariat Islam.
Demikianlah Islam mampu menjawab berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat yang plural. Ketika Islam yang menjadi standar dalam pengaturannya pasti akan didapati kondisi yang nyaman tidak terjadi kegaduhan. Warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, bisa menjalankan ibadah mereka dengan tenang tanpa mengorbankan perasaan atas nama toleransi. Semua akan terwujud dalam naungan Daulah Khilafah islamiah.
Allahu a’lam[]
Photo : Unsplash